Penulis: Sobat MAPID dan Sobat Air Jakarta
Latar Belakang
Jakarta dikenal sebagai kota yang lekat dengan air, dengan karakteristik hidrologis kompleks akibat lokasinya di dataran rendah, padat penduduk, dan dilalui 13 sungai. Banjir menjadi masalah tahunan, bahkan pada 2002, Pemprov DKI Jakarta mengusulkan anggaran 17 triliun rupiah untuk penanganannya (Maryono, 2014). Di sisi lain, masyarakat juga memiliki kedekatan dengan ekosistem air, baik untuk kebutuhan harian maupun ruang publik. Sebagai solusi, Ruang Terbuka Biru (RTB) hadir untuk mendukung daya serap air sekaligus menjadi ruang sosial.
Pemerintah berkomitmen membangun dan memperbaiki RTB, seperti melalui Festival Danau Sunter 2022 (Tempo, 2022). Namun, pendekatan fisik saja tidak cukup. Diperlukan keterlibatan publik dalam mengenali dan menjaga RTB. Lewat teknologi geospasial dan geotagging, masyarakat diajak menjelajah RTB secara langsung, membangun pemahaman kolektif tentang konservasi air dan pentingnya perencanaan kota berbasis data.
Sejarah dan Perkembangan RLS (Ruang Limpah Sungai)
Konsep Ruang Limpah Sungai (RLS) mulai dikembangkan sebagai respons terhadap tantangan pengendalian banjir di kawasan perkotaan, khususnya Jakarta. Sebagai bagian dari pendekatan Ruang Terbuka Biru (RTB), RLS dirancang untuk menampung limpasan air saat debit sungai melebihi kapasitasnya, sekaligus menjaga ekosistem di sekitarnya.
Penerapan RLS di Jakarta bermula dari kesadaran akan pentingnya solusi berbasis alam atau nature-based solution dalam menghadapi bencana hidrometeorologi. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2030, RLS termasuk dalam strategi penguatan infrastruktur hijau dan biru, dengan target mencakup 5% dari total luas wilayah kota (Detik, 2020).
Hingga akhir 2022, telah dibangun tiga RLS utama: RLS Pondok Ranggon dengan kapasitas ±890.000 m³, RLS Brigif ±256.000 m³, dan RLS Lebak Bulus ±44.000 m³. Selain fungsi hidrologis, RLS juga diarahkan menjadi ruang terbuka publik yang mendukung aktivitas warga dan pemulihan ekosistem sempadan sungai. Dengan demikian, RLS tidak hanya menjadi infrastruktur penanggulangan banjir, tetapi juga bagian dari lanskap kota yang adaptif dan inklusif (Tempo. 2022).
Menelusuri RLS Lebak Bulus: Kolaborasi Alam, Air, dan Masyarakat
RLS Lebak Bulus adalah salah satu RTB di Jakarta sudah dalam selesai tahap pembangunan, dan RLS ini adalah satu pusat atau spot yang didatangi warga sebagai tempat wisata, selain fungsinya sebagai penampung ketika banjir meluap didaerah tersebut. Terletak di Jalan Lebak Bulus, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, RLS ini dibangun sebagai bagian dari strategi pengendalian banjir yang terintegrasi dengan ruang sosial dan ekologis kota (WRI, 2022).

Gambar 1. Kegiatan Masyarakat di RLS Lebak Bulus
Pentingnya Rute Jelajah Berbasis GIS untuk Wisata Walking Tour
Sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Sobat Air Jakarta x MAPID 2025, inisiatif pemetaan partisipatif di Ruang Limpah Sungai (RLS) Lebak Bulus menjadi langkah nyata untuk mendekatkan masyarakat dengan infrastruktur air di Jakarta. Melalui pendekatan kolaboratif dan edukatif, kegiatan ini mengajak warga menjelajahi langsung Ruang Terbuka Biru (RTB) sembari belajar memetakan titik-titik penting menggunakan teknologi geospasial berbasis aplikasi MAPID.
Rute jelajah ini dirancang berbasis Sistem Informasi Geografis (GIS), dengan mempertimbangkan aspek aksesibilitas, konektivitas antar titik, serta jarak tempuh menuju RLS. Pendekatan ini tidak hanya memudahkan masyarakat mengenal RTB sebagai ruang publik, tetapi juga memperkaya pemahaman mereka terhadap fungsi ekologis kawasan. Pemetaan berbasis isochrone membantu memvisualisasikan jangkauan waktu tempuh jalan kaki, serta potensi keterhubungan RLS dengan fasilitas sekitar.
Dalam proses pemetaan, masyarakat juga terlibat melakukan tagging lokasi untuk menilai efektivitas berbagai titik sekitar RLS dalam mendukung pengurangan banjir dan fungsi sosial sebagai ruang ketiga. Seluruh kegiatan tagging dilakukan menggunakan MAPID Apps, sebuah aplikasi geospasial yang tersedia di Play Store dan App Store. MAPID Apps memungkinkan pengguna melakukan penandaan lokasi langsung di lapangan yang terintegrasi dengan sistem database, sehingga data yang dikumpulkan dapat divisualisasikan secara real-time dan digunakan untuk analisis spasial lanjutan.

Gambar 2. Kolaborasi MAPID dan SAJ untuk Melakukan Tagging Lokasi.
Metodologi
Metodologi kegiatan ini diawali dengan tahap persiapan, meliputi penentuan lokasi, perencanaan teknis, dan pelatihan partisipan menggunakan software MAPID MAPS. Selanjutnya, data dikumpulkan melalui event walking tour yang mencakup tiga komponen utama: titik perjalanan menuju RLS, jaringan jalan yang dilalui, serta titik-titik di sekitar RLS yang merepresentasikan kondisi eksisting. Data perjalanan dan jaringan jalan dianalisis menggunakan pendekatan isochrone untuk menghasilkan peta rute walking tour, sementara data titik eksisting melalui proses cleansing menghasilkan peta existing site RLS. Pendekatan ini bertujuan membangun pemahaman spasial yang utuh terhadap aksesibilitas dan potensi ruang terbuka biru di sekitar RLS.

Gambar 3. Diagram Alir.
Hasil dan Pembahasan
Dengan luas lahan ±4,4 hektar dan kapasitas tampung sekitar ±44.000 m³, RLS Lebak Bulus difungsikan untuk menampung limpahan debit air dari Kali Grogol saat terjadi hujan ekstrem. Fungsinya vital dalam mengurangi risiko banjir di kawasan hilir seperti Palmerah dan Kebayoran. Konsep green and blue infrastructure diterapkan dalam pengelolaannya, yang menyeimbangkan antara penyerapan air, pengendapan alami, dan aliran air secara efisien. Selain fungsinya sebagai pengendali banjir, RLS Lebak Bulus juga dibuka untuk publik sebagai ruang terbuka biru.
Jalur inspeksi yang disediakan berfungsi ganda sebagai lintasan lari dan area rekreasi warga. RLS ini juga dirancang untuk mendukung infiltrasi air tanah, memperbaiki ekosistem perairan, serta menjadi contoh nyata penerapan solusi berbasis alam dalam perencanaan kota. Proyek ini merupakan bagian dari 942 Project dan menandai langkah penting Jakarta dalam membangun kota yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.
Isochrone Walkingtour RLS Lebak Bulus
Analisis peta isochrone jalan kaki di kawasan Lebak Bulus dilakukan dengan mengambil titik pusat pada akses utama Ruang Limpah Sungai (RLS) yang berada di sekitar area Stasiun MRT Lebak Bulus. Titik ini dipilih karena merupakan simpul transportasi massal yang strategis, dikelilingi oleh permukiman padat, fasilitas publik, serta kawasan komersial yang aktif.
Peta menunjukkan bahwa area yang dapat dijangkau dalam waktu 18 menit berjalan kaki (isochrone hijau tua) melingkupi hampir seluruh wilayah Kelurahan Lebak Bulus dan sebagian Cilandak Barat. Dalam zona ini, masyarakat dapat mengakses berbagai fasilitas seperti sekolah, rumah ibadah, pusat kesehatan, ruang publik, dan titik-titik penting seperti Pasar Jumat dan area komersial di Jalan R.A. Kartini. Sementara itu, pada zona bersepeda selama 6 menit, jangkauan meluas hingga ke kawasan Transit-Oriented Development (TOD) Fatmawati dan lingkungan sekitar Jalan TB Simatupang.
Temuan ini menegaskan bahwa RLS Lebak Bulus memiliki peran strategis dalam mendukung mobilitas berbasis non-motorized transport. Selain sebagai ruang penampungan air saat hujan ekstrem, RLS juga memperkuat konektivitas pejalan kaki dan pesepeda di kawasan urban, membuka peluang integrasi antara fungsi ekologis dan sosial yang lebih luas.

Gambar 4. Hasil Isochrone RLS Lebak Bulus.
Analisis Jaringan Rute Walkingtour RLS Lebak Bulus
Peta walking tour ini dirancang untuk mengajak pejalan kaki menelusuri kawasan Lebak Bulus dengan titik akhir di Ruang Limpah Sungai (RLS) Lebak Bulus, sebuah ruang terbuka biru yang berfungsi sebagai penampung air hujan sekaligus ruang publik. Rute dimulai dari Pintu Keluar MRT Fatmawati, sebagai simpul transportasi utama yang mudah diakses oleh warga dan wisatawan.
Dari titik ini, peserta akan diarahkan menuju Sumur Resapan yang terletak di permukiman warga sebagai representasi solusi mikro dalam pengendalian air permukaan. Perjalanan kemudian berlanjut ke Taman Kementerian Deplu, area hijau yang menyumbang kesejukan dan menjadi tempat bersantai masyarakat sekitar. Selanjutnya, rute melewati Sekolah Cikal Lebak Bulus, lembaga pendidikan yang berada di lingkungan padat penduduk, lalu menuju Rumah Net Zero Runoff, sebuah bangunan hunian yang menerapkan prinsip tata kelola air berkelanjutan, yaitu menahan dan menyerap air hujan secara mandiri tanpa menghasilkan limpasan permukaan ke luar lahan.
Seluruh perjalanan ini kemudian ditutup di RLS Lebak Bulus, ruang limpah sungai yang memadukan fungsi ekologis, sosial, dan rekreatif sebagai bagian dari infrastruktur hijau-biru kota Jakarta.
Walking tour ini memperlihatkan hubungan antara intervensi spasial, budaya lokal, dan pendekatan berkelanjutan, serta bagaimana ketiganya terjalin dalam satu narasi lintas ruang yang mengedukasi sekaligus menyenangkan.

Gambar 5. Peta Walking Tour Menuju Ruang Limpah Sungai Lebak Bulus.
Kondisi Existing RLS Lebak Bulus
Ruang Limpah Sungai (RLS) Lebak Bulus merupakan contoh nyata penerapan infrastruktur hijau yang tidak hanya berfungsi teknis sebagai pengendali banjir, tetapi juga hadir sebagai ruang hidup yang memberi manfaat sosial dan ekologis bagi masyarakat sekitar.
Secara teknis, RLS ini memiliki kapasitas tampung besar dan strategis dalam menahan aliran air dari hulu sebelum mengalir ke wilayah hilir seperti Jakarta Barat. Keberadaannya membantu mengurangi risiko banjir di kawasan permukiman padat. Warga setempat menyebut bahwa saat hujan deras, air dari lingkungan langsung mengalir ke RLS ini tanpa menyebabkan genangan.
Lebih dari sekadar fungsi teknis, RLS Lebak Bulus juga dirancang sebagai ruang terbuka hijau yang nyaman, teduh, dan estetis. Kawasan ini dipenuhi vegetasi peneduh dan tanaman akuatik, menciptakan mikroklimat sejuk dan ruang ketiga bagi warga untuk berkumpul, beraktivitas, dan berinteraksi di luar rumah maupun tempat kerja. Hasil penandaan lokasi oleh warga melalui partisipasi langsung menunjukkan bahwa fasilitas seperti pintu air, automatic trash rake, dan taman hijau seperti Taman Haji Niman dinilai efektif dalam mitigasi banjir.
Fasilitas lain seperti Jembatan Kali Grogol dan Pulau Gading dimanfaatkan untuk mancing, jogging, dan rekreasi santai. Bahkan titik seperti Masjid Babul Khoirot dan Makam RW 04 memiliki fungsi spiritual sekaligus ekologis. Keberadaan RLS ini menunjukkan bahwa pengelolaan air dan ruang kota dapat berjalan beriringan. Kolaborasi antara fungsi teknis dan sosial ini memperkuat ketangguhan kota, meningkatkan kualitas hidup warga, dan menghadirkan wajah baru Jakarta yang lebih hijau, adaptif, dan manusiawi.

Gambar 6. Peta Walking Tour Menuju Ruang Limpah Sungai Lebak Bulus.
Titik Lokasi Yang Menjadi Titik Utama
1. Sumur Resapan: Infrastruktur Mikro dalam Konteks Urban Jakarta
Dalam tinjauan lapangan di salah satu kawasan permukiman Jakarta Selatan, diamati penerapan sumur resapan sebagai strategi mikro untuk mengelola air hujan langsung di titik jatuhnya. Sistem ini secara teknis relatif sederhana: air hujan dari atap dan permukaan kedap dialirkan ke dalam sumur khusus untuk meresap ke tanah (Pamungkas, 2023). Namun dampaknya signifikan, terutama di kota seperti Jakarta yang memiliki curah hujan tinggi dan tingkat kedap lahan yang meningkat akibat urbanisasi. Sumur resapan menjadi alat penting untuk mengurangi tekanan terhadap sistem drainase kota yang kerap kewalahan saat hujan intens, serta membantu memperlambat laju penurunan muka air tanah yang menjadi persoalan kronis di ibu kota.

Gambar 7. Sumur Resapan
2. Rumah dengan Desain Net Zero Run-off: Kontribusi Skala Tapak di Jakarta
Kunjungan ke hunian pribadi dengan konsep Net Zero Run-off, seperti pada rumah Anies Baswedan, memberikan gambaran konkret tentang bagaimana rumah tinggal dapat dirancang untuk tidak menyumbang limpasan air ke sistem drainase kota (Abadan, 2024). Pendekatan ini memperlihatkan bahwa kontribusi terhadap ketahanan banjir kota tidak harus selalu datang dari proyek besar; intervensi di skala rumah pun punya peran krusial, apalagi jika diadopsi secara luas di tingkat komunitas.

Gambar 8. Rumah Net Zero-Run Off
3. Ruang Limpah Sungai Lebak Bulus: Adaptasi Terbuka terhadap Risiko Banjir Jakarta
Ruang Limpah Sungai (RLS) Lebak Bulus menjadi salah satu titik observasi yang menarik dalam konteks pengendalian banjir di Jakarta. Berbeda dengan pendekatan konvensional yang berbasis betonisasi atau pengerukan, RLS ini mengadopsi pendekatan berbasis ruang terbuka adaptif. Saat debit sungai normal, ruang ini digunakan sebagai area publik: taman, jalur jogging, dan ruang interaksi warga. Namun saat intensitas hujan tinggi dan terjadi potensi luapan sungai, ruang ini berfungsi sebagai tampungan sementara air sebelum dialirkan kembali secara terkendali.

Gambar 9. RLS Lebak Bulus
4. Fasilitas Penyaring Sampang di RLS: Menjaga Fungsi dan Kebersihan Sistem
Dalam sistem RLS, keberadaan fasilitas penyaring sampah (sampang) memainkan peran penting. Di lokasi Lebak Bulus, penyaring ini diposisikan pada titik masuk aliran air ke ruang limpah. Fungsinya adalah menangkap sampah anorganik, ranting, dan limbah lainnya agar tidak mencemari area tampungan. Penyaring ini menjadi pertahanan pertama, memastikan kualitas air tetap layak untuk meresap ke dalam tanah serta menjaga agar sistem tidak cepat rusak atau tersumbat. Fasilitas ini juga mengurangi beban pembersihan pascabanjir dan memastikan efisiensi operasional RLS dalam jangka panjang (Hamzah, 2020).

Gambar 10. Fasilitas Penyaring Sampah
Kesimpulan
Keseluruhan eksplorasi di Ruang Limpah Sungai (RLS) Lebak Bulus menunjukkan bahwa infrastruktur pengendali banjir dapat bertransformasi menjadi ruang hidup yang adaptif. Melalui pendekatan partisipatif, pemetaan berbasis data, dan observasi langsung, terlihat bahwa RLS tidak hanya memiliki fungsi teknis sebagai penampung air, tetapi juga menjadi ruang sosial dan ekologis yang penting bagi masyarakat. Perpaduan antara fungsi teknis dan manfaat sosial ini menguatkan bahwa kota yang tangguh dibangun dari kolaborasi, kesadaran ruang, dan keterlibatan warga secara aktif dalam menjaga lingkungannya.
Daftar Pustaka
Abadan, A. C., Kurniyaningrum, E., Rinanti, A., & Pontan, D. (2024). Evaluation zero runoff concept in high-rise buildings. Indonesian Journal of Tropical Soil and Environmental Engineering (IJTSDI), 6(1). https://doi.org/10.34306/itsdi.v6i1.683
Hamzah, S., Suriani, N. L., & Nur, A. (2020). Perancangan trash rack sebagai upaya pencegahan sampah masuk pada kolam retensi di Kota Makassar. Jurnal Teknik ITS, 9(2), A238–A243. https://doi.org/10.12962/j23373539.v9i2.59863
Maryono, A. (2014). Menangani banjir-kekeringan dan lingkungan. Gadjah Mada University Press.
Pamungkas, T. H., Erlangga, I. B. W., Warsana, K. B., Ardana, P. D. H., & Soriarta, I. K. (2023). Kajian efektivitas sumur resapan di Kecamatan Denpasar Barat. Jurnal Teknik Sipil, Universitas Ngurah Rai. (Submitted: 9 September 2022; Revised: 21 Januari 2023; Accepted: 27 Januari 2023).
Tempo.co. (2022, April 18). Pemprov DKI terus kembangkan ruang terbuka biru, apakah itu? https://metro.tempo.co/read/1583266/pemprov-dkiterus-kembangkan-ruang-terbuka-biru-apakahitu
Detik.com. (2020, Desember 18). Ini jurus Pemprov Jakarta kurangi emisi gas hingga 30% di 2030. https://news.detik.com/berita/d-5300292/ini-jurus-pemprov-jakarta-kurangi-emisi-gas-hingga-30-di-2030
WRI Indonesia. (2021). Mengapa Jakarta sering mengalami banjir dan bagaimana adaptasi nature-based solutions (NBS). https://wri-indonesia.org/id/wawasan/mengapa-jakarta-sering-mengalami-banjir-dan-bagaimana-adaptasi-nature-based-solutions-nbs