Pemanfaatan Network Analysis Untuk Mengidentifikasi Food Desert Dan Mengembangkan Strategi Keberlanjutan Pangan Di Provinsi DKI Jakarta

23/08/2024 • Daffa Dhimas Raditya

MPC 2024 - Food Desert


Food Desert?
Food Desert?
Kata Kunci: Food Desert, Aksesibilitas, Network Analysis, Keberlanjutan Pangan, Zero Hunger

1. Pendahuluan

1.1. Food Desert

Pada pertengahan 1990-an, penghuni perumahan umum menggambarkan pengalaman hidup di lingkungan yang kurang beruntung di mana makanan mahal dan relatif sulit didapat yang dikenal dengan istilah “food desert” [2]. Istilah ini dilaporkan muncul dari Inggris [3], wilayah ini umumnya diidentifikasi sebagai area dengan akses yang sangat terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali ke pengecer makanan yang menyediakan pilihan makanan segar, terjangkau, dan sehat. Meskipun belum ada definisi yang disepakati secara universal, konsep awal “food desert” mencakup pengertian yang dikemukakan oleh Menteri Kesehatan Inggris, Tessa Jowell. Pada tahun 1997, ia menggambarkan “food desert” sebagai area di mana masyarakat tidak memiliki akses yang mudah ke makanan sehat dan segar, terutama bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan dan memiliki mobilitas terbatas [19,14]. Sejak saat itu, penggunaan umum istilah ini terus menjadi bersifat kualitatif. Istilah ini sering digunakan oleh politisi untuk menyoroti kemiskinan, pengecualian sosial, dan daerah-daerah dengan ketersediaan ritel makanan yang tidak ada dan/atau buruk [10].

Penggunaan istilah “desert” menarik karena menambahkan dimensi spasial yang jelas pada konsep keterbatasan askses terhadap makanan. Istilah ini mengilustrasikan lanskap yang gersang dan minim sumber makanan bagi penduduknya. Dalam praktiknya, konsep ini juga menyederhanakan isu aksesibilitas makanan menjadi dikotomi yakni wilayah yang dikategorikan sebagai “food desert” dan wilayah yang tidak termasuk dalam kategori tersebut [16].

Teori lain yang menjelaskan terbentuknya “food desert” di kawasan perkotaan berkaitan dengan perubahan demografi di kota-kota besar Amerika Serikat antara tahun 1970 dan 1988. Selama periode ini, diperkirakan segregasi ekonomi semakin menguat dengan semakin banyaknya rumah tangga berpenghasilan tinggi yang bermigrasi dari pusat kota ke daerah pinggiran. Perubahan ini menyebabkan penurunan pendapatan median di pusat kota dan mendorong penutupan hampir setengah dari supermarket di tiga kota terbesar di Amerika Serikat [18].

Konsekuensi dari akses supermarket yang buruk adalah meningkatnya paparan penduduk terhadap makanan berenergi tinggi (makanan dengan kalori kosong) yang tersedia di toko-toko serba ada dan restoran cepat saji [5]. Kurangnya sumber daya finansial menjadi penghalang untuk makan sehat karena biaya yang lebih tinggi terkait dengan pola makan sehat. Banyak daerah perkotaan yang tidak memiliki supermarket juga dapat menyebabkan akses penduduk terhadap makanan sehat juga semakin terbatas. Bagi penduduk yang tidak memiliki akses ke kendaraan pribadi untuk pergi ke supermarket di lingkungan sekitar, tinggal di daerah “food desert” bisa menjadi lebih merugikan [11,12].

Individu cenderung memilih makan berdasarkan ketersediaan gerai makanan di lingkungan terdekat mereka [7]. Hal tersebut menimbulkan masalah karena banyak wilayah perkotaan dengan pendapatan rendah memiliki kepadatan lebih tinggi restoran cepat saji dan toko kelontong yang menyediakan makanan siap saji dibandingkan dengan wilayah berpenghasilan tinggi. Faktor lingkungan, termasuk lokasi tempat tinggal semakin menjadi perhatian dalam studi aksesibilitas makanan [17]. Penekanan pada lingkungan makanan setempat memiliki dua implikasi utama. Pertama, perhatian yang lebih besar diberikan pada peran penting lingkungan ini dalam menyediakan makanan bagi penduduk di sekitarnya. Kedua, ketimpangan distribusi toko makanan menjadi lebih terlihat, wilayah yang kurang beruntung tanpa akses supermarket atau yang disebut sebagai “food desert” dapat diidentifikasi [18].

1.2. Pendekatan Berbasis GIS

Dalam studi awal mengenai “food desert” dan aksesibilitas, penggunaan GIS untuk tujuan analisis belum umum; peta-peta yang disajikan hanya menyajikan informasi dasar seperti area studi [22], jumlah toko per unit geografis [4] dan perubahan persentase dalam variabel sosioekonomi per unit geografis [8]. GIS telah digunakan dalam berbagai studi tentang akses makanan, dengan banyak studi yang memeriksa sumber daya komunitas juga mencakup pengecer makanan. Contohnya adalah aplikasi buffer oleh Guy dan David di sekitar pengecer makanan [9]. Contoh yang lebih canggih adalah pembuatan indeks harga dan ketersediaan oleh Donkin [6]. Jenis analisis ini melibatkan penggunaan data yang ada untuk memetakan dan mengidentifikasi tren serta tumpang tindih dengan elemen data lainnya (beberapa di antaranya mungkin asli dari studi tersebut). Pendekatan kedua melibatkan penggunaan analisis statistik untuk mengkorelasikan satu variabel, seperti jarak fisik, dengan variabel lain, seperti status sosioekonomi. Contoh lainnya adalah analisis oleh Larsen dan Gilliland tentang akses jalan kaki dan transportasi umum ke supermarket [13].

Keberlanjutan pangan adalah frasa yang paling sering dikaitkan dengan masalah kelaparan dan akses makanan. Evolusi penggunaan istilah ini sudah dibahas secara mendetail, dari konteks global/negara berkembang yang berfokus pada pasokan, menjadi konteks akses yang berfokus pada tingkat rumah tangga individu [15]. Dalam studi ini, saya memusatkan perhatian pada akses makanan, yang telah menjadi pokok utama dalam definisi keamanan pangan kontemporer. Contohnya, rangkuman definisi keamanan pangan oleh Maxwell dan Smith adalah: "akses yang aman setiap saat ke makanan yang cukup" [15] atau definisi keberlanjutan pangan yang paling sering dikutip, yaitu "Akses oleh semua orang setiap saat ke makanan yang cukup untuk kehidupan yang aktif dan sehat" [21]. Meskipun telah ditetapkan bahwa ada tiga jenis utama hambatan yang mempengaruhi aksesibilitas makanan (geografis, ekonomi, dan informasi), fokus utama dalam studi ini adalah pada akses geografis, meskipun juga penting untuk menggambarkan secara singkat elemen informasi dan ekonomi.

2. Data dan Metodologi

DKI Jakarta, salah satu provinsi mantan Ibu Kota di Indonesia yang saat ini telah berganti nama menjadi DKJ atau Daerah Khusus Jakarta usai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) disahkan. Provinsi ini terdiri dari 5 Kota dengan populasi sebanyak 10.672.100 jiwa yang tersebar di seluruh 661,21 km2. DKI Jakarta terbagi atas 1 kabupaten administrasi, Kepulauan Seribu, dan 5 kota administrasi: Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur. Dalam studi ini, saya memilih Provinsi DKI Jakarta untuk dijadikan daerah penelitian dengan unit spasial terkecil adalah kecamatan.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, saya berupaya berkontribusi pada pengembangan metode identifikasi “food desert” dengan memfokuskan penelitian pada akses geografis. Untuk mencapai tujuan ini, saya menggunakan lokasi minimarket, supermarket, dan hypermarket sebagai lokasi toko makanan dan menggunakan pendekatan network analysis sebagai metode identifikasi “food desert”. Pendekatan ini menggunakan algoritma isochrone yang menghasilkan area layanan/keterjangkauan untuk beberapa lokasi dan rentang waktu/jarak dari minimarket, supermarket, dan hypermarket. Selain itu, penelitian ini juga mengembangkan strategi keberlanjutan pangan yang dapat mengatasi masalah ini.

Data lokasi minimarket, supermarket, dan hypermarket didapatkan dari dataset Jakarta Satu tahun 2022. Dataset tersbut mencakup informasi lokasi 554 minimarket, 66 supermarket, dan 39 hypermarket. Informasi data lain yang digunakan pada studi ini dapat dilihat pada Tabel 1. Perbedaan minimarket, supermarket, dan hypermarket dapat dilihat di Tabel 2. Namun, atribut dalam informasi dataset tersebut tidak lengkap dan sebagian tidak dapat digunakan. Saya memutuskan untuk fokus pada waktu perjalanan dalam jaringan lalu lintas dan menggunakan aksesibilitas geografis untuk memperoleh indikator aksesibilitas.

Saya mengukur aksesisibilitas dalam jaringan lalu lintas menggunakan pendekatan network analysis dengan menggunakan algoritma isochrone. Pendekatan ini menilai aksesibiltas dari 3 moda transportasi yaitu: jalan kaki, sepeda, dan mobil. Tiap moda dilakukan perhitungan aksesibilitas dengan waktu perjalanan 5 menit, 10 menit, dan 15 menit. Perhitungan aksesibilitas tersebut dilakukan dengan memanfaatkan API (Application Programming Interface) dari Open Route Sercive (ORS). Hasil dari perhitungan aksesibilitas ini akan dikaitkan dengan persentase luas wilayah permukiman pada level administrasi kecamatan yang tidak terjangkau oleh layanan minimarket, supermarket, dan hypermarket. Perhitungan populasi juga akan dilakukan untuk menghitung estimasi populasi yang berada di luar jangkauan layanan minimarket, supermarket, dan hypermarket.

Persamaan

Tabel data yang digunakan pada studi

Tabel perbedaan antara minimarket, supermarket, dan hypermarket

Waktu perjalanan dengan berjalan kaki dihitung berdasarkan jarak perjalanan yang diperoleh, dengan mempertimbangkan bahwa kecepatan berjalan bervariasi antara 4,6 km/jam hingga 5,2 km/jam, tergantung pada karakteristik demografis dan sosio-ekonomi, seperti jenis kelamin, usia, lingkungan tempat tinggal, dll [20]. Saya memutuskan menggunakan kecepatan 4,7 km/jam untuk mengonversi jarak menjadi waktu berjalan kaki, sehingga menggunakan pendekatan integratif yang juga mempertimbangkan orang yang berjalan lambat. Untuk sepeda, kecepatan rata-rata berkisar antara 10 km/jam hingga 20 km/jam, tergantung pada kebugaran, situasi lalu lintas, medan, dll. Untuk studi ini, kecepatan bersepeda sebesar 15 km/jam diasumsikan. Untuk kecepatan mobil, diasumsikan adalah 50 km/jam.

Dalam studi ini, saya menetapkan waktu perjalanan 15 menit sebagai ambang batas untuk pengidentifikasian ”food desert”. Secara praktis, waktu ini cukup realistis dan dapat dicapai dengan berjalan kaki atau transportasi umum jarak pendek, sejalan dengan standar internasional yang telah diakui, seperti yang diterapkan di Jerman [1]. Dari sisi kesehatan dan kesejahteraan, perjalanan 15 menit mempromosikan aktivitas fisik yang baik serta memastikan akses cepat ke layanan penting, yang sangat penting untuk kesejahteraan sosial dan kesehatan umum. Secara ekonomi, ini mengoptimalkan waktu masyarakat dan memungkinkan perencanaan infrastruktur yang lebih efisien. Lebih lanjut, konsep "kota 15 menit" yang semakin populer dalam perencanaan kota modern mendukung pendekatan ini dengan memastikan bahwa semua kebutuhan dasar dapat dicapai dalam waktu singkat, menciptakan kota yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Mengadopsi standar ini juga menempatkan Indonesia dalam konteks perbandingan internasional, menunjukkan bahwa negara ini mengikuti praktik terbaik global dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan publik yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Berdasarkan kualifikasi ini, saya memberikan definisi untuk “food desert” dan potensi “food desert” ke dalam studi ini. Ambang batas 15 menit juga digunakan untuk mengidentifikasi daerah “food desert” dan bukan “food desert”. Lebih lanjut, apabila terdapat setidaknya 33% luas kecamatan yang memiliki waktu perjalanan lebih dari 15 menit (dengan moda transportasi yang dipilih), maka daerah tersebut diberi label “food desert”. Saya memberikan perluasan pada identifikasi “food desert”/”non-food desert” dengan memberikan kategori berpotensi “food desert”. Kategori ini berlaku untuk wilayah di mana waktu perjalanan di atas 15 menit dengan luas wilayah permukiman yang terdampak <33%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

3. Hasil dan Diskusi

Peta sebaran lokasi minimarket, supermarket, dan hypermarket

3.1. Hypermarket

Hasil perhitungan terkait aksesibilitas minimarket, supermarket, dan hypermarket di DKI Jakarta, dapat dilihat pada Tabel 3. Pada 42 kecamatan (Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tidak diikutkan), rata-rata persentase wilayah permukiman yang tidak terjangkau layanan mencapai 85,2% jika mengandalkan perjalanan kaki dengan waktu tempuh 11-15 menit. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah permukiman di kecamatan-kecamatan tersebut memiliki aksesibilitas yang sangat terbatas terhadap layanan dasar. Ketidakmerataan distribusi layanan ini berpotensi berdampak signifikan pada kualitas hidup masyarakat di wilayah tersebut, terutama dalam konteks akses terhadap kebutuhan sehari-hari. Namun, ketika moda transportasi lain seperti sepeda atau mobil digunakan, persentase wilayah yang tidak terjangkau layanan mengalami penurunan signifikan. Saat menggunakan sepeda, persentase wilayah yang tidak terjangkau menurun menjadi 25,5% dalam rentang waktu 11-15 menit. Sementara itu, saat menggunakan mobil, persentase ini menurun lebih jauh lagi, mencapai hanya 2,1% dalam waktu tempuh yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa moda transportasi memainkan peran penting dalam meningkatkan aksesibilitas layanan di wilayah-wilayah tersebut.

Tabel persentase wilayah permukiman yang tidak terjangkau layanan minimarket, supermarket, dan hypermarket

Namun, tingginya persentase wilayah permukiman yang tidak terjangkau layanan ini dapat dianggap wajar mengingat lokasi hypermarket yang memang dirancang untuk melayani area yang lebih luas dengan frekuensi kunjungan yang tidak sesering minimarket. Hypermarket biasanya berlokasi di kawasan tertentu yang strategis dan memiliki daya tarik besar, sehingga jarak tempuh yang lebih jauh untuk mengaksesnyamasih dalam batasan yang dapat diterima oleh konsumen. Oleh karena itu, keterbatasan akses dalam radius waktu perjalanan pendek tidak serta merta mencerminkan kegagalan distribusi layanan, tetapi lebih kepada karakteristik operasional dari jenis ritel ini yang berbeda dengan minimarket atau ritel yang lebih kecil.

Untuk memperkirakan populasi yang berada di luar jangkauan layanan, saya melakukan perhitungan menggunakan persamaan (2) yang dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata populasi yang diperkirakan berada di luar jangkauan layanan adalah 218.810 jiwa dalam rentang waktu 11-15 menit dengan moda transportasi jalan kaki. Kecamatan Cengkareng memiliki persentase wilayah terluas yang tidak terjangkau layanan, yaitu sebesar 85,2% dengan estimasi populasi sebanyak 559.490 jiwa yang berada di luar jangkauan layanan dalam rentang waktu 11-15 menit dengan moda transportasi jalan kaki. Sebaliknya, Kecamatan Cilincing menunjukkan persentase wilayah terendah yang tidak terjangkau, yaitu sebesar 61,7% dengan estimasi populasi sebanyak 27.393 jiwa dalam rentang waktu dan moda transportasi yang sama.

Tabel estimasi populasi di luar jangkauan layanan minimarket, supermarket, dan hypermarket

Setelah membahas aksesibilitas hypermarket secara umum, saya akan melanjutkan dengan penelaahan yang lebih mendalam mengenai fenomena “food desert” (kawasan minim akses pangan) untuk hypermarket di Provinsi DKI Jakarta. Dengan menerapkan kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil untuk setiap moda transportasi digambarkan dalam Gambar 3. Dengan berjalan kaki, hanya ada beberapa wilayah di mana hypermarket dan toko diskon dapat dijangkau dalam waktu perjalanan yang diterima, yaitu 15 menit. Jika mempertimbangkan aksesibilitas dengan sepeda, terjadi peningkatan aksesibilitas yang signifikan sebagian besar wilayah Jakarta Pusat. Gambaran yang berbeda terlihat dalam hal aksesibilitas hypermarket dengan mobil. Hanya ada beberapa wilayah di Jakarta Timur, tepatnya di Kecamatan Cipayung di mana ambang batas waktu 15 menit terlampaui. Dalam hal perluasan konsep potensi "food desert”, wilayah-wilayah tersebut dapat ditemukan di bagian-bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur dan selatan.

Temuan ini mengonfirmasi bahwa moda transportasi secara langsung memengaruhi aksesibilitas hypermarket. Dengan moda transportasi berjalan kaki, rata-rata persentase wilayah yang tidak terjangkau mencapai 85,2% dari total area permukiman di DKI Jakarta. Dengan menggunakan sepeda, persentase tersebut berkurang menjadi 25,5%. Akhirnya, dengan menggunakan mobil, hanya 2,1% wilayah yang termasuk dalam kategori "food desert."

Gambar Identifikasi "Food Desert" berdasarkan moda transportasi dari aksesibilitas hypermarket

3.2. Supermarket

Pada 42 kecamatan (dengan pengecualian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu), rata-rata persentase wilayah permukiman yang tidak terjangkau layanan mencapai 76,2% ketika mengandalkan perjalanan kaki dengan waktu tempuh 11-15 menit. Angka ini menunjukkan penurunan dari sebelumnya yang mencapai 85,2% pada hypermarket. Meskipun demikian, persentase ini masih tergolong cukup tinggi, yang mengindikasikan bahwa sebagian besar wilayah permukiman di kecamatan-kecamatan tersebut memiliki aksesibilitas yang sangat terbatas terhadap layanan dasar. Ketidakmerataan distribusi layanan ini berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap kualitas hidup masyarakat, khususnya dalam hal akses terhadap kebutuhan sehari-hari. Namun, penggunaan moda transportasi lain seperti sepeda atau mobil dapat secara signifikan mengurangi persentase wilayah yang tidak terjangkau layanan. Saat menggunakan sepeda, persentase wilayah yang tidak terjangkau menurun menjadi 8,8% dalam rentang waktu 11-15 menit. Lebih jauh lagi, saat menggunakan mobil, persentase ini turun drastis hingga mencapai 0% dalam waktu tempuh yang sama.

Persentase wilayah permukiman yang tidak terjangkau layanan pada kategori supermarket lebih rendah dibandingkan dengan hypermarket, hal ini dapat dijelaskan oleh perbedaan karakteristik operasional dan distribusi kedua jenis ritel tersebut. Supermarket umumnya lebih sering ditemui dan memiliki jangkauan yang lebih luas karena ukurannya yang lebih kecil dan fokusnya pada penyediaan kebutuhan sehari-hari dengan frekuensi kunjungan yang lebih tinggi. Lokasi supermarket cenderung lebih tersebar dan ditempatkan di area yang lebih dekat dengan permukiman, sehingga aksesibilitasnya lebih baik dibandingkan hypermarket. Sebaliknya, hypermarket dirancang untuk melayani area yang lebih luas dengan produk yang lebih beragam, termasuk barang-barang non-kebutuhan pokok, sehingga frekuensi kunjungan ke hypermarket cenderung lebih rendah. Lokasi hypermarket sering kali dipilih di kawasan strategis yang tidak selalu berada di tengah-tengah area permukiman, tetapi lebih kepada area yang dapat menarik konsumen dari berbagai wilayah yang lebih luas.

Dengan persentase luas yang lebih rendah, estimasi populasi yang berada di luar jangkauan layanan supermarket juga turun (Lihat Tabel 4). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata populasi yang diperkirakan tidak terjangkau layanan mencapai 197.294 jiwa dalam rentang waktu 11-15 menit dengan menggunakan moda transportasi jalan kaki. Kecamatan Cakung tercatat memiliki persentase wilayah sebesar 82,9%, dengan estimasi populasi sebesar 494.487 jiwa yang berada di luar jangkauan layanan dalam rentang waktu 11-15 menit dengan moda transportasi jalan kaki. Sebaliknya, Kecamatan Cilincing memiliki persentase wilayah sebesar 49%, dengan estimasi populasi sebesar 21.612 jiwa dalam rentang waktu dan moda transportasi yang sama. Meskipun Kecamatan Cakung bukan termasuk kecamatan yang memiliki persentase luas wilayah yang terbesar, kecamatan tersebut memiliki jumlah populasi yang besar yaitu 596.213 jiwa.

Setelah membahas aksesibilitas supermarket secara umum, selanjutnya akan dilakukan penelaahan lebih mendalam terkait fenomena "food desert" untuk supermarket di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil analisis aksesibilitas untuk setiap moda transportasi disajikan dalam Gambar 4. Aksesibilitas dengan berjalan kaki menunjukkan bahwa hanya beberapa wilayah di Jakarta yang memiliki akses supermarket dalam waktu perjalanan 15 menit. Ketika mempertimbangkan aksesibilitas dengan sepeda, terdapat peningkatan signifikan di beberapa Kota di DKI Jakarta. Namun, gambaran yang berbeda terlihat dalam aksesibilitas menggunakan mobil. Hampir semua kecamatan di DKI Jakarta dapat dijangkau dalam waktu 15 menit, mengindikasikan bahwa tidak ada "food desert" jika moda transportasi yang digunakan adalah mobil. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena "potensi food desert" lebih relevan ketika mobilitas terbatas pada moda transportasi selain mobil, dengan wilayah-wilayah yang rentan berada di bagian utara DKI Jakarta.

Temuan ini mengonfirmasi bahwa moda transportasi secara langsung memengaruhi aksesibilitas supermarket. Dengan moda transportasi berjalan kaki, rata-rata persentase wilayah yang tidak terjangkau mencapai 76,2% dari total area permukiman di DKI Jakarta. Dengan menggunakan sepeda, persentase tersebut berkurang menjadi 8,8%. Akhirnya, dengan menggunakan mobil, tidak ada wilayah yang termasuk kategori “food desert”

Gambar identifikasi "Food Desert" berdasarkan moda transportasi dari aksesibilitas hypermarket

3.3. Minimarket

Pada 42 kecamatan di Provinsi DKI Jakarta (dengan pengecualian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu), rata-rata 17,8% dari wilayah permukiman tidak terjangkau oleh layanan dasar jika hanya mengandalkan perjalanan kaki dalam rentang waktu 11-15 menit. Angka ini menunjukkan penurunan yang signifikan dari 76.2% untuk akses ke minimarket. Penurunan ini mengindikasikan bahwa mayoritas wilayah permukiman di kecamatan-kecamatan tersebut memiliki aksesibilitas yang baik terhadap layanan dasar minimarket yang dapat berdampak positif dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lebih lanjut, penggunaan moda transportasi alternatif seperti sepeda atau mobil memperkuat peningkatan aksesibilitas ini. Dengan sepeda, persentase wilayah yang tidak terjangkau menurun menjadi hanya 4% dalam rentang waktu 11-15 menit, dan dengan mobil, persentase tersebut sepenuhnya hilang, mencapai 0% dalam waktu yang sama. Temuan ini menegaskan bahwa inisiatif peningkatan akses transportasi telah memberikan kontribusi signifikan dalam mengurangi ketidakmerataan akses, sehingga mendukung kualitas hidup yang lebih baik di berbagai kecamatan.

Persentase wilayah permukiman yang tidak terjangkau oleh layanan minimarket jauh lebih rendah dibandingkan dengan supermarket dan hypermarket. Perbedaan ini dapat dijelaskan oleh karakteristik distribusi dan operasional yang berbeda dari ketiga jenis ritel tersebut. Minimarket memiliki jangkauan yang lebih luas dan distribusi lokasi yang lebih merata di seluruh wilayah perkotaan karena ukurannya yang lebih kecil dan fokusnya pada penyediaan kebutuhan sehari-hari dengan frekuensi kunjungan yang sangat tinggi. Minimarket cenderung ditempatkan di area yang lebih dekat dengan permukiman, bahkan di daerah padat penduduk, sehingga aksesibilitasnya jauh lebih baik. Sebaliknya, supermarket dan hypermarket, meskipun menawarkan lebih banyak produk termasuk barang-barang non-kebutuhan pokok, memiliki distribusi yang lebih terbatas. Supermarket cenderung ditempatkan di lokasi-lokasi yang lebih strategis dan sentral dibandingkan hypermarket yang sering berada di pinggiran atau kawasan yang dapat menarik konsumen dari area yang lebih luas. Akibatnya, aksesibilitas untuk minimarket secara keseluruhan lebih baik, karena minimarket lebih mudah dijangkau dari berbagai lokasi, mengurangi jumlah wilayah permukiman yang tidak terjangkau oleh layanan dasar tersebut.

Dengan persentase luas yang lebih rendah, estimasi populasi yang berada di luar jangkauan layanan minimarket juga turun (Lihat Tabel 4). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata populasi yang diperkirakan tidak terjangkau layanan mencapai 53.593 jiwa dalam rentang waktu 11-15 menit dengan menggunakan moda transportasi jalan kaki. Kecamatan Cakung tercatat memiliki persentase wilayah sebesar 52,5%, dengan estimasi populasi sebesar 312.722 jiwa yang berada di luar jangkauan layanan dalam rentang waktu 11-15 menit dengan moda transportasi jalan kaki. Sebaliknya, Kecamatan Johar Baru memiliki persentase wilayah sebesar 0%, dengan estimasi populasi sebesar 0 jiwa dalam rentang waktu dan moda transportasi yang sama.

Setelah membahas aksesibilitas minimarket secara umum, selanjutnya akan dilakukan penelaahan lebih mendalam terkait fenomena "food desert" untuk minimarket di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil analisis aksesibilitas untuk setiap moda transportasi disajikan dalam Gambar 5. Aksesibilitas minimarket jauh lebih baik dibandingkan dengan supermarket dan hypermarket pada semua moda transportasi. Dengan berjalan kaki, sebagian besar wilayah di Jakarta memiliki akses ke minimarket dalam waktu 15 menit, dan hampir semua kecamatan tidak termasuk dalam kategori "food desert" untuk aksesibilitas minimarket ini atau dapat dijangkau dengan baik. Gambaran serupa terlihat dalam aksesibilitas menggunakan mobil, di mana hampir semua kecamatan di DKI Jakarta dapat dijangkau dalam waktu 15 menit, mengindikasikan bahwa tidak ada "food desert" jika moda transportasi yang digunakan adalah mobil. Dengan demikian, potensi “food desert" lebih relevan ketika mobilitas terbatas pada moda transportasi selain mobil, dengan wilayah-wilayah yang rentan terutama berada di bagian utara DKI Jakarta. Namun, hanya terdapat sebagian kecil wilayah di bagian barat dan timur DKI Jakarta yang masih tergolong "food desert" ketika menggunakan moda transportasi jalan kaki.Temuan ini mengonfirmasi bahwa moda transportasi secara langsung memengaruhi aksesibilitas minmarket. Dengan moda transportasi berjalan kaki, rata-rata persentase wilayah yang tidak terjangkau mencapai 17,8% dari total area permukiman di DKI Jakarta. Dengan menggunakan sepeda, persentase tersebut berkurang menjadi 4%. Akhirnya, dengan menggunakan mobil, tidak ada wilayah yang termasuk kategori “food desert”

Identifikasi "Food Desert" berdasarkan moda transportasi dari aksesibilitas minimarket

3.4. Strategi Keberlanjutan Pangan

Penelitian ini juga berfokus pada pengembangan strategi keberlanjutan pangan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan akses terhadap makanan sehat di Provinsi DKI Jakarta. Analisis yang dilakukan mengidentifikasi beberapa wilayah yang tergolong sebagai food desert, di mana akses terhadap makanan sehat sangat terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, penelitian ini mengusulkan berbagai strategi antara lain:

  • Pengembangan pasar petani
  • Kebun komunitas
  • Inisiatif urban farming di wilayah-wilayah yang terdampak

Pendekatan analisis spasial yang digunakan memberikan wawasan mendalam tentang distribusi ketidaksetaraan akses pangan di perkotaan dan menawarkan solusi berbasis data yang komprehensif dan berkelanjutan. Strategi-strategi ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan akses pangan sehat tetapi juga mendukung pencapaian SDGs nomor 2: Zero Hunger, dengan berkontribusi pada peningkatan kesehatan masyarakat dan kualitas hidup di Provinsi DKI Jakarta, serta mendukung tujuan keberlanjutan global.

4. Kesimpulan dan Limitasi

Penelitian ini menggunakan analisis aksesibilitas berbasis network analysis yang menggunakan algoritma isochrone yang menghasilkan area layanan/keterjangkauan untuk beberapa lokasi dan rentang waktu/jarak dari minimarket, supermarket, dan hypermarket DKI Jakarta dan untuk memberi usulan strategi keberlanjutan pangan. Hasil menunjukkan bahwa meskipun ada jaringan minimarket, supermarket, dan hypermarket yang padat, masih terdapat celah akses. Pada daerah pemukiman, aksesibilitas dengan berjalan kaki mengalami masalah. Aksesibilitas dengan sepeda sedikit lebih baik. Namun, di wilayah pinggiran di luar area pemukiman dan sekitarnya, aksesibilitas dengan sepeda tidak selalu memadai. Di sebagian besar daerah permukiman, toko bahan makanan ritel dapat dijangkau dalam waktu perjalanan 15 menit dengan mobil. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terutama orang-orang dengan mobilitas rendah, seperti dewasa muda dan lansia yang tinggal di wilayah “food desert” mengalami kesulitan dalam mengakses toko bahan makanan. Aksesibilitas transportasi umum akan menjadi pelengkap yang berharga. Sayangnya, pada studi ini, analisis aksesibilitas transportasi umum belum dilakukan.

Meski belanja online meningkat, hal ini belum dapat menggantikan akses fisik ke retailer makanan. Penelitian ini menyarankan agar data tentang toko-toko kecil independen dimasukkan dalam penelitian mendatang untuk memberikan gambaran lebih akurat dan realistis tentang lanskap ritel makanan di DKI Jakarta.

Kesimpulan utama dari studi ini dan kontribusinya terhadap diskusi tentang "food desert" di DKI Jakarta adalah bahwa fenomena "food desert" merupakan sebagian masalah spasial yang dapat diidentifikasi melalui analisis GIS dan data numerik. Perlu dicatat bahwa desain penelitian ini terbatas oleh ketiadaan data lokasi untuk toko-toko kecil independen atau toko kelontong lokal yang menjual produk makanan. Toko-toko tersebut melengkapi lanskap ritel makanan di DKI Jakarta yang didominasi oleh toko-toko rantai. Walaupun toko jenis ini memiliki peran kecil dalam belanja bahan makanan sehari-hari bagi sebagian besar populasi, penting untuk memasukkan data semacam ini dalam penelitian mendatang agar dapat memberikan gambaran yang lebih akurat dan realistis mengenai lanskap ritel makanan di DKI Jakarta. Selain itu, analisis ini belum mencakup aspek ekonomi dan kesehatan, seperti pendapatan per keluarga dan jenis penyakit yang mungkin diderita oleh keluarga di kecamatan tersebut. Dengan adanya informasi tambahan ini, pendekatan untuk mendefinisikan "food desert" dapat diperluas dengan kategori baru yang fokus pada kemampuan belanja makanan individu, yakni wilayah di mana banyak toko kelontong lokal ada, tetapi sebagian penduduk tidak dalam kondisi ekonomi yang memungkinkan mereka untuk mempertimbangkan toko-toko tersebut sebagai tempat belanja bahan makanan sehari-hari

5. Referensi

[1] Amt für Raumentwicklung und Geoinformation, Kanton St. Gallen (AREG), 2008. Erreichbarkeit grundversorgung.

[2] Cummins, S., & Macintyre, S. (2002). A systematic study of an urban foodscape: the price and availability of food in greater Glasgow. Urban Studies, 39, 2115–2130, 16

[3] S. Cummins, S. Macintyre, “Food desert”–evidence and assumption in health policy making, Br. Med. J. 325 (2002) 436–438, http://dx.doi.org/10.1136/bmj.322.7281.279 .

[4] Cummins, S., & Macintyre, S. (1999). The location of food stores in urban areas: a case study in Glasgow. British Food Journal, 101, 54–55, 2.

[5] Drewnowski, A., Specter, S.E., 2004. Poverty and obesity: the role of energy density and energy costs. American Journal of Clinical Nutrition 79 (1), 6–16.

[6] Donkin, A. J., Dowler, E. A., Stevenson, S. J., & Turner, S. A. (2000). Mapping access to food in a deprived area: the development of price and availability indices. Public Health Nutrition, 3(1), 31–38.

[7] Furey, S., Strugnell, C., McIlveen, H., 2001. An investigation of the potential existence of ‘‘Food desert’’ in rural and urban areas of Northern Ireland. Agriculture and Human Values 18, 447–457.

[8] Guy, C. M., Clarke, G., & Eyre, H. (2004). Food retail change and the growth of food desert: a case study of Cardiff. International Journal of Retail & Distribution Management, 32, 72–88, 17.

[9] Guy, C. M., & David, G. (2004). Measuring physical access to ‘healthy foods’ in areas of social deprivation: a case study in Cardiff. International Journal of Consumer Studies, 28(3), 222–224.

[10] J. McEntee & J. Agyeman, Towards the development of a GIS method for identifying rural food desert: Geographic access in Vermont, USA, Applied Geography, 30 (2010) 165-176, https://doi:10.1016/j.apgeog.2009.05.004

[11] Kirkup, M., Kervenoael, R., Hallsworth, A., Clarke, I., Jackson, P., Aguila, R., 2004. Inequalities in retail choice: exploring consumer experiences in suburban neighbourhoods. International Journal of Retailing and Distribution Manage ment 32 (11), 511–522.

[12] Lake, A., Townshend, T., 2006. Obesogenic environments: exploring the built and food environments. Journal of the Royal Society of Health 126 (6), 262–267.

[13] Larsen, K., & Gilliland, J. (2008). Mapping the evolution of ‘food desert’ in a Canadian city: supermarket accessibility in London, Ontario, 1961–2005. International Journal of Health Geographics, 7,16.

[14] M. Hickman, “Food desert” Depriving Towns of Fresh Fruit and Vegetables, Indep. Indep. Print Ltd, 2007.

[15] Maxwell, S., & Smith, M. (1992). Household food security: a conceptual review. In S. Maxwell, & T. Frankenberger (Eds.), Household food security: concepts, indicators, measurements: A technical review, monograph. UNICEF and IFAD, New York and Rome.

[16] M. J. Widener, Spatial access to food: Retiring the food desert metaphor, Physiology & Behavior 193 (2018) 257-260, https://doi.org/10.1016/j.physbeh.2018.02.032

[17] Rose, D., Richards, R., 2004. Food store access and household fruit and vegetable use among participants in the US food stamp program. Public Health Nutrition 7 (8), 1081–1088.

[18] R. E. Walker, C. R. Keane, and J G. Burke, Disparities and access to healthy food in the United States: A review of food desert literature, Health & Place 16 (2010) 876-884, https://doi:10.1016/j.healthplace.2010.04.013

[19] S. Furey, C. Strugnell, H. McIlveen, An investigation of the potential existence of “food desert” in rural and urban areas of Northern Ireland, Agric. Hum. Values 18 (2001) 447457, http://dx.doi.org/10.1023/A:1015218502547 .

[20] S. Neumeier & M. Kokorsch, Supermarket and discounter accessibility in rural Germany– identifying food desert using a GIS accessibility model, Journal of Rural Studies 86 (2021) 247-261, https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2021.06.013

[21] World Bank. (1986). Poverty and hunger: Issues and options for food security in developing countries. Washington, DC: World Bank Policy Study

[22] Wrigley, N., Guy, C., & Lowe, M. (2002). Urban regeneration, social inclusion and large store development: the seacroft development in context. Urban Studies, 39, 2101–2114, 14.

Data Publications