Analisis Parameter Kunci dalam Pemetaan Infiltrasi Alami di Kota Semarang

01/12/2024 • Farras Abyan

Map Infiltrasi Alami


Infiltrasi Alami
Infiltrasi Alami

Pendahuluan

Pemetaan infiltrasi alami menjadi salah satu langkah strategis dalam pengelolaan sumber daya air, terutama di kawasan perkotaan seperti Kota Semarang. Kota ini memiliki tantangan besar terkait pengelolaan air tanah akibat pesatnya urbanisasi, perubahan tata guna lahan, dan fenomena banjir yang kerap terjadi. Oleh karena itu, pemetaan infiltrasi alami dapat menjadi solusi untuk memahami bagaimana air hujan meresap ke dalam tanah, sekaligus membantu dalam perencanaan tata ruang yang berkelanjutan.

Beberapa parameter kunci yang digunakan dalam pemetaan ini meliputi curah hujan, potensi air tanah, jenis tanah, dan kemiringan lereng. Curah hujan menjadi faktor utama karena menentukan jumlah air yang tersedia untuk proses infiltrasi. Sementara itu, potensi air tanah menunjukkan kapasitas tanah untuk menampung air. Jenis tanah memengaruhi tingkat permeabilitas tanah, yaitu seberapa mudah air dapat meresap ke dalam lapisan tanah. Kemiringan lereng juga berperan penting karena lereng yang curam cenderung meningkatkan limpasan permukaan, sehingga mengurangi peluang infiltrasi.

Dengan mengintegrasikan keempat parameter tersebut, pemetaan infiltrasi alami di Kota Semarang dapat memberikan gambaran yang komprehensif. Hasilnya dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengelolaan air tanah yang lebih efektif, mitigasi banjir, serta pelestarian lingkungan di wilayah perkotaan yang terus berkembang.

Metodologi

Diagram Alir Pengolahan

Tahap pertama adalah pengumpulan data berupa peta parameter, yang meliputi peta kemiringan lereng, peta jenis tanah, peta curah hujan, dan peta potensi air tanah. Setiap parameter ini memiliki peran penting dalam memengaruhi kemampuan tanah menyerap air, sehingga diperlukan untuk analisis yang akurat.

Tahap berikutnya adalah pengolahan data melalui proses clip area studi dan overlay intersect. Pada langkah clip area studi, semua data peta dipotong atau dibatasi hanya pada area studi tertentu. Setelah itu, keempat peta parameter digabungkan menggunakan overlay intersect untuk menghasilkan data komposit yang memperhitungkan kontribusi masing-masing parameter dalam setiap lokasi area studi. Proses ini memungkinkan integrasi informasi dari berbagai sumber menjadi satu peta terpadu.

Langkah terakhir adalah skoring dan pembuatan peta hasil. Pada tahap skoring, setiap lokasi dalam peta hasil overlay diberi nilai berdasarkan pengaruh parameter terhadap potensi infiltrasi. Hasil skoring ini digunakan untuk menghasilkan peta infiltrasi alami yang memberikan visualisasi distribusi potensi infiltrasi di wilayah studi. Peta ini dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk perencanaan tata ruang, mitigasi banjir, atau pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.

Parameter Yang Digunakan

Curah Hujan

Curah hujan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan manusia, karena dapat memperlancar atau menghambat kegiatan manusia. Oleh karena itu, kualitas data curah hujan yang didapat harus bermutu dan memiliki keakuratan yang tinggi. Maka observer atau pengamat harus mengetahui alat penakar hujan yang sering dipakai, seperti penakan hujan jenis Hellman (Bunganaen, 2013).

Tingkat infiltrasi akan lebih besar untuk hujan dengan periode waktu lebih panjang. Berhubungan dengan hal tersebut, maka faktor hujan dikembangkan sebagai faktor “hujan infiltrasi” yang merupakan hubungan antara besarnya hujan dengan potensi infiltrasi. Setelah didapatkan hasil hujan infiltrasi, maka menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2022 tentang Penyusunan Rencana Umum Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai dan Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dapat diketahui hubungan antara nilai hujan infiltrasi dengan potensial infiltrasinya seperti pada tabel berikut

Klasifikasi Curah Hujan

Jenis Tanah

Tanah merupakan tubuh alam gembur yang menyelimuti sebagian permukaan bumi dan memiliki sifat serta karakteristik fisik, kimia, biologi, dan morfologi yang khas sebagai akibat dari serangkaian proses yang membentuknya. Pembentukan tanah dimulai setelah batuan hancur dan lepas karena adanya proses pelapukan fisik, kimia, serta biologi. Tanah memiliki pori dengan berbagai ukuran dan bentuk. Pori tanah adalah rongga antar partikel mineral tanah yang menjadi tempat air dan udara.

Sifat fisik tanah yang paling mempengaruhi tingkat infiltrasi yaitu tekstur tanah. Semakin kasar tekstur tanah, maka semakin besar tingkat infiltrasi untuk tanah tersebut. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2022 tentang Penyusunan Rencana Umum Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai dan Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, hubungan antara jenis tanah dengan tingkat infiltrasi dapat terlihat seperti pada tabel berikut

Klasifikasi Jenis Tanah

Potensi Air Tanah

Air tanah merupakan air yang secara alami maupun buatan berada di bawah permukaan tanah, baik pada lapisan akuifer atau bukan (Nelson & Quevauviller, 2016). Air tanah adalah sumber air bersih terbesar di dunia yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan seperti agrikultur, industri, margasatwa, serta aktivitas manusia (Ebrahimi, Ghazavi, & Karimi, 2016).

Potensi air tanah adalah air yang berada pada formasi batuan (akuifer) yang mampu menyimpan dan mengalirkan air. Data potensi air tanah mampu didapatkan dari data hidrogeologi. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2022 tentang Penyusunan Rencana Umum Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai dan Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, hubungan antara potensi air tanah dengan tingkat infiltrasi dapat terlihat seperti pada

Klasifikasi Potensi Air Tanah

Kemiringan Lereng

Kemiringan pada lereng menunjukkan ukuran kemiringan terhadap bidang datar yang dinyatakan dalam bentuk derajat atau persen. Lahan yang memiliki persentase kemiringan besar, akan berpotensi memperbesar aliran permukaan dan energi angkutan. Energi angkutan yang besar mengakibatkan jumlah partikel-partikel tanah yang terlepas dari permukaan akibat air hujan menjadi semakin banyak. Lereng terdiri dari beberapa bagian seperti bagian puncak (crest), bagian cembung (convex), bagian cekung (voncave), dan bagian kaki lereng (lower slope). Bagian puncak merupakan daerah yang memiliki potensi gerusan paling tinggi dibandingkan daerah bawahnya. Sedangkan bagian kaki merupakan bagian endapan hasil gerusan erosi yang terjadi pada daerah puncak (Van Zuidam, 1985).

Kemiringan lereng berpengaruh terhadap resapan air tanah. Apabila suatu daerah mempunyai kelerengan yang tinggi, maka berpotensi untuk memiliki resapan air yang baik, contohnya daerah pegunungan. Namun apabila suatu daerah memiliki kelerengan yang rendah atau termasuk daerah yang landai, maka berpotensi memiliki resapan air yang buruk. Pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2022 tentang Penyusunan Rencana Umum Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai dan Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dijelaskan hubungan antara kemiringan lereng dengan tingkat infiltrasi seperti yang tertera pada

Klasifikasi Kemiringan Lereng

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan peta infiltrasi alami menggunakan data peta tematik kemiringan lereng, jenis tanah, hujan infiltrasi, dan potensi air tanah yang telah diklasifikasikan terhadap infiltrasi, sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2022 tentang Penyusunan Rencana Umum Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai dan Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Hasil peta infiltrasi alami sebagai berikut.

Peta Infiltrasi Alami

Hasil luasan dan persentase pada masing-masing kelas potensi infiltrasi alami, dijelaskan pada tabel

Hasil pengolahan

Peta infiltrasi alami didapatkan dengan melakukan penjumlahan skor kemiringan lereng, jenis tanah, hujan infiltrasi, dan potensi air tanah. Hasil peta infiltrasi alami yaitu sebagian wilayah mendapatkan skor antara 10-13, sehingga termasuk dalam kelas potensi infiltrasi sedang, dengan persentase luasan 53,24%. Pada kelas infiltrasi alami besar, memiliki persentase luasan 38,86%, dan kelas infiltrasi alami kecil, dengan persentase luasan 7,9%. Sedangkan untuk kelas sangat besar dan sangat kecil tidak ada, karena tidak ada area yang memiliki hasil penjumlahan skor yang melebihi 17, atau kurang dari 6.

Pada area dengan kelas potensi infiltrasi alami yang besar, memiliki topografis daerah yang datar, jenis tanah dengan permeabilitas yang tinggi, curah hujan periode panjang, dan potensi air tanah yang tinggi. Area dengan potensi infiltrasi alami yang besar umumnya memiliki penutupan lahan berupa jenis vegetasi yang rapat, sehingga curah hujan mampu diresap ke dalam tanah dengan efektif. Sedangkan untuk area potensi infiltrasi alami yang kecil merupakan sebaliknya.

Kesimpulan

Hasil analisis peta infiltrasi alami menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah memiliki potensi infiltrasi sedang (53,24%), diikuti oleh kelas potensi besar (38,86%) dan kecil (7,9%), tanpa adanya kelas sangat besar maupun sangat kecil. Wilayah dengan potensi infiltrasi besar ditandai oleh topografi datar, tanah berpermeabilitas tinggi, curah hujan yang panjang, potensi air tanah tinggi, dan vegetasi rapat yang mendukung penyerapan air. Sebaliknya, wilayah dengan potensi infiltrasi kecil memiliki kondisi topografi curam, tanah berpermeabilitas rendah, curah hujan tidak merata, dan potensi air tanah rendah. Pemetaan ini menjadi dasar penting untuk pengelolaan air tanah, mitigasi banjir, dan perencanaan wilayah berkelanjutan.

Referensi

Bunganaen, W. e. (2013). Analisis Hubungan Tebal Hujan dan Durasi Hujan pada Stasiun Klimatologi Lasiana Kota Kupang. Jurnal Teknik Sipi, 182-183.

Nelson, R., & Quevauviller, P. (2016). Groundwater Law. In A. J. Jakeman, O. Barreteau, R. J. Hunt, J-D. Rinaudo, & A. Ross (Eds). Integrated Groundwater Management, 173-196. doi:10.1007/978-3-319-23576-9_7

Ebrahimi, H., Ghazavi, R., & Karimi, H. (2016). Estimation of Groundwater Recharge from the Rainfall and Irrigation in an Arid Environment Using Inverse Modeling Approach and RS. Water Resources Management, 1939-1951. doi:10.1007/s11269-016-1261-6

Van Zuidam, R. A. (1985). Guide to Geomorphologic Aerial Photographys Interpretation and Mapping. Enschede The Netherlands, 325.

Data Publications