Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

22/01/2024 • Tubagus Nur Rahmat Putra

Infrastruktur Biru-Hijau untuk Mitigasi Banjir


infrastruktur biru-hijau sebagai solusi berbasis alam
infrastruktur biru-hijau sebagai solusi berbasis alam

I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Banjir merupakan masalah umum yang terjadi di berbagai kota seluruh dunia sejak tahun 1950. Jumlah insiden banjir yang terus meningkat dipicu oleh perubahan siklus hidrologi dan peningkatan kejadian hidrometeorologi ekstrem [1]. Selain itu, proses urbanisasi di perkotaan juga memperbesar bahaya banjir karena mengubah lahan menjadi lingkungan yang sulit menyerap air [2].

Dalam lingkungan perkotaan, mitigasi banjir umumnya mengandalkan konsep infrastruktur abu-abu (struktur rekayasa) seperti waduk, kanal, dan jaringan pipa. Konsep tersebut mudah diimplementasikan, namun biayanya tinggi dan kurang adaptif terhadap cuaca ekstrem [3]. Pendekatan berbasis alam atau nature-based solution telah muncul sebagai upaya mitigasi banjir yang berkelanjutan dan adaptif di lingkungan perkotaan [4].

Salah satu pendekatan umum dalam menerapkan solusi berbasis alam adalah melalui infrastruktur biru-hijau, yang mencakup kawasan alami dan semi-alami yang terhubung dan direncanakan secara strategis [5]. Infrastruktur biru-hijau, seperti atap hijau, bioretensi, dan ruang terbuka hijau multifungsi, memiliki kemampuan untuk membantu dan menjadi pelengkap yang efektif terhadap infrastruktur abu-abu [6].

Tantangan utama dalam menerapkan infrastruktur biru-hijau di lingkungan perkotaan adalah keterbatasan ruang. Untuk mengatasi hambatan ini dan meningkatkan efektivitas implementasi solusi berbasis alam, diperlukan metode identifikasi, evaluasi, dan perancangan infrastruktur biru-hijau [7, 8]. Metode tersebut berperan sebagai panduan bagi perencana dan pengambil keputusan untuk memilih jenis infrastruktur biru-hijau yang paling sesuai, sehingga dapat diimplementasikan secara optimal sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lingkungan perkotaan [9].

Langkah pertama yang dapat diambil adalah memahami hubungan antara solusi berbasis alam dan kesesuaian ruang [10]. Analisis spasial dengan menggunakan sistem informasi geografis bisa menjadi alat yang efektif untuk menentukan lokasi yang tepat bagi infrastruktur biru-hijau sebagai bagian dari implementasi solusi berbasis alam. Pemetaan kesesuaian diakui sebagai alat pendukung keputusan spasial yang efektif dan telah menjadi standar dalam mendukung keputusan berbasis ruang [11, 12].

Dalam studi ini, analisis kesesuaian lahan untuk implementasi infrastruktur biru-hijau di perkotaan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Metode yang digunakan melalui pendekatan multi criteria decision analysis (MCDA) serta analytical hierarchy process (AHP).

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari studi ini adalah menganalisis kriteria-kriteria yang relevan dan mengidentifikasi peran masing-masing kriteria dalam menentukan kesesuaian spasial untuk implementasi infrastruktur biru-hijau. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan studi ini adalah:

  1. 1.
    Mengetahui kriteria-kriteria yang dapat mempengaruhi kesesuaian spasial dalam implementasi infrastruktur biru-hijau sebagai pengelolaan mitigasi banjir perkotaan.
  1. 2.
    Mendapatkan besar nilai pengaruh setiap kriteria dalam menentukan kesesuaian spasial dalam implementasi infrastruktur biru-hijau.
  1. 3.
    Mengidentifikasi lokasi yang paling sesuai dalam implementasi infrastruktur biru-hijau di perkotaan.

1.3 Kegunaan

Studi ini diharapkan dapat berkontribusi pada perkembangan disiplin ilmu sistem informasi geografis, terutama dalam menilai kesesuaian lahan. Manfaat dari studi ini diharapkan dapat digunakan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah, peneliti, dan masyarakat umum. Dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kesesuaian lahan untuk infrastruktur biru-hijau, diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang berharga dalam proses evaluasi rencana tata guna lahan di masa mendatang.

1.4 Kerangka Pemikiran

Studi ini akan menitikberatkan pada tiga jenis infrastruktur biru-hijau sebagai solusi berbasis alam untuk mitigasi banjir di kawasan perkotaan. Ketiga jenis tersebut mencakup restorasi lanskap, kolam retensi, dan ruang terbuka hijau multifungsi, yang secara umum dianggap sebagai solusi yang efektif [13]. Setiap jenis infrastruktur memiliki skala tindakan yang berbeda, mulai dari pemulihan lanskap yang bersifat luas dan jangka panjang, kolam retensi dengan skala dan jangka waktu menengah, hingga ruang terbuka hijau multifungsi yang berskala kecil dan bersifat sementara [14]. Pendekatan ini mencerminkan strategi holistik untuk mengelola banjir, dengan mempertimbangkan berbagai ukuran dan rentang waktu dalam menerapkan solusi berbasis alam.

Restorasi lanskap melibatkan upaya memulihkan tutupan vegetasi di daerah aliran sungai yang mengalami kerusakan dan deforestasi. Tutupan vegetasi memiliki peran kunci dalam mengatasi aliran permukaan yang terjadi akibat hujan deras [15]. Kolam retensi dirancang untuk membantu menampung kelebihan air hujan, mencegah peningkatan kapasitas sungai. Penempatan yang tepat dari kolam retensi dapat efektif mengurangi dampak banjir, terutama di area perkotaan, dan juga memberikan manfaat sebagai area rekreasi dan pendidikan bagi masyarakat setempat. Ruang terbuka hijau multifungsi mengoptimalkan taman yang sudah ada agar memiliki fungsi yang lebih variatif, termasuk dalam pengelolaan banjir [16]. Konsep ini sangat relevan di area perkotaan yang terbatas lahan terbuka.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Setiap infrastruktur biru-hijau memiliki karakteristik lokasi yang unik dan tergantung pada berbagai faktor di perkotaan yang dihadapi, termasuk faktor biofisik, sosial, dan ekonomi. Penempatan yang strategis dari elemen-elemen seperti taman, pepohonan di jalanan, kolam retensi dan vegetasi di tepi sungai dapat membentuk konektivitas jaringan infrastruktur biru-hijau. Konektivitas ini dapat membantu meningkatkan pengelolaan air di kawasan tersebut.

Perumusan kriteria lokasi dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi karakteristik umum suatu area yang dianggap sesuai untuk menerapkan infrastruktur biru-hijau. Kriteria lokasi didasarkan pada fungsi dasar dari setiap infrastruktur biru-hijau.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

II. Metodologi

2.1 Area Studi

Studi kesesuaian lahan untuk infrastruktur biru-hijau sebagai penerapan solusi berbasis alam ini akan dilakukan di Kecamatan Dayeuhkolot, Kecamatan Baleendah dan Kecamatan Bojongsoang. Berdasarkan BAPPEDA Jawa Barat, ketiga kecamatan tersebut merupakan area dengan tingkat bahaya banjir tertinggi di Kabupaten Bandung.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Kabupaten Bandung memiliki kondisi curah hujan rata-rata mencapai 1.500 - 4.000 mm/tahun atau jika dihitung luas lahan yang ada,volume air yang turun dapat mencapai 2,64 - 7.05 miliar meter kubik. Potensi air yang begitu besar tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan banyak genangan air di berbagai area.

2.2 Alat dan Data Studi

Studi ini menggunakan perangkat lunak QGIS sebagai alat utama pengolahan data dan Google Earth Engine sebagai alat pendukung untuk akuisisi data yang digunakan. Data yang digunakan sebanyak delapan data yang mencakup kategori biofisik, sosial, dan ekonomi. Data-data tersebut digunakan untuk menyusun peta potensi bahaya banjir dan peta kesesuaian lahan untuk infrastruktur biru-hijau.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

2.2.1 Jaringan Sungai

Keterlibatan bantaran sungai sangat mempengaruhi tingkat kerentanan suatu area terhadap bencana banjir. Secara umum, semakin dekat suatu area dengan daerah aliran sungai, maka semakin rentan terhadap luapan air sungai [17]. Data jarak dari sungai kemudian direklasifikasi berdasarkan perhitungan jarak Euclidean, yang menjadi faktor kunci dalam menilai potensi bahaya banjir.

2.2.2 Ketinggian

Ketinggian lahan memiliki pengaruh signifikan terhadap kecenderungan terjadinya banjir karena air umumnya mengikuti arah gravitasi dan mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Sebagai hasilnya, lahan yang berada di ketinggian di atas rata-rata umumnya memiliki potensi yang lebih rendah untuk terkena banjir [18].

2.2.3 Curah Hujan

Curah hujan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyebab meluapnya air sungai dan genangan air di area yang memiliki kemampuan infiltrasi tanah yang rendah [19].

2.2.4 Tipe Tanah

Tipe tanah memiliki dampak signifikan terhadap drainase dan risiko banjir [20]. Tanah liat cenderung memiliki drainase yang buruk, meningkatkan risiko banjir karena kemampuannya menahan air. Di sisi lain, tanah berpasir memiliki tingkat drainase yang lebih baik dengan mengurangi kemungkinan banjir karena kemampuannya yang lebih efisien dalam menyerap dan mengalirkan air ke dalam tanah. Variasi ini penting untuk memahami dan mengelola risiko banjir.

2.2.5 Tutupan Lahan

Variasi dalam kapasitas infiltrasi antara fitur-fitur tutupan lahan memiliki dampak yang signifikan terhadap kemampuan suatu lokasi dalam menyerap, mengalirkan, dan menahan air [21]. Dengan memahami karakteristik tutupan lahan, studi ini dapat mempertimbangkan perbedaan dalam kapasitas infiltrasi antara area-area, yang akan menjadi faktor kunci dalam menentukan kriteria lokasi untuk infrastruktur biru-hijau.

2.2.6 Kerapatan Vegetasi

Pada upaya pengelolaan banjir, vegetasi memiliki peran kunci dalam meningkatkan infiltrasi melalui jaringan akar, meningkatkan evapotranspirasi, menahan hujan, dan mengurangi limpasan permukaan melalui kekasaran permukaannya [22]. Kerapatan vegetasi menjadi faktor utama dalam menentukan area yang harus diprioritaskan untuk menerapkan infrastruktur biru-hijau karena kurangnya vegetasi dapat meningkatkan risiko terjadinya limpasan air.

2.2.7 Populasi Penduduk

Populasi penduduk mencerminkan tingkat urbanisasi suatu area karena dapat mempengaruhi kesesuaian dan efektivitas implementasi solusi berbasis alam yang direncanakan [23].

2.2.8 Zona Nilai Tanah

Zona nilai tanah memberikan gambaran tentang faktor ekonomi yang mempengaruhi perencanaan dan implementasi solusi berbasis alam. Biaya lahan menjadi pertimbangan utama dalam proses perencanaan pengembangan lahan baru. Tingginya biaya lahan, terutama di daerah perkotaan yang padat penduduk, dapat menjadi kendala serius bagi implementasi solusi berbasis alam, seperti pembangunan taman hijau atau peningkatan ruang terbuka hijau. Keterbatasan anggaran juga bisa membatasi penggunaan teknologi ramah lingkungan atau solusi adaptasi lainnya untuk mengurangi bahaya banjir. Oleh karena itu, mempertimbangkan dinamika ekonomi dan biaya pengembangan lahan sangat penting dalam merencanakan solusi berbasis alam untuk mitigasi banjir.

2.3 Alur Studi

Secara umum, proses yang dilakukan dalam studi ini yaitu melakukan identifikasi kriteria untuk pemetaan banjir maupun kesesuaian lahan untuk infrastruktur biru-hijau, pengumpulan data yang digunakan, pre-assessment terkait area studi, pre-processing data, processing data, penentuan bobot, overlay, dan validasi.

Proses pengolahan pertama yang dilakukan yaitu mendapatkan peta potensi bahaya banjir di area studi. Pre-assessment bertujuan untuk mendapatkan sub-kriteria yang sesuai pada area studi dengan beracuan pada studi terdahulu. Pre-processing data bertujuan untuk memanipulasi data agar sesuai dengan sub-kriteria yang telah disusun. Processing data yang dilakukan yaitu memberikan skor pada setiap sub-kriteria sebagai klasifikasi kriteria. Scoring merupakan kegiatan pemberian nilai terhadap parameter yang digunakan dalam analisis data. Adapun data yang digunakan yaitu jaringan sungai, curah hujan, tipe tanah, ketinggian, tutupan/penggunaan lahan, serta kerapatan vegetasi.

Selanjutnya, penentuan bobot atau nilai yang diberikan pada input data untuk mengontrol pengaruhnya terhadap hasil masing-masing kriteria ditentukan menggunakan metode analytical hierarchy process (AHP), yaitu metode pengukuran yang melalui perbandingan antar data dan bergantung pada penilaian para pakar untuk mendapatkan skala prioritas (bobot). AHP membentuk struktur hierarki untuk menyederhanakan masalah dan membuatnya lebih mudah dipahami. Hal ini dapat menjadikannya metode pengambilan keputusan yang lebih efektif dalam kondisi yang rumit. Dalam menyusun matriks perbandingan antar data, nilai indeks yang diberikan pada matriks didasarkan pada nilai indeks dari Saaty (2001) yang mendefinisikan skala kepentingan antara dua data.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Setelah nilai bobot diperoleh, langkah selanjutnya adalah melakukan overlay data untuk mendapatkan peta potensi banjir area studi. Alur studi untuk mendapatkan peta potensi banjir dapat dilihat pada gambar 2.3.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Proses pengolahan kedua yaitu mendapatkan peta kesesuaian lahan untuk infrastruktur biru-hijau. Alur studi dapat dilihat pada gambar 2.4, yang menunjukkan proses studi yang sama dengan sebelumnya. Peta potensi banjir yang telah didapatkan menjadi salah satu kriteria yang digunakan dalam proses pengolahan data selain yang telah disebutkan pada tabel 2.1. Dalam upaya mendapatkan hasil yang maksimal, dilakukan validasi lapangan terhadap lokasi kelas sangat sesuai. Proses validasi menggunakan form MAPID untuk mempermudah pengumpulan data. Hasil validasi kemudian dihitung untuk mendapatkan akurasi berdasarkan simple binary assessment, yaitu rasio data valid terhadap keseluruhan data validasi dengan mempertimbangkan kategori tambahan berupa histori kejadian banjir dan keberadaan jenis tutupan/penggunaan lahan.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Peta kesesuaian lahan infrastruktur biru-hijau yang telah tervalidasi dapat dilakukan filtering dengan data populasi dan zona nilai tanah untuk mendapatkan area prioritas pembangunan. Filtering dilakukan hanya pada kelas sangat sesuai untuk setiap infrastruktur.

III. Hasil dan Pembahasan

3.1 Skor dan Bobot Data Studi

3.1 Skor dan Bobot Data Studi

3.1.1 Skor Data Studi

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Jarak dari jaringan sungai memainkan peran penting dalam penilaian skor terkait bahaya banjir, restorasi lanskap, kolam retensi, dan pengembangan ruang terbuka hijau multifungsi. Semakin dekat suatu lokasi dengan sungai, semakin tinggi skor bahaya banjir yang diberikan karena tingkat risiko yang lebih besar. Di sisi lain, dalam konteks restorasi lanskap, kolam retensi, dan ruang terbuka hijau multifungsi, skor cenderung menyesuaikan dengan fungsi dasar dari masing-masing infrastruktur.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Semakin rendah ketinggian suatu area, semakin tinggi skor yang diberikan untuk bahaya banjir, restorasi lanskap, kolam retensi, dan ruang terbuka hijau multifungsi. Ini menunjukkan bahwa daerah dengan ketinggian rendah memiliki bahaya lebih tinggi terhadap banjir dan membutuhkan lebih banyak upaya dalam mitigasi banjir serta pengelolaan lingkungan yang efektif.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Dalam konteks penilaian bahaya banjir, semakin tinggi curah hujan, semakin tinggi skor yang diberikan. Dengan curah hujan mencapai 44-47 mm/hari, ini mengindikasikan bahwa area kajian berada pada tingkat curah hujan yang tinggi.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Dalam konteks data tipe tanah, terdapat kecenderungan bahwa semakin baik drainase tanah, semakin rendah skor yang diberikan untuk bahaya banjir, restorasi lanskap, kolam retensi, dan ruang terbuka hijau multifungsi. Hal ini menandakan bahwa tanah dengan drainase yang baik memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyerap dan mengalirkan air, mengurangi risiko banjir, serta mendukung proses restorasi lanskap dan pengembangan infrastruktur biru-hijau.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Lahan kosong dan lahan terbangun mendapatkan skor tinggi dalam bahaya banjir karena permukaannya cenderung tidak memiliki perlindungan alami dan mudah tergenang air saat terjadi banjir. Lahan kosong mendapatkan skor tinggi dalam kriteria infrastruktur biru-hijau karena memiliki potensi yang baik untuk mendukung restorasi lanskap, menyediakan ruang untuk kolam retensi, dan dapat dikembangkan menjadi ruang terbuka hijau multifungsi. Kemudian untuk lahan terbangun dalam konteks infrastruktur biru-hijau, mendapat skor rendah karena sulit untuk direstorasi ke kondisi alami maupun dialihfungsikan.

Pertanian lahan kering cenderung mendapatkan skor rendah dalam bahaya banjir karena drainasenya yang baik. Pertanian lahan kering juga cenderung mendapatkan skor rendah dalam restorasi lanskap, pembangunan kolam retensi, dan pengembangan ruang terbuka hijau multifungsi. Meskipun tidak menyebabkan bahaya banjir, tanah pertanian lahan kering mungkin sudah cukup baik dalam mengelola air secara alami.

Pertanian lahan basah cenderung mendapatkan skor menengah dalam bahaya banjir karena drainasenya yang terhambat. Pertanian lahan basah juga cenderung mendapatkan skor menengah dalam restorasi lanskap karena upaya untuk membantu memperbaiki drainase dan mengelola air. Kemudian dalam konteks mitigasi banjir, pembangunan kolam retensi di pertanian lahan basah memiliki nilai yang signifikan. RTH multifungsi mendapat skor rendah dalam konteks pertanian lahan basah karena konversi lahan basah menjadi area multifungsi mungkin tidak selalu mudah.

Ruang terbuka hijau cenderung mendapatkan skor kecil dalam bahaya banjir karena memiliki kemampuan alami untuk menyerap air dan mengurangi risiko genangan air. Ruang terbuka hijau mendapatkan skor tinggi dalam restorasi lanskap karena mudah diimplementasikan dan memiliki potensi besar untuk memperbaiki ekosistem yang terganggu. Ruang terbuka hijau dapat menjadi lokasi ideal untuk pembangunan kolam retensi. Ruang terbuka hijau sering kali dianggap sebagai elemen utama dalam konsep pengembangan RTH multifungsi dengan memanfaatkan ruang terbuka hijau untuk menciptakan area hijau yang berfungsi ganda, Misalnya, taman kota dengan desain ramah lingkungan dan sistem penyerapan air yang baik.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Area nonvegetasi cenderung mendapatkan skor tinggi dalam bahaya banjir karena permukaannya yang keras atau terlalu padat untuk menyerap air dengan baik. Dalam konteks restorasi lanskap, pembangunan kolam retensi dan pengembangan RTH multifungsi, non vegetasi cenderung mendapatkan skor rendah karena sulit dalam mengimplementasikan infrastruktur biru-hijau.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Dengan meningkatnya jumlah penduduk, skor implementasi restorasi lanskap, kolam retensi, dan RTH multifungsi cenderung meningkat. Hal ini disebabkan oleh permintaan yang semakin tinggi terhadap ruang terbuka hijau, infrastruktur hijau, dan fasilitas penahan air seperti kolam retensi. Adanya infrastruktur biru-hijau seperti taman kota, ruang terbuka hijau, dan area restorasi lanskap yang lebih luas, populasi yang tinggi dapat menikmati kualitas lingkungan yang lebih baik.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Zona dengan nilai tanah tinggi cenderung mendapatkan skor rendah dalam implementasi restorasi lanskap, kolam retensi, dan RTH multifungsi. Hal ini disebabkan oleh biaya akuisisi tanah yang tinggi di zona tersebut. Dalam zona dengan nilai tanah tinggi, implementasi infrastruktur biru-hijau mungkin menghadapi tantangan ekonomi yang signifikan, yang dapat mengurangi skor implementasi infrastruktur tersebut. Perlu dilakukan penilaian menyeluruh tentang keseimbangan antara manfaat lingkungan dan biaya ekonomi dalam merencanakan dan melaksanakan proyek infrastruktur biru-hijau di zona dengan nilai tanah tinggi.

3.1.2 Bobot Data Studi

1. Bobot untuk potensi bahaya banjir

Tipe tanah dan tutupan lahan memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap potensi bahaya banjir, dengan bobot masing-masing mencapai 0.29 dan 0.23. Hal ini menunjukkan bahwa sifat drainase tanah dan jenis penggunaan lahan memiliki peran yang besar dalam menentukan tingkat bahaya banjir.

Selanjutnya, ketinggian dan keberadaan sungai memiliki bobot yang cukup signifikan, masing-masing sebesar 0.17 dan 0.15. Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa topografi memainkan peran penting dalam menentukan aliran air dan pola drainase alami dan keberadaan sistem sungai juga berkontribusi penting terhadap potensi bahaya banjir.

Faktor vegetasi juga mempengaruhi potensi banjir, meskipun bobotnya lebih rendah dibandingkan dengan faktor lainnya. Vegetasi yang rendah dapat mengurangi kemampuan penyerapan air. Curah hujan memiliki bobot yang terendah karena keseragaman curah hujan di area studi pada kelas tinggi, yang mengurangi variabilitasnya dalam menentukan potensi banjir.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

2. Bobot untuk kesesuaian lahan restorasi lanskap

Tutupan lahan memiliki bobot tertinggi dalam kesesuaian lahan restorasi lanskap. Hal ini menekankan pentingnya memilih area yang tidak terlalu banyak terganggu oleh aktivitas manusia atau bangunan, karena lahan terbangun akan sulit untuk implementasi restorasi lanskap. Kedekatan dengan sungai memiliki bobot yang signifikan. Lokasi yang berdekatan dengan sungai menjadi prioritas karena kemampuan lanskap dalam menyerap dan menahan air saat terjadi banjir.

Data vegetasi menyoroti perlunya restorasi pada area yang memiliki vegetasi rendah, menekankan urgensi untuk melakukan restorasi di area yang mengalami kerusakan vegetasi atau degradasi lahan. Faktor potensi bahaya banjir tinggi menjadi pendorong kuat dalam menentukan lokasi restorasi, karena restorasi lanskap dapat membantu dalam memperkuat daya dukung lingkungan dan memperbaiki kemampuan alamiah untuk menyerap air dan mengurangi risiko banjir di area tersebut.

Tipe tanah dan ketinggian memberikan kontribusi yang lebih rendah, menunjukkan bahwa sifat fisik tanah dan elevasi tidak menjadi faktor penentu utama dalam pemilihan lokasi restorasi.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

3. Bobot untuk kesesuaian lahan kolam retensi

Sama halnya seperti restorasi lanskap, tutupan lahan memiliki bobot tertinggi karena pentingnya memilih area yang tidak sulit untuk implementasi kolam retensi. Jarak terhadap sungai memiliki bobot yang cukup tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kolam retensi berperan untuk mengumpulkan air sungai yang meluap saat terjadi banjir.

Faktor potensi banjir dan ketinggian juga memiliki bobot yang signifikan, yaitu sebesar 0.16. Lokasi kolam retensi sebaiknya dipilih di area yang memiliki potensi bahaya banjir tinggi dan lokasi yang lebih rendah cenderung lebih cocok untuk kolam retensi karena dapat berfungsi sebagai tempat berkumpulnya air saat terjadi banjir.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

4. Bobot untuk kesesuaian lahan ruang terbuka hijau multifungsi

Tutupan lahan dan vegetasi memiliki bobot yang tinggi di kesesuaian lahan ruang terbuka hijau multifungsi. Hal ini menunjukkan pentingnya memanfaatkan ruang terbuka hijau yang sudah ada untuk dikembangkan.

Faktor ketinggian dan banjir memberikan kontribusi yang signifikan. Lokasi dengan ketinggian yang lebih rendah seringkali lebih cocok untuk ruang terbuka hijau multifungsi karena dapat berperan sebagai penampungan air. Sebaiknya, pilihan lokasi ruang terbuka hijau multifungsi harus difokuskan pada area yang memiliki potensi risiko banjir tinggi. Dengan demikian, ruang tersebut dapat berperan sebagai bagian strategi mitigasi risiko banjir dan memperkuat ketahanan wilayah terhadap potensi banjir.

Kedekatan dengan sungai memiliki bobot yang rendah dalam analisis ini. Hal ini menunjukkan bahwa ruang terbuka hijau multifungsi tidak perlu berada dekat dengan sungai seperti dalam kasus restorasi lanskap atau kolam retensi.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

3.2 Peta Potensi Bahaya Banjir

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Secara luas, kelas tinggi memiliki luas terbesar yaitu dengan luas 37.12 km2 atau setara 47.89% dari keseluruhan luas area studi. Sebagian besar area studi memiliki tingkat bahaya banjir yang tinggi (kelas tinggi dan sangat tinggi). Area studi diketahui memiliki tipe tanah dengan sifat drainase buruk, yaitu mayoritas berupa tanah mediterian gleik yang cenderung dapat memperparah potensi banjir dengan menahan air lebih lama setelah hujan. Selain itu, mayoritas area studi terdiri dari bangunan dan infrastruktur perkotaan yang tidak memungkinkan penetrasi air hujan ke dalam tanah, sehingga meningkatkan potensi terjadinya genangan air dan banjir permukaan. Karakteristik topografi, terutama sebagai daerah cekungan, juga memperbesar risiko banjir dengan memungkinkan air berkumpul di suatu titik. Ini menunjukkan bahwa area ini memiliki risiko yang signifikan terhadap banjir, dan perlu adanya upaya mitigasi yang lebih serius.

Area Dayeuhkolot memiliki proporsi yang besar dari luas areanya yang terkena potensi bahaya banjir kelas tinggi yaitu mencapai 48% dari total luasnya. Sementara itu, area Bojongsoang memiliki persentase yang lebih tinggi, mencapai 61%, dan area Baleendah memiliki persentase yang lebih rendah, yaitu 35%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa potensi bahaya banjir kelas tinggi cenderung lebih besar di daerah Bojongsoang dan Dayeuhkolot dibandingkan dengan area Baleendah. Oleh karena itu, perencanaan mitigasi dan adaptasi yang disesuaikan dengan pola distribusi potensi bahaya banjir di masing-masing area akan menjadi penting dalam menghadapi tantangan banjir di area studi tersebut.

3.3 Peta Kesesuaian Restorasi Lanskap

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Data menunjukkan bahwa area studi memiliki variasi luas area dalam setiap kelas kesesuaian. Sebagian besar luasannya berada dalam kelas sangat tidak sesuai (18.08 km²) dan tidak sesuai (21.76 km²) yang menunjukkan adanya kendala dalam pengembangan restorasi lanskap di area tersebut.

Disisi lain, luas area cukup sesuai (27.05 km²) dan sesuai (9.78 km²) memberikan gambaran tentang kondisi yang lebih mendukung untuk restorasi. Kemudian luas area yang sangat sesuai (0.77 km²) relatif kecil, namun masih memberikan peluang penting untuk restorasi lanskap yang intensif di area tersebut. Kelas sangat sesuai tersebut menunjukkan area yang memiliki tutupan lahan yang dapat digunakan untuk implementasi restorasi lanskap, jarak relatif dekat dengan sungai, dan memiliki potensi banjir yang tinggi. Strategi yang cermat dan terfokus diperlukan untuk memanfaatkan potensi restorasi di area-area dengan kelas kesesuaian ini.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Diketahui Dayeuhkolot memiliki luas kesesuaian lahan untuk restorasi lanskap kelas sangat sesuai sebesar 0.03 km² atau setara dengan 0.27% dari luas areanya, Bojongsoang sebesar 0.77 km² atau setara dengan 2.75% dari luas areanya, dan Baleendah sebesar 0.58 km² atau setara dengan 1.40% dari luas areanya. Area Bojongsoang memiliki potensi yang paling besar untuk restorasi lanskap yang dapat memberikan dampak positif yang lebih besar terhadap pemulihan ekosistem dan lingkungan. Dengan memperhitungkan luas restorasi lanskap di setiap area, strategi restorasi dapat diarahkan untuk memanfaatkan potensi yang ada, dengan memberikan perhatian khusus pada area-area yang memiliki luas restorasi yang signifikan seperti Bojongsoang dan Baleendah.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Area yang sangat tidak diprioritaskan menunjukkan prioritas yang paling rendah, dengan luas area yang sangat kecil (0.003 km²), mengindikasikan bahwa upaya restorasi di sana tidak menjadi fokus utama. Area yang tidak diprioritaskan, meskipun sedikit lebih besar (0.032 km²), juga menandakan prioritas yang rendah. Di sisi lain, area yang cukup diprioritaskan menunjukkan tingkat prioritas yang sedang, dengan luas area yang lebih besar (0.351 km²), menunjukkan bahwa ada kebutuhan yang lebih mendesak untuk upaya restorasi di sana. Kemudian, area yang diprioritaskan menonjol sebagai fokus utama restorasi, dengan luas area yang cukup besar (0.388 km²). Dengan memperhitungkan kelas prioritas ini, dapat dilakukan alokasi sumber daya yang lebih efisien dan efektif dalam upaya restorasi lanskap, dengan memberikan perhatian khusus pada area-area yang memiliki prioritas yang lebih tinggi untuk mendapatkan manfaat yang maksimal.

3.4 Peta Kesesuaian Kolam Retensi

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Berdasarkan hasil yang didapatkan, area-area dengan kelas sangat tidak sesuai dan tidak sesuai memiliki luas yang cukup signifikan, mencapai total 18.98 km². Hal ini menunjukkan adanya faktor biofisik yang tidak mendukung untuk implementasi kolam retensi di area-area tersebut. Di sisi lain, area dengan kelas cukup sesuai, sesuai, dan sangat sesuai menunjukkan potensi yang lebih baik untuk kolam retensi, dengan total luas mencapai 58.43 km². Kelas sangat sesuai, yang memiliki luas total 11.54 km², menonjol sebagai fokus utama untuk pembangunan kolam retensi karena tingkat kesesuaian yang optimal.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Dengan mempertimbangkan luas kolam retensi kelas sangat sesuai di setiap area studi, yaitu Dayeuhkolot (0.75 km²), Bojongsoang (5.97 km²), dan Baleendah (4.82 km²), yang dapat disimpulkan bahwa masing-masing area memiliki kontribusi yang berbeda dalam potensi implementasi kolam retensi. Dayeuhkolot, meskipun memiliki luas kolam retensi yang lebih kecil, memiliki proporsi sebesar 6.82% dari luas areanya. Sementara itu, Bojongsoang dan Baleendah, dengan luas yang lebih besar, masing-masing memiliki proporsi 21.33% dan 11.66% dari luas areanya. Hal ini menunjukkan bahwa Bojongsoang memiliki potensi yang paling besar, diikuti oleh Baleendah, sementara Dayeuhkolot memberikan kontribusi yang lebih kecil namun masih signifikan dalam upaya tersebut.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Area dengan kelas sangat tidak diprioritaskan memiliki luas total 0.06 km², sedangkan area dengan kelas tidak diprioritaskan mencakup luas total 2.72 km². Meskipun keduanya menunjukkan prioritas rendah, namun luas yang signifikan pada kelas tidak diprioritaskan menandakan bahwa ada sejumlah besar area yang mungkin membutuhkan perhatian lebih lanjut. Sementara itu, area dengan kelas cukup diprioritaskan menunjukkan luas total 4.82 km², menandakan adanya kebutuhan yang lebih mendesak untuk pembangunan kolam retensi di area-area ini. Di sisi lain, kelas prioritas yang lebih tinggi, yaitu diprioritaskan dan sangat diprioritaskan, meskipun memiliki luas yang lebih kecil dengan masing-masing 3.919 km² dan 0.005 km², namun memberikan prioritas yang lebih serius dan akan mendapatkan alokasi sumber daya yang lebih besar untuk pembangunan.

3.5 Peta Kesesuaian Ruang Terbuka Hijau Multifungsi

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Distribusi luas area dalam setiap kelas kesesuaian, terlihat bahwa sebagian besar area memiliki tingkat kesesuaian yang terbatas untuk ruang terbuka hijau, terutama pada kelas tidak sesuai dan sangat tidak sesuai yang memiliki luas total 37.28 km². Area-area dengan kelas cukup sesuai dan sesuai menawarkan potensi yang lebih baik untuk pengembangan ruang terbuka hijau, dengan luas total mencapai 35.78 km². Area-area dengan kelas sangat sesuai, meskipun memiliki luas yang lebih kecil dengan total 4.35 km², menunjukkan potensi yang besar untuk mengoptimalkan penggunaan lahan yang ada dalam menciptakan ruang terbuka hijau yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Dayeuhkolot memiliki luas 1.22 km² atau setara dengan 11.10% dari total luas areanya. Sementara itu, Bojongsoang memiliki luas 1.03 km² atau sekitar 3.68% dari total luas areanya, dan Baleendah memiliki luas 2.08 km² atau setara dengan 5.03% dari total luas areanya. Analisis ini menunjukkan bahwa Bojongsoang memiliki proporsi ruang terbuka hijau multifungsi kelas sangat sesuai yang lebih kecil dibandingkan Dayeuhkolot dan Baleendah, meskipun Dayeuhkolot memiliki luas area yang lebih kecil secara keseluruhan. Namun, Dayeuhkolot memiliki proporsi ruang terbuka hijau multifungsi yang lebih besar sebagai persentase dari total luas areanya dibandingkan Bojongsoang.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Area dengan kelas sangat tidak diprioritaskan memiliki luas total 0.295 km² dan kelas tidak diprioritaskan memiliki luas total 0.774 km². Hal tersebut menunjukkan bahwa pengembangan ruang terbuka hijau multifungsi di area-area ini tidak dianggap mendesak, kemungkinan karena memiliki populasi penduduk yang relatif rendah atau zona nilai tanah yang tinggi. Di sisi lain, area-area dengan kelas cukup diprioritaskan, diprioritaskan, dan sangat diprioritaskan menawarkan potensi yang lebih besar untuk pengembangan ruang terbuka hijau multifungsi yang berdampak positif bagi masyarakat. Luas area dengan kelas ini lebih besar, prioritas yang diberikan menandakan bahwa populasi penduduk yang tinggi dan zona nilai tanah yang rendah memberikan dorongan kuat untuk pengembangan. Ini menunjukkan bahwa keberadaan populasi yang lebih besar dapat memberikan manfaat yang signifikan dari pengembangan ruang terbuka hijau multifungsi, sementara zona nilai tanah yang rendah dapat membantu menekan biaya ekonomi yang terkait dengan pengembangan tersebut.

3.6 Validasi Hasil

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Validasi hasil menunjukkan bahwa dari jumlah total 32 titik validasi, sebanyak 17 titik (53.13%) sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, sementara 15 titik (46.88%) tidak sesuai. Dalam konteks variabel histori terjadinya banjir dan keberadaan area terbangun, validasi dilakukan dengan memberikan nilai sesuai (1) jika pernah terjadi banjir dan tidak terdapat area terbangun, serta nilai tidak sesuai (0) jika tidak pernah terjadi banjir atau terdapat area terbangun. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa lebih dari setengah titik validasi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, yang menunjukkan bahwa model atau pengukuran yang digunakan memiliki tingkat validitas yang relatif tinggi. Namun, masih terdapat sejumlah titik validasi yang tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, yang mungkin disebabkan oleh adanya kelemahan dalam metode pengukuran atau model yang digunakan.

Analisis Kesesuaian Lokasi Infrastruktur Biru Hijau sebagai Solusi Berbasis Alam dalam Mitigasi Banjir

Dari 32 titik validasi, 19 titik memiliki riwayat kejadian banjir yang berkorelasi dengan nilai akurasi validasi. Hal ini menunjukkan bahwa data hasil potensi bahaya banjir yang digunakan memainkan peran penting dalam menentukan validitas hasil, karena keberadaan riwayat banjir di suatu daerah secara langsung berdampak pada kecocokan prediksi dengan kondisi lapangan. Di sisi lain, variabel ketidakberadaan area terbangun (yang bernilai 1 atau sesuai sebanyak 28) juga memberikan kontribusi dalam meningkatkan validitas hasil, karena menunjukkan bahwa area tanpa pembangunan memiliki kecenderungan untuk sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

IV. Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan

Kriteria-kriteria yang dapat mempengaruhi kesesuaian spasial meliputi tutupan lahan, jaringan sungai, kerapatan vegetasi, tipe tanah, ketinggian, dan curah hujan. Pentingnya setiap kriteria dapat bervariasi tergantung pada jenis infrastruktur biru-hijau yang akan diimplementasikan, namun tutupan lahan memiliki bobot tertinggi dalam menentukan kesesuaian lahan secara umum.

Lokasi yang diidentifikasi sebagai paling sesuai untuk implementasi infrastruktur biru-hijau adalah Bojongsoang, terutama untuk infrastruktur restorasi lanskap dan kolam retensi, serta Baleendah untuk pengembangan ruang terbuka hijau multifungsi. Temuan studi ini menunjukkan bahwa ada wilayah-wilayah yang dapat menjadi perhatian utama dalam menerapkan infrastruktur biru-hijau sebagai langkah mitigasi banjir di perkotaan. Hal ini perlu mempertimbangkan kriteria-kriteria yang relevan untuk meningkatkan efektivitas dan kelangsungan upaya tersebut.

4.2 Saran

Penting untuk melakukan verifikasi dan validasi lebih lanjut terhadap data yang digunakan, terutama terkait dengan tutupan lahan dan jaringan sungai. Dengan memastikan keakuratan data, dapat dihindari kesalahan yang mungkin muncul dalam analisis. Selanjutnya, menambah jumlah titik validasi yang digunakan akan meningkatkan keandalan hasil analisis. Penggunaan peta bahaya banjir yang mempertimbangkan persebaran titik kejadian banjir yang pernah terjadi juga penting untuk mengevaluasi risiko banjir secara lebih komprehensif. Terakhir, melakukan analisis hidrologi lebih lanjut, termasuk studi tentang pola aliran air, akan memberikan wawasan yang lebih dalam tentang dinamika air di wilayah studi.

Daftar Pustaka

[1] Adikari, Y., & Yoshitani, J. (2009). Global trends in water-related disasters: an insight for policy makers.

[2] Oral, H. V., Carvalho, P., Gajewska, M., Ursino, N., Masi, F., Hullebusch, E. D. V., ... & Zimmermann, M. (2020). A review of nature-based solutions for urban water management in European circular cities: a critical assessment based on case studies and literature. Blue-Green Systems, 2(1), 112-136.

[3] Suwanarit, A. (2011). Water Sensitive Urban Design–Principles and Inspiration for Sustainable Stormwater Management in the City of the Future. Journal of Architectural/Planning Research and Studies (JARS), 8(2), 155-156.

[4] World Wildlife Fund and US-AID (2016) Natural and nature-based flood management: a green guide. https://www.worldwildlife.org/ publications/natural-and-nature-based-flood-management-agreen- guide.

[5] Winker, M., Gehrmann, S., Schramm, E., Zimmermann, M., & Rudolph-Cleff, A. (2019). Greening and cooling the city using novel urban water systems: a European perspective. In Approaches to water sensitive urban design (pp. 431-454). Woodhead Publishing.

[6] Depietri, Y., & McPhearson, T. (2017). Integrating the grey, green, and blue in cities: Nature-based solutions for climate change adaptation and risk reduction. Nature-based solutions to climate change adaptation in urban areas: Linkages between science, policy and practice, 91-109.

[7] Bauduceau, N., Berry, P., Cecchi, C., Elmqvist, T., Fernandez, M., Hartig, T., ... & Tack, J. (2015). Towards an EU research and innovation policy agenda for nature-based solutions & re-naturing cities: Final report of the horizon 2020 expert group on'nature-based solutions and re-naturing cities'.

[8] Ruangpan, L., Vojinovic, Z., Di Sabatino, S., Leo, L. S., Capobianco, V., Oen, A. M., ... & Lopez-Gunn, E. (2020). Nature-based solutions for hydro-meteorological risk reduction: a state-of-the-art review of the research area. Natural Hazards and Earth System Sciences, 20(1), 243-270.

[9] Lee, J. G., Selvakumar, A., Alvi, K., Riverson, J., Zhen, J. X., Shoemaker, L., & Lai, F. H. (2012). A watershed-scale design optimization model for stormwater best management practices. Environmental Modelling & Software, 37, 6-18.

[10] Guerrero, P., Haase, D., & Albert, C. (2018). Locating spatial opportunities for nature-based solutions: A river landscape application. Water, 10(12), 1869.

[11] Demesouka, O. E., Vavatsikos, A. P., & Anagnostopoulos, K. P. (2013). Suitability analysis for siting MSW landfills and its multicriteria spatial decision support system: method, implementation and case study. Waste management, 33(5), 1190-1206.

[12] Malczewski, J., & Rinner, C. (2015). Multicriteria decision analysis in geographic information science (Vol. 1, pp. 55-77). New York: Springer.

[13] Mubeen, A., Ruangpan, L., Vojinovic, Z., Sanchez Torrez, A., & Plavšić, J. (2021). Planning and suitability assessment of large-scale nature-based solutions for flood-risk reduction. Water Resources Management, 35(10), 3063-3081.

[14] Alves, A., Gersonius, B., Kapelan, Z., Vojinovic, Z., & Sanchez, A. (2019). Assessing the Co-Benefits of green-blue-grey infrastructure for sustainable urban flood risk management. Journal of environmental management, 239, 244-254.

[15] Bonnesoeur, V., Locatelli, B., Guariguata, M. R., Ochoa-Tocachi, B. F., Vanacker, V., Mao, Z., ... & Mathez-Stiefel, S. L. (2019). Impacts of forests and forestation on hydrological services in the Andes: A systematic review. Forest Ecology and Management, 433, 569-584.

[16] Venkataramanan, V., Packman, A. I., Peters, D. R., Lopez, D., McCuskey, D. J., McDonald, R. I., ... & Young, S. L. (2019). A systematic review of the human health and social well-being outcomes of green infrastructure for stormwater and flood management. Journal of environmental management, 246, 868-880.

[23] Hernoza, F., Susilo, B., & Erlansari, A. (2020). Pemetaan Daerah Rawan Banjir Menggunakan Penginderaan Jauh Dengan Metode Normalized Difference Vegetation Index, Normalized Difference Water Index Dan Simple Additive Weighting (Studi Kasus: Kota Bengkulu). Rekursif: Jurnal Informatika, 8(2).

[24] Ramadani, A., & Subagiada, K. (2016, July). Penentuan Zonasi Banjir Berdasarkan Parameter Kemiringan Lereng, Infiltrasi Tanah dan Tutupan Lahan di Areal Kampus Universitas Mulawarman Samarinda. In Prosiding Seminar Sains dan Teknologi FMIPA Unmul (Vol. 1, No. 1).

[25] Ramadhani, D., Hariyanto, T., & Nurwatik, N. (2022). Penerapan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam Pemetaan Potensi Banjir Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Kota Malang, Jawa Timur). Geoid, 17(1), 72-80.

[26] Karondia, L. A., Fitrian, R., & Hizkia, H. (2022). Pemetaan Zonasi Kerawanan Banjir berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Kabupaten Berau, Kalimantan Timur). Geoid, 18(1), 57-68.

[27] Bett, B., Tumusiime, D., Lindahl, J., Roesel, K., & Delia, G. (2021). The role of floods on pathogen dispersion. In Nature-Based Solutions for Flood Mitigation: Environmental and Socio-Economic Aspects (pp. 139-157). Cham: Springer International Publishing.

[28] Kuriqi, A., & Hysa, A. (2021). Multidimensional aspects of floods: nature-based mitigation measures from basin to river reach scale. In Nature-based solutions for flood mitigation: Environmental and socio-economic aspects (pp. 11-33). Cham: Springer International Publishing.

[29] Cong, C., Pan, H., Page, J., Barthel, S., & Kalantari, Z. (2023). Modeling place-based nature-based solutions to promote urban carbon neutrality. Ambio, 52(8), 1297-1313.

FAQ

  • Apa yang dimaksud infrastruktur biru-hijau?

Infrastruktur biru-hijau adalah konsep yang mengintegrasikan elemen-elemen alami dalam infrastruktur perkotaan untuk mengelola air secara berkelanjutan. Infrastruktur biru-hijau melibatkan penggunaan dan restorasi vegetasi, penataan ulang lahan, dan pengelolaan sumber daya air seperti sungai, danau, atau sistem drainase perkotaan. Tujuan utamanya adalah untuk meminimalkan risiko banjir, meningkatkan kualitas air, dan menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih hijau, sehat, dan berkelanjutan secara ekologis. Infrastruktur biru-hijau sering kali mencakup berbagai elemen seperti taman kota, taman-taman hujan, lahan basah, dan jalur sungai yang diperluas atau direstorasi untuk memperbaiki drainase dan mengurangi dampak banjir.

  • Apa yang dimaksud solusi berbasis alam?

Solusi berbasis alam merujuk pada pendekatan dalam manajemen bencana atau pengelolaan lingkungan yang mengandalkan atau mengintegrasikan elemen-elemen alami untuk mengatasi tantangan tertentu. Solusi ini seringkali lebih ramah lingkungan, berkelanjutan, dan sering kali lebih efektif dalam jangka panjang daripada solusi berbasis infrastruktur konvensional. Contoh solusi berbasis alam termasuk penggunaan vegetasi untuk konservasi tanah, dan restorasi lahan basah untuk peningkatan penyerapan air.

Data Publications