Latar Belakang
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang terletak di pulau Jawa yang memiliki komoditas utama berupa wisata. Yogyakarta memiliki beragam wisata, yaitu wisata buatan, wisata alam, wisata sejarah maupun wisata kuliner. Salah satu kecamatan di Yogyakarta yang memiliki wisata sejarah adalah Kotagede. Kotagede adalah sebuah kota lama yang terletak di Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Kotagede merupakan salah satu kawasan padat di Kota Yogyakarta dan statusnya saat ini merupakan Kawasan cagar budaya (KCB). Kotagede mulai banyak dikenal oleh masyarakat luas sejak abad ke-16, yaitu saat awak kerajaan Mataram Islam. (Dinas kebudayaan Kota Yogyakarta, 2020).
Kawasan Cagar Budaya Kotagede merupakan wilayah bekas ibu kota kerajaan Mataram-Islam yang memiliki struktur pola ruang yang khas dengan komponen yang menunjukkan fungsi sebagai ibu kota kerajaan abad ke- 16 sampai abad ke- 17.
Saat ini, Kawasan Cagar Budaya Kotagede menjadi salah satu destinasi wisata sejarah yang populer di Yogyakarta. Beragam objek wisata bersejarah di kawasan ini dapat dijelajadi melalui rute-rute tertentu. Penentuan rute yang efektif dan efisien menjadi penting agar pengunjung dapat menikmati keunikan setiap lokasi tanpa menghabiskan terlalu banyak waktu. Dengan memanfaatkan teknologi GIS, rute jelajah dapat dirancang secara optimal, sehingga pengunjung dapat menikmati pengalaman wisata yang lebih baik.
Metodologi
Lokasi penelitian ini berada di Kawasan Cagar Budaya Kotagede yang merupakan kota lama dan terletak di Yogyakarta bagian selatan. Wilayah Kecamatan Kotagede sebagian merupakan bagian dari bekas Kotagede ditambah dengan daerah sekitarnya. Sedangkan bagian lain dari bekas Kotagede berada di wilayah Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Peninggalan kerajaan mataram islam yang berada di Kecamatan Kotagede maupun Kecamatan Banguntapan Bantul lebih sering disebut dengan Kawasan Cagar Budaya Kotagede. Penelitian ini menggunakan metode analisis jaringan (network analysis) yang ada di software QGIS untuk menentukan rute jelajah yang optimal di Kotagede. Data yang digunakan meliputi titik koordinat lokasi objek Kawasan Cagar Budaya, dan jaringan jalan. Data yang sudah dikumpulkan kemudian dilakukan pembuatan rute menggunakan software QGIS dengan memanfaatkan tools network analysis. Pembuatan rute dari satu objek ke objek lainnya dilakukan dengan cara mengunjungi secara langsung lokasi objek untuk mengetahui jarak dan waktu yang efisien.
Hasil dan Pembahasan
Hasil yang diperoleh dengan menggunakan network analysis menunjukkan bahwa Kawasan cagar Budaya Kotagede memiliki jaringan jalan yang cukup padat dengan beberapa obyek yang saling berdekatan. Dalam pembuatan rute jelajah Kawasan Cagar Budaya (KCB) Kotagede diperoleh 18 titik obyek yang bisa dikunjungi, obyek disini juga meliputi lokasi yang menunjukkan khas dari Kotagede seperti makanan kipo dan lokasi pengrajin perak. Pembuatan rute ini dilakukan dengan cara observasi langsung ke lokasi untuk mengetahui jarak tiap obyek dengan waktu total untuk jelajah ini kurang lebih membutuhkan waktu 1 jam 30 menit jika menggunakan sepeda dan apabila menggunakan motor membutuhkan waktu sekitar 40 menit.
Berdasarkan hasil network analysis (point to point), berikut adalah rincian rute jelajah dan penjelasan singkat tiap lokasi :
- Museum Kotagede :
Museum Kotagede bertempat di Tegalgendhu, Kotagede, Museum ini menempati rumah B.H. Noerijah, seorang wong Kalang yang terpandang. Noerijah dikenal sebagai pengusaha berlian ternama pada masanya, dengan bisnis yang mendatangkan berlian langsung dari Belanda. Rumah ini dibangun antara tahun 1931 dan 1938, memadukan tata ruang tradisional Jawa dengan elemen arsitektur Eropa, seperti kaca patri dan Belgia, ornamen khas dan warna-warna cerah yang terinspirasi dari Kraton Yogyakarta.
Sumber : harianjogja.com
- Omah Dhuwur
Omah dhuwur di Kotagede merupakan restoran yang menempati bekas rumah orang-orang kaya di Kotagede, yaitu orang kalang. Bangunan ini berusia lebih dari 150 tahun dengan nilai sejarah dan budaya. Bangunan ini awalnya dimiliki oleh Pak Tembong, seorang tokoh wong kalang yang terkenal pada awal 1900-an.
Arsitektur Omah Dhuwur merupakan pepaduan antara gaya kolonial dan tradisional jawa. Bangunan ini terdiri dari dua bagian utama : rumah induk berbentuk pendopo joglo dan ruangan tambahan yang mencerminkan pengaruh arsitektur indische.
Indonesia Traveler
- Gang soka
Gang soka adalah sebuah gang yang terletak di Kotagede, Yogyakarta, gang ini dikenal karena keindahan arsitektur tradisional Jawa yang masih terjaga. Gang soka juga dikenal sebagai salah satu gang paling indah do Kotagede, dengan pengaruh arsitektur Eropa yang masih dapat ditemukan dalam bangunan-bangunan berwarna-warni di sepanjang gang ini.
- Rumah pesik
Rumah Pesik merupakan rumah yang dimiliki oleh seorang pengusaha Kotagede bernama Rudy J. Persik. Keberadaan rumah ini di antara bangunan-bangunan rumah warga sekitar terlihat sangat menonjol dan berbeda. Rumah Pesik menjadi salah satu rumah kuno yang mewah dengan perpaduan arsitektur khas Jawa dan Eropa. Tampilan pada tembok luarnya berwarna hijau terang, menjadikan rumah ini mudah untuk dikenali, bersatu dengan sentuhan ornamen khas Jawa dan sentuhan Eropa di sepanjang sisinya.
- Langgar Dhuwur Jagalan
Langgar Dhuwur Jagalan merupakan salah satu langgar dhuwur yang masih bertahan di kawasan Kotagede, Yogyakarta. Dari sisi arsitektur, bangunan ini memiliki ciri khas berupa dinding kayu berornamen di bagian utara dan empat jendela di sisi barat. Mihrabnya dibuat dari kayu dan menjorok ke luar, menjadi salah satu daya tarik uniknya. Lantai musala ini menggunakan cor semen yang dilapisi karpet merah, sementara atapnya ditopang oleh konsol besi berbentuk segitiga dengan hiasan sulur-suluran yang indah.
- Omah UGM
Omah UGM merupakan sebutan untuk sebuah bangunan rumah adat milik Universitas Gajah Mada. Sebelum dibeli oleh UGM pasca gempa Mei 2006, rumah ini adalah milik keluarga Parto Darsono. Terletak di kampung Bodon, Jagalan, omah UGM difungsikan sebagai pusat pergerakan pelestarian. Pendapa di kompleks omah UGM ini adalah bangunan baru yang didirikan pasca gempa tahun 2006. Sedangkan Gandhok di sebelah timur pendapa yang roboh karena gempa, dibangun kembali dengan tetap melestarikan bekas dinding yang sudah tidak utuh lagi.
- Kompleks makam dan masjid agung
Masjid Agung merupakan salah satu masjid kuno yang ada di Yogyakarta, masjid ini berada di kotagede, berjarak 5 kilometer dari kota Yogyakarta. Masjid ini merupakan masjid pertama yang dibangun pada masa kerjaan Mataram Islam pada tahun 1640-an ini terdapat prasasti yang menyebutkan masjid dibangun dalam dua tahap. Kompleks ini dikelilingi oleh tembok berbahan batu dengan tinggi kurang lebih 2,5 meter. Terdapat dua pintu masuk yang dibedakan fungsinya di dalam masjid ini yaitu pintu gerbang utama di sebelah timur yang digunakan untuk para jamaah dan pintu gerbang pelayanan di sebelah utara untuk para wali (system registrasi nasional cagar budaya, 2007).
- Sendang Seliran
Sendang Seliran adalah pemandian bersejarah yang terletak di sebelah selatan kompleks Makam Raja-raja Mataram Kotagede. Area ini dihubungkan dengan gapura paduraksa dan berada di tanah yang lebih rendah, dengan akses melalui trap tangga. Kompleks ini memiliki halaman seluas 25 x 16 meter, terdiri dari dua kolam utama, yaitu Sendang Seliran Kakung di utara untuk pria dan Sendang Seliran Estri di selatan untuk wanita. Kedua kolam dikelilingi tembok bata setinggi 2 meter, dengan akses masuk di sisi kiri dan kanan kelir yang terletak di bagian timur.
Setiap tahun, masyarakat setempat melaksanakan tradisi "Nawu Sendang Seliran," yaitu upacara pembersihan kolam yang dilakukan menjelang Ramadan. Tradisi ini melibatkan abdi dalem dari Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Jogja Cagar
- Between two gates
Between Two Gates adalah kawasan permukiman unik di Kampung Alun-Alun, Purbayan, Kotagede, yang terdiri dari sembilan rumah joglo tradisional. Rumah-rumah ini terhubung oleh lorong sempit yang dikenal sebagai Jalan Rukunan, sebuah jalur milik pribadi yang terbuka untuk umum sebagai simbol kerukunan warga. Warga setempat menciptakan suasana harmonis dengan menyediakan tempat duduk berbentuk undakan di depan rumah, memperkuat hubungan kekerabatan.Rumah-rumah di Between Two Gates masih mempertahankan tata ruang tradisional Jawa yang terdiri atas zona publik, semi-publik, privat, dan semi-privat. Rumah-rumah ini memiliki arsitektur khas yang membedakannya dari bangunan di luar kawasan. Keaslian dan keunikan ini menjadikan kawasan ini bagian penting dari museum hidup (Living Museum) Kotagede, yang merepresentasikan identitas budaya lokal yang harus dilestarikan.
- Benteng cepuri
Benteng Cepuri adalah peninggalan Kerajaan Mataram Islam berupa reruntuhan benteng yang dibangun pada tahun 1507 dan selesai pada 1516. Sejarah pembangunannya tercatat dalam Babad Momana. Warga setempat menyebutnya "Bokong Semar" karena bentuk melengkung pada dindingnya menyerupai bokong tokoh wayang Semar. Benteng ini dikelilingi parit (jagang) di sisi barat, selatan, dan timur, yang berfungsi sebagai pertahanan keamanan. Benteng Cepuri memisahkan area dalam (jeron), tempat tinggal keluarga kerajaan, dengan area luar (jaba), tempat bermukim rakyat biasa. Di sisi utara benteng terdapat struktur yang dikenal sebagai "Benteng Jebolan Raden Rangga," yang diyakini pernah dijebol oleh Pangeran Rangga, putra Panembahan Senapati.
- Watu gilang pasareyan
Situs watu gilang adalah bagian dari peninggalan bersejarah yang terletak di Kawasan Kotagede, Yogyakarta. Di dalamnya terdapat 3 batu yaitu watu gilang, watu gatheng, dan watu genthong dan memiliki cerita tersendiri terkait dengan masa kejayaan Mataram Islam.
-
1.Watu Gilang : Batu persegi berbahan andesit berwarna hitam (140 x 119 x 12,5 cm), digunakan sebagai alas duduk Panembahan Senapati. Permukaannya halus dan mengkilap dengan inskripsi pendek dalam empat bahasa (Latin, Perancis, Belanda, dan Italia) yang berisi simbol petir dan frasa seperti In Gloriam Maximan (untuk kemuliaan tertinggi). Batu ini melambangkan kewibawaan dan spiritualitas di era Kerajaan Mataram Kotagede.
-
2.Watu Gatheng : Tiga batu kalsit berwarna kekuningan dengan diameter masing-masing 31 cm, 27 cm, dan 15 cm. Batu ini dipercaya sebagai mainan gatheng Raden Rangga, putra Panembahan Senapati yang terkenal sakti. Uniknya, lubang pada batu dianggap bekas tusukan jarinya. Tradisi lisan mengaitkan batu ini dengan permainan kekuatan Raden Rangga, sementara beberapa ahli menduga batu ini berasal dari sungai atau peluru batu kuno.
-
3.Watu Genthong : Tempayan berbahan andesit berbentuk bulat telur (tinggi 50 cm, diameter 57 cm). Batu ini digunakan untuk menampung air wudhu milik Patih Mandaraka (Ki Jurumartani), penasihat raja. Watu Genthong menjadi simbol kesederhanaan dan fungsi spiritual dalam kehidupan sehari-hari kerajaan.
- Langgar dhuwur boharen
Langgar Dhuwur Boharen adalah salah satu musala tertua di Kotagede, Yogyakarta, yang memiliki sejarah panjang hingga ratusan tahun. Berlokasi di Purbayan, Kotagede, bangunan ini didirikan menggunakan konstruksi kayu yang ditopang oleh tiang tembok, mencerminkan arsitektur tradisional Jawa.Pada abad ke-19, pertumbuhan jumlah penduduk Muslim di Kotagede mendorong masyarakat untuk membangun ruang ibadah yang lebih privat. Langgar ini menjadi salah satu contohnya dan dimiliki secara pribadi oleh keluarga KH Ahmad Charris Zubair, generasi keempat yang tinggal di rumah tersebut.
Brilio.net
- Area produsen silver
Kotagede, sebuah kawasan bersejarah di Yogyakarta, dikenal sebagai pusat kerajinan perak yang telah berkembang sejak abad ke-16, ketika wilayah ini menjadi ibu kota Kesultanan Mataram. Pada masa itu, industri tradisional perak, emas, dan tembaga mulai berkembang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan upacara keluarga kerajaan.
Pada era kolonial 1930-an, kerajinan perak Kotagede mengalami kemajuan pesat. Produk perak Kotagede khas dengan motif floral, seperti daun atau bunga teratai, yang berakar dari tradisi Hindu, serta pengerjaan manual yang autentik. Jenis produk yang dihasilkan meliputi filigree, pengecoran perak, patung miniatur, dan perhiasan buatan tangan seperti kalung dan cincin. Jalan Kemasan, jalan utama yang menuju Kotagede dari arah utara, dipenuhi dengan bengkel perak yang menjual berbagai produk seperti mangkuk, kotak, filigree halus, dan perhiasan modern. Wisatawan dapat mengunjungi bengkel-bengkel ini untuk melihat langsung proses pembuatan kerajinan perak dan membeli produk sebagai cenderamata.
- Pasar legi kotagede
Pasar Legi Kotagede berdiri sejak era Kerajaan Mataram Islam di bawah Panembahan Senopati, awalnya menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti beras, jagung, umbi-umbian, rempah-rempah, dan hasil kebun yang dapat diperdagangkan atau dipertukarkan. Seiring waktu, jenis barang yang dijual berkembang sesuai zaman, dengan pasar pagi hari menjual bahan mentah, sementara sore hari menjual makanan. Filosofi pasar ini mengacu pada tiga poros: pemerintahan, pusat ibadah, dan ekonomi.
Dalam sejarah tata kota Jawa, kerajaan sering menata keraton, masjid, alun-alun, dan pasar dalam satu poros yang dikenal dengan Catur Gatra Tunggal, yang menghubungkan pemerintahan, agama, dan ekonomi. Sejak zaman dahulu, pasar ini dikenal dengan sebutan Surgede. Namun, meskipun masih aktif, Pasar Legi Kotagede kini menghadapi masalah kualitas dan kenyamanan, dengan pengelolaan pasar yang kurang baik dan kesadaran masyarakat yang rendah terhadap kebersihan. Kurangnya lahan parkir juga menyebabkan kemacetan di sekitar pasar.
- Sopingen
Dalem Sopingen merupakan sebuah situs bersejarah yang terletak di Kotagede, Yogyakarta. Tempat ini dikenal sebagai salah satu rumah adat atau kediaman bangsawan pada masa Kerajaan Mataram Islam, dan memiliki nilai sejarah yang sangat penting karena merupakan salah satu peninggalan dari masa kejayaan kerajaan tersebut.
Dalem Sopingen terletak di kawasan Kotagede, yang dikenal sebagai pusat pemerintahan awal Kerajaan Mataram Islam. Selain berfungsi sebagai kediaman, Dalem Sopingen juga menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya pada masa tersebut. Desain bangunannya mencerminkan arsitektur tradisional Jawa yang khas, yang memperlihatkan betapa pentingnya peran Dalem Sopingen dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam.
- Masjid perak kotagede
Masjid Perak Kotagede, yang terletak di Jalan Mondorakan Kotagede, dibangun pada 1 Syuro 1940, diprakarsai oleh tiga ulama Kotagede. Masjid Perak juga berperan penting dalam menjaga persatuan bangsa Indonesia pada era 1950-an hingga 1960-an, terutama dalam menghadapi konflik politik. Nama "Perak" bukan terkait dengan pengusaha perak, tetapi berasal dari kata Arab "Firoq" yang berarti pembeda, melambangkan kebebasan pemikiran dan pemisahan agama dari kekuasaan kerajaan. Pembangunan masjid ini diinisiasi untuk mengantisipasi perkembangan Islam di Kotagede, karena Masjid Agung Kota Gede sudah tidak mampu menampung jamaah dan terikat aturan birokratis dari Kraton.
- Makanan Kipo
Kue Kipo adalah jajanan tradisional yang berasal dari Kotagede dan dapat ditemukan dengan mudah di sekitar Pasar Legi Kotagede. Kue ini sudah ada sejak era Kerajaan Mataram Kuno dan dulunya menjadi favorit para bangsawan. Nama "kipo" berasal dari pertanyaan dalam bahasa Jawa, "Iki opo?" yang artinya "Ini apa?" sehingga kemudian disebut kipo. Bentuk kue ini lonjong, pipih, dan lembut, terbuat dari tepung ketan yang diisi dengan enten-enten atau unti kelapa. Kue Kipo dibungkus dengan daun kelapa menggunakan metode tempelangan, yaitu dengan menata makanan di atas selembar daun, kemudian menutupnya dengan daun lainnya dan melipat kedua ujungnya serta menyematkan lidi. Selain versi tradisional, Kue Kipo juga terkenal dengan varian modern, salah satunya Kipo Bu Djito. Kipo Bu Djito menjadi salah satu merek yang terkenal di Kotagede karena mempertahankan cita rasa asli kipo sambil melakukan inovasi, seperti varian isi yang lebih beragam, namun tetap mengedepankan rasa khas kipo yang lezat. Kipo Bu Djito tetap menggunakan cara tradisional dalam pembuatannya, menjaga kualitas dan rasa otentik dari jajanan khas Kotagede ini.
- Hs. Silver
HS. Silver Kotagede adalah salah satu pengrajin perak terkenal yang terletak di Kotagede, Yogyakarta. Sejak didirikan, HS. Silver telah dikenal karena menghasilkan perhiasan dan kerajinan perak berkualitas tinggi, baik untuk pasar lokal maupun internasional. Pengrajin di HS. Silver Kotagede menggunakan teknik tradisional yang telah diwariskan turun-temurun, namun tetap mengadopsi desain modern yang inovatif. Kotagede, yang dikenal sebagai pusat industri perak di Yogyakarta, memiliki sejarah panjang dalam pembuatan perak, dan HS. Silver merupakan salah satu yang terkemuka di daerah tersebut. Produk-produk yang dihasilkan meliputi perhiasan seperti cincin, kalung, gelang, dan anting, serta barang-barang dekoratif lain yang terbuat dari perak murni. HS. Silver juga menerima pesanan custom, memberikan kesempatan kepada pelanggan untuk membuat desain pribadi sesuai dengan keinginan mereka.
Peta Rute Jelajah Kawasan Cagar Budaya Kotagede
Hasil akhir yaitu peta rekomendasi rute jelajah Kawasan Cagar Budaya Kotagede. Peta ini dapat digunakan sebagai panduan apabila ingin berkunjung ke Kotagede untuk mendapatkan waktu jelajah yang efisien.
Kesimpulan
Kawasan Cagar Budaya (KCB) Kotagede, sebagai bekas ibu kota Kerajaan Mataram Islam, memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata sejarah. Struktur ruang yang khas dan beragam peninggalan sejarah membuat kawasan ini menarik untuk dijelajahi. Penelitian ini memanfaatkan teknologi GIS, khususnya metode network analysis di software QGIS, untuk merancang rute jelajah yang efektif dan efisien. Dengan pendekatan ini, diidentifikasi 18 titik objek wisata bersejarah di Kotagede, termasuk lokasi khas seperti tempat pengrajin perak dan pusat makanan tradisional seperti kipo.
Hasil network analysis menunjukkan bahwa rute jelajah optimal membutuhkan waktu sekitar 1 jam 30 menit dengan sepeda atau 40 menit dengan motor. Observasi langsung memastikan keakuratan jarak dan waktu, serta memberikan pengalaman nyata terhadap kondisi di lapangan. Rute ini memungkinkan pengunjung menikmati berbagai objek bersejarah dalam waktu yang singkat tanpa kehilangan esensi dari keunikan masing-masing lokasi. Dengan pendekatan ini, diharapkan wisata sejarah di Kotagede dapat semakin berkembang dan memberikan pengalaman yang memuaskan bagi pengunjung, sekaligus mendukung pelestarian kawasan cagar budaya.
Referensi
Dinas kebudayaan DIY. Memuliakan sejarah melalui bangunan museum Kotagede. Diakses 19 Desember 2024. Tetrived from https://budaya.jogjaprov.go.id/berita/detail/1004-memuliakan-sejarah-melalui-bangunan-museum-kotagede
Rizaldi Baihaqi, H. (2021). Perancangan Interior Omah Dhuwur Resto (Doctoral dissertation, ISI Yogyakarta).
Litiloly, M. K. (2019). STUDI MORFOLOGI KAWASAN KOTAGEDE DI KOTA YOGYAKARTA: Perkembangan Pola Kawasan Kotagede dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jurnal Arsitektur Komposisi, 12(3), 211-224.