Pemodelan Bangunan Tiga Dimensi Menggunakan Data LiDAR dan Orthophoto (Studi Kasus: Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Model kota tiga dimensi merupakan suatu objek yang menjadi salah satu kebutuhan penting pada beberapa bidang seperti pemetaan, pariwisata, dokumentasi, dan inventarisasi. Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi komputer, kebutuhan pemodelan tersebut semakin mudah untuk dilakukan oleh banyak orang yang menekuninya. Dalam bidang pemetaan dan rekonstruksi, kebutuhan akan peta interaktif tiga dimensi semakin berkembang dan dibutuhkan, utamanya dalam hal visualisasi dan keruangan, khususnya pada kota metropolitan (Debevec dkk., 1996). Contohnya, Kota Surabaya yang merupakan kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia. Namun, hingga saat ini Kota Surabaya masih belum merealisasikan visualisasi kota tiga dimensi secara online. Sementara itu, pada saat ini sangat dibutuhkan terkait visualisasi kota tiga dimensi yang mudah diakses dan simbologi yang mudah dipahami oleh masyarakat. Khususnya kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya sebagai salah satu kampus dengan luasan yang besar dibandingkan dengan kampus lain serta memiliki bentuk atap yang unik.
Dalam pembuatan model kota tiga dimensi, terdapat beberapa metode yang dapat diterapkan seperti manual dan semi otomatis. Metode manual yang diterapkan peneliti ialah membuat sendiri terkait syntax, rule, atau grammar dengan menggunakan berbagai bahasa pemrograman. Metode semi otomatis berarti menggunakan perangkat lunak yang sudah ada untuk syntax, rule, dan grammar meski tetap parameter-parameternya diinputkan secara manual (Firdaus, 2020). Pemodelan kota tiga dimensi dilakukan di kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya karena di sana belum terdapat pemodelan kota tiga dimensi. Pemodelan tersebut dapat digunakan untuk pengawasan atau monitoring pembangunan serta untuk melakukan perkembangan terkait perencanaan, sarana, serta pembaruan prasarana kampus agar dapat meningkatkan kualitas dari kampus itu sendiri. Diharapkan, penelitian ini bisa memodelkan kota tiga dimensi secara akurat dan dapat memvisualisasikan model tersebut secara baik dan mudah dipahami oleh khalayak umum.
Pemodelan yang dilakukan sampai dengan tingkat Level of Detail (LOD) dua, atau model yang didapatkan sampai dengan bentuk atap bangunan, dengan menggunakan metode semi otomatis dan dilakukan pengklasifikasian bangunan berdasarkan tinggi dan fungsi bangunan. Serta dilakukan uji akurasi terhadap geometri bangunan meliputi luas dan keliling bangunan. Perimeter hasil tiga dimensi bangunan yang didapatkan mengikuti batas atap. Serta resolusi yang digunakan terbatas, sehingga tidak ada batasan terkait tinggi dan luasan bangunan. Dari hasil model bangunan tiga dimensi yang sudah diuji akurasi, maka akan dihasilkan model bangunan tiga dimensi dengan klasifikasi gedung bangunan yang akurat.
“Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan bangunan tiga dimensi menggunakan data LiDAR dan orthophoto kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dengan hasil Level of Detail (LOD) 2.0 yang mempunyai perbedaan karakteristik serta akurasinya.”
Light Detection and Ranging (LiDAR)
LiDAR atau Light Detection and Ranging adalah sistem penginderaan jauh dengan sensor aktif yang mengukur pantulan cahaya untuk menemukan jangkauan dan jarak dari target. LiDAR memiliki efisiensi dan validitas yang baik sebagai sumber data ketinggian medan bumi. LiDAR banyak digunakan untuk konstruksi objek tiga dimensi seperti jalan, rel kereta api, jembatan, gedung, dan infrastruktur lainnya. LiDAR memiliki tiga komponen utama, yaitu sensor laser, GPS (Global Positioning System), dan IMU (Inertial Measuring Unit) (Asharyanto dkk., 2016). Dengan data LiDAR ini diperoleh beberapa informasi spasial yang berguna untuk pemodelan bangunan tiga dimensi, salah satunya pada data DTM (Digital Terrain Model) dan data DSM (Digital Surface Model). Dari kedua data tersebut, maka dapat diperoleh informasi terkait ketinggian bangunan dan elevasi pada permukaan tanah.
Gambar 1 Ilustrasi Proses Pemindaian Laser LiDAR (Sumber: Melin dkk., 2017)
Orthophoto
Foto udara merupakan data hasil pemotretan menggunakan wahana pesawat dengan menggunakan metode fotogrametri. Fotogrametri merupakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh pengukuran spasial dan produk geometris dari foto udara (Subakti, 2015). Hasil pengolahan dari foto udara adalah orthophoto. Orthophoto merupakan foto yang menyajikan gambaran objek pada posisi ortografik yang benar. Dengan orthophoto, dapat diperoleh informasi terkait lokasi objek, bentuk objek, kondisi eksisting lokasi tersebut, dan juga dapat dilakukan klasifikasi visual terhadap objek-objek tersebut dengan menggunakan teknik on screen digitasi.
Level of Detail (LOD)
Level of Details (LOD) merupakan suatu tingkat detail dari suatu objek atau kumpulan poligon. Penggambaran karakteristik model 3D suatu objek dapat memungkinkan kita mengetahui informasi ketinggian suatu objek sampai dengan bentuk detail objek tergantung LOD yang ingin dicapai. Semakin tinggi LOD, semakin detail visualisasi suatu objek hingga mendekati bentuk yang sebenarnya. LOD sering ditemukan pada penggambaran atau visualisasi model bangunan dalam bentuk 3D pada kota.
Berikut merupakan tingkat LOD:
- LOD 0 atau level paling kasar pada dasarnya adalah model terrain digital dua setengah dimensi untuk peletakan gambar udara dan peta.
- LOD 1 adalah model blok terkenal yang terdiri dari bangunan rismatic dengan atap datar.
Sebaliknya, bangunan di LOD 2 memiliki struktur atap yang berbeda dan secara tematis permukaan dapat dibedakan. Objek vegetasi juga dapat ditampilkan. Penambahan tekstur menjadi opsi pilihan.
- LOD 3 menunjukkan model arsitektur dengan detail dinding dan struktur atap, balkon, teluk, dan proyeksi. Tekstur resolusi tinggi dapat dipetakan di sini. Selain itu, detail vegetasi dan objek transportasi adalah komponen dari model LOD 3.
- LOD 4 melengkapi model LOD 3 dengan menambahkan struktur interior untuk objek 3D. Sebagai contoh, bangunan terdiri dari kamar, pintu interior, tangga, dan perabotan.
Gambar 2 Lima tingkat LOD (Sumber: OGC, 2006)
METODE
Data dan Peralatan
Data yang digunakan yaitu data sekunder yang didapatkan dari beberapa instansi terkait. Berikut tabel dan gambar dari data sekunder.
Tabel 1 Data Sekunder
Gambar 3 Data sekunder berupa data raster yang digunakan dalam penelitian
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu berupa perangkat laptop dan beberapa software. Software yang digunakan di antaranya software pengolah SIG, yaitu ArcGIS Pro 2.7 dan ArcMap 10.4; software pengolah angka; dan software pengolah kata. Area yang menjadi objek penelitian berada di Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Secara geografis, Kampus ITS terletak di antara 07° 16' 32'' - 07° 17' 15'' LS dan 112° 47' 23,4'' - 112° 47' 57'' BT.
Proses pengolahan data dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap pengolahan data, dan tahap akhir. Tahap persiapan meliputi identifikasi masalah, studi literatur, dan pengumpulan data. Kemudian, tahap pengolahan data mencakup keseluruhan tahapan sehingga didapatkan model bangunan tiga dimensi. Dan tahap akhir meliputi uji akurasi terhadap model tiga dimensi yang dihasilkan.
Tahap Penelitian
Pre-processing
Tahapan pertama pada pengolahan data adalah pembuatan nDSM dengan menggunakan algoritma raster calculator, yaitu selisih dari data DTM dan data DSM. Selanjutnya dilakukan segmentasi atap bangunan berdasarkan nDSM dan orthophoto. Segmentasi atap dilakukan untuk membagi bangunan menjadi sub-bangunan sesuai dengan posisi tepinya guna mendapatkan bentuk dan tinggi sub-bangunan yang akurat. Segmentasi atap dilakukan secara manual dan otomatis. Metode manual dilakukan dengan mendigitasi bentuk atap sesuai dengan nDSM dan orthophoto dan metode otomatis dilakukan dengan data nDSM yang sudah di-generate dengan slope atau kemiringan dari atap.
Klasifikasi Bangunan
Selanjutnya, dilakukan klasifikasi bangunan gedung berdasarkan fungsi dan tinggi bangunan. Penambahan attribute table dilakukan untuk menambahkan informasi dari klasifikasi gedung. Dari hasil segmentasi dan konversi data yang sudah dilakukan, maka dapat dilakukan pembentukan atau execute 3D building secara otomatis dengan perangkat lunak. Serta dilakukan penerapan roof rule dengan beberapa parameter yang diinput manual dan ada pula default dari perangkat lunak. Setelah rule sudah terbentuk secara otomatis, maka dilakukan pengecekkan manual di setiap bangunan yang sudah diterapkan rule. Modifikasi dilakukan apabila terdapat roof yang belum dengan mengubah parameter standar atau melakukan segmentasi ulang terhadap bangunan sehingga model bisa merepresentasikan dengan baik dan akurat.
Uji Akurasi Model
Uji akurasi dilakukan terhadap geometri bangunan yang meliputi luas dan keliling bangunan. Model dapat diterima apabila nilai RMSE yang dihasilkan tidak melebihi standar yang ditetapkan oleh OGC terkait keliling model dengan nilai kurang dari 2 meter dan standar yang ditetapkan oleh Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, yaitu persentase beda luas kurang dari 2%. Uji akurasi dilakukan dengan membandingkan poligon hasil model tiga dimensi dengan poligon segmentasi awal.
ANALISIS
Klasifikasi Bangunan
Klasifikasi bangunan dilakukan berdasarkan pengecekan menggunakan Google Earth dan Google Maps serta pengecekan ke lapangan. Klasifikasi bangunan gedung dilakukan berdasarkan tinggi dan fungsi dari bangunan. Bangunan berdasarkan tinggi dibagi menjadi tiga, yaitu gedung bertingkat rendah, sedang, dan tinggi. Dan berdasarkan fungsi, bangunan dibagi menjadi 3 yang termasuk dalam fungsi sosial dan budaya, yaitu gedung pendidikan, kantor, dan fasilitas umum. Gedung bertingkat rendah memiliki tinggi < 10 meter, gedung bertingkat sedang memiliki tinggi < 20 meter, dan gedung bertingkat tinggi memiliki tinggi > 20 meter.
Fungsi sosial dan budaya mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan sosial dan budaya yang meliputi bangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, kebudayaan, laboratorium, dan pelayanan umum. Pada situasi kondisi dari lokasi penelitian ini, bangunan diklasifikasikan menjadi 3 fungsi. Gedung pendidikan merupakan sarana yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar, dalam kondisi ini gedung pendidikan termasuk gedung perkuliahan, seperti gedung teknik geomatika, gedung teknik lingkungan, gedung teknik sipil, dan lainnya. Dan untuk kantor merupakan bangunan yang digunakan untuk tempat bekerja. Sedangkan untuk fasilitas umum merupakan bangunan gedung yang digunakan untuk pelayanan umum.
Tabel 2 Statistik Tinggi Setiap Jenis Bangunan
Untuk klasifikasi berdasarkan fungsi dari bangunan gedung didapatkan bangunan gedung untuk pendidikan sejumlah 186 poligon bangunan, kantor sejumlah 15 poligon bangunan, dan fasilitas umum sejumlah 189 poligon bangunan. Pada hasil yang ditunjukkan pada Tabel 2 setiap jenis bangunan memiliki ketinggian dengan nilai minimal nol. Nilai minimum dari ketinggian mengikuti tepi dari digitasi, yang mana tepi dari digitasi ini tidak tepat dan tidak teliti pada tepi atap bangunan sehingga melewati batas pixel atap bangunan hingga ke tanah atau ground. Sehingga ketinggian minimal bangunan sama dengan nilai ketinggian tanah yaitu nol meter berdasarkan nilai nDSM.
Tabel 3 Klasifikasi Berdasarkan Tinggi Bangunan
Hasil klasifikasi berdasarkan tinggi bangunan yang ditunjukkan pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa gedung bertingkat sedang memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan gedung bertingkat rendah dan gedung bertingkat tinggi dengan total sebanyak 247 bangunan. Hal ini disebabkan lokasi penelitian yang secara umum memang ditujukan sebagai kegiatan belajar mengajar, sehingga banyak gedung bertingkat sedang yang tidak tinggi maupun rendah.
Model Bangunan Tiga Dimensi
Segmentasi atap dilakukan sebelum pembentukan model bangunan tiga dimensi untuk membagi footprint bangunan menjadi sub-bangunan sesuai dengan posisi tepinya. Dari hasil yang didapatkan segmentasi atap dalam satu bangunan memiliki ketinggian yang berbeda, dapat dilihat bahwa satu bangunan bisa memiliki beberapa segmentasi atap dan bisa juga satu bangunan hanya memiliki satu segmentasi atap saja seperti pada Gambar 5.
Gambar 5 Segmentasi Atap
Dari hasil segmentasi atap dapat dilakukan pembentukan tiga dimensi secara semi-otomatis yang menghasilkan bangunan tiga dimensi dengan berbagai jenis tipe atap yang dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, untuk tipe atap pelana (gable) memiliki jumlah banyak dan untuk tipe atap shed memiliki jumlah yang sedikit, dengan total jumlah atap yang dihasilkan yaitu 390 tipe atap.
Tabel 4 Jumlah Tipe Atap
Tipe atap yang dihasilkan memiliki karakteristik sendiri. Untuk atap tipe datar (flat) banyak ditemui di daerah pendidikan dan fasilitas umum. Tipe atap pelana (gable) banyak ditemui di gedung dengan fungsi pendidikan, sedangkan tipe atap limas (hip) hanya dijumpai di beberapa gedung seperti pada fungsi fasilitas umum. Dan terakhir untuk tipe atap shed hanya ditemukan di bangunan gedung fungsi pendidikan dan fasilitas umum dengan jumlah yang sedikit. Dari hasil jumlah tipe jenis atap pada fungsi bangunan pada jenis atap pelana di fungsi pendidikan memiliki jumlah yang banyak, hal tersebut sesuai dengan kondisi sebenarnya pada lokasi penelitian.
Gambar 6 Karakteristik tipe atap. (i) atap datar, (ii) atap pelana,
(iii) atap limas, (iv) atap shed
Berdasarkan Gambar 6, setiap tipe atap memiliki karakteristik seperti arah atap, kemiringan atap, serta jumlah segmentasi dari atap tersebut. Dari keempat tipe atap yang dihasilkan dapat dilihat bahwa arah, kemiringan, dan jumlah setiap sisi atap memiliki perbedaan yang signifikan. (i) Atap datar (flat) memiliki satu sisi atap yang tidak memiliki arah serta kemiringan. (ii) Atap pelana (gable) memiliki dua sisi atap dengan arah berlawanan antara satu sama lain serta kemiringan yang memiliki pola yang sejajar di setiap bidang atapnya. (iii) Atap limas (hip) pada umumnya memiliki bentuk seperti piramida yang memiliki sisi atap lebih dari empat dan arah yang berbeda di setiap sisi. Atap hip memiliki kemiringan atap yang berwarna kuning dengan ukuran semakin membesar ke tepi dan juga semakin ke dalam semakin berwarna merah yang menunjukkan puncak arsitektur bangunan tersebut dengan ketinggian lebih tinggi dibandingkan dengan sisi-sisi atap lainnya. (iv) Atap shed memiliki satu sisi atap yang memiliki arah dan kemiringan atap, namun tidak terlalu signifikan.
Spesifikasi Level of Detail (LOD)
Pada hasil pemodelan tiga dimensi yang dapat dilihat di Gambar 7, dilakukan spesifikasi Level of Detail berdasarkan informasi geometri dan informasi semantic yang mengacu pada standar OGC 2012 dan penelitian Biljecki tahun 2017. Dari hasil yang didapatkan dengan menggunakan sampel 35 random building, model bangunan tiga dimensi pada lokasi penelitian merupakan LOD dengan tingkat level 2.0 berdasarkan kedua standar yang digunakan. Syarat yang terpenuhi ditandai dengan warna kuning, dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.
Gambar 7 Hasil pemodelan tiga dimensi wilayah ITS ( )
Tabel 5 Standar Level Of Detail oleh OGC 2012 dan analisisnya terhadap hasil model tiga dimensi pada lokasi penelitian
Tabel 6 Tabel Standardisasi Level of Detail yang telah disempurnakan untuk spesifikasi LOD hasil penelitian
Pada saat melakukan pemodelan tiga dimensi menggunakan metode semi otomatis, tentu ditemukan beberapa ketidaksesuaian objek asli dengan model yang dihasilkan. Kesalahan pertama adalah kesalahan over segmentation atau segmentasi yang berlebihan, yang awalnya memiliki bentuk sederhana namun oleh algoritma didefinisikan menjadi lebih kompleks. Kesalahan yang kedua adalah under segmentation. Kesalahan ini merupakan kesalahan yang terjadi akibat algoritma yang melakukan generalisasi terhadap pemodelan atau generalisasi pada saat segmentasi atap. Yang terakhir adalah kesalahan wrong direction yang merupakan kesalahan yang terjadi akibat arah kemiringan yang tidak sesuai dengan atapnya, seperti contoh seharusnya atap menghadap ke arah depan belakang. Solusi untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut adalah dengan melakukan segmentasi yang lebih detail lagi, karena segmentasi atap merupakan hal krusial.
Gambar 8 Kesalahan Pemodelan. (a) Over Segmentation, (b) Under Segmentation, c) Wrong Direction
Uji Akurasi
Uji akurasi dilakukan terhadap geometri bangunan, yaitu luas dan keliling bangunan. Dari hasil perhitungan pada Tabel 7 dan 8 menggunakan persamaan (1) dan (2), didapatkan nilai RMSE keliling dan persentase beda luas yang sudah memenuhi standar dari OGC sebesar 2 meter dan BPN senilai 2%.
Tabel 7 RMSE Keliling Bangunan
Tabel 8 Presentase Beda Luas Bangunan
Pada hasil analisis di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa model yang dihasilkan berupa 390 bangunan dan segmentasi atap. Klasifikasi dilakukan berdasarkan tinggi dan fungsi bangunan. Untuk klasifikasi bangunan berdasarkan tinggi bangunan, didapatkan hasil 94 gedung bertingkat rendah, 247 gedung bertingkat sedang, dan 49 gedung bertingkat tinggi. Sedangkan untuk klasifikasi berdasarkan fungsi, diperoleh 186 gedung pendidikan, 15 gedung kantor, dan 189 fasilitas umum. Penerapan roof rule pada bangunan di area penelitian menghasilkan empat tipe atap, yaitu pelana (gable), limas (hip), datar (flat), dan shed. Bentuk atap yang dihasilkan terbatas pada opsi yang ada pada fitur perangkat lunak. Berdasarkan uji akurasi geometri bangunan sudah memenuhi standar yang ditetapkan oleh BPN dan OGC 2012 terkait luas dan keliling bangunan. Kesalahan yang terjadi dalam pemodelan berasal dari kurang ataupun lebihnya segmentasi atap. Perihal ini dapat diatasi dengan mengulang segmentasi atap dengan menggunakan data orthophoto.
Alsubaie, N., Moussa, A., & El-Sheimy, N. 2012. Automated DTM Extraction and Classification of Airborne LiDAR Data. The University of Calgary.
Bimanjaya, A., Handayani, H. H., & Darminto, M. R. (2021). Ekstraksi Tapak Bangunan dari Orthophoto Menggunakan Model Mask R-CNN (Studi Kasus: Kelurahan Darmo, Kota Surabaya). Jurnal Teknik ITS, 10(2), C198-C203.
Firdaus, Z., M. 2020. Pemodelan Kota Tiga Dimensi Menggunakan Data Lidar Dan Foto Udara Dengan Metode Semi Automatis (Studi Kasus: Area Pakuwon Trade Center, Kota Surabaya). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Firdaus, Z., M. 2021. Pemodelan Kota Tiga Dimensi Untuk Visualisasi Cuaca Mikro Perkotaan di Surabaya. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Handayani H.H., Estoque, R.C., Murayama, Y, 2018. “Estimation of Built-Up and Green Volume using Geospatial Techniques: A Case Study Of Surabaya, Indonesia”, Sustainable Cities and Society, Vol. 37 Hal. 581-593.
Subakti, B. 2015. Pembuatan Model Kota 3d Dalam Format Citygml Untuk Evaluasi Terhadap Rencana Tata Bangunan Dan Lingkungan (RTBL). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.