Ditulis oleh Friscka Fitri Aditama
Pendahuluan
Pandemi COVID-19 yang dimulai pada awal tahun 2020 telah mengubah dinamika kehidupan perkotaan secara global, termasuk di Jakarta sebagai ibu kota Indonesia. Implementasi kebijakan lockdown dan pembatasan mobilitas masyarakat selama periode April-Juni 2020 memberikan dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek lingkungan perkotaan. Salah satu aspek yang menarik untuk dikaji adalah perubahan kualitas vegetasi dan pola penggunaan lahan selama periode tersebut.
Jakarta, sebagai megacity dengan tingkat urbanisasi yang tinggi, mengalami tekanan lingkungan yang besar akibat aktivitas antropogenik. Namun, periode lockdown COVID-19 memberikan kesempatan unik untuk mengamati bagaimana pengurangan aktivitas manusia dapat mempengaruhi kondisi lingkungan perkotaan, khususnya vegetasi urban.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak lockdown COVID-19 terhadap kualitas vegetasi di Jakarta menggunakan teknologi penginderaan jauh melalui platform Google Earth Engine. Analisis ini meliputi perubahan indeks vegetasi (NDVI), kualitas udara (NO2), suhu permukaan tanah (LST), dan klasifikasi tutupan lahan pada tiga periode: pra-COVID (2019), selama lockdown (April-Juni 2020), dan pasca-COVID (2021).
Manfaat penelitian ini adalah memberikan pemahaman yang komprehensif tentang resiliensi ekosistem urban terhadap perubahan aktivitas antropogenik, serta memberikan masukan untuk kebijakan pengelolaan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan di masa depan.
Metodologi

Data dan Area Studi
Penelitian ini menggunakan data citra satelit yang diperoleh dari platform Google Earth Engine untuk menganalisis dinamika kualitas vegetasi dan kondisi lingkungan selama pandemi COVID-19. Wilayah studi mencakup seluruh wilayah administratif DKI Jakarta, dengan batas koordinat antara 106.48°E–107.05°E dan 6.37°S–5.88°S.
Data yang digunakan terdiri dari:
Landsat 8 Collection 2 Level-2, yang menyediakan informasi untuk perhitungan indeks vegetasi (NDVI, EVI, SAVI) dan suhu permukaan tanah (LST).
Sentinel-5P, yang digunakan untuk memantau konsentrasi nitrogen dioksida (NO₂) sebagai indikator kualitas udara.
Periode Analisis
Analisis dilakukan dalam tiga periode waktu yang merepresentasikan kondisi sebelum, saat, dan setelah pandemi:
● Pra-COVID: Januari–Desember 2019
● Lockdown: April–Juni 2020
● Pasca-COVID: 2021–2023 (termasuk fase New Normal, Recovery)
Proses dan Indeks
Seluruh data Landsat 8 telah dikoreksi atmosferik dan dilakukan penyaringan awan dengan threshold QA_PQA_PIXEL0% untuk menjamin kualitas hasil analisis. Indeks lingkungan yang dihitung meliputi:
-
1.NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Mengukur kepadatan dan kesehatan vegetasi. Rumus: NDVI =(NIR - RED) / (NIR + RED)
-
2.EVI (Enhanced Vegetation Index) Lebih sensitif terhadap variasi vegetasi padat dan memperhitungkan pengaruh atmosfer dan latar tanah. Rumus: EVI = 2.5 × ((NIR - RED) / (NIR + 6×RED - 7.5×BLUE + 1))
-
3.SAVI (Soil-Adjusted Vegetation Index) Mengoreksi pengaruh latar tanah pada daerah dengan vegetasi jarang. Rumus: SAVI = (1 + L) × (NIR - RED) / (NIR + RED + L), dengan L = 0.5
-
4.LST (Land Surface Temperature) Dihitung dari thermal band (Band 10) Landsat 8 menggunakan rumus: LST = (DN × 0.00341802 + 149.0) - 273.15
-
5.NO Digunakan sebagai proksi untuk aktivitas kendaraan bermotor dan industri yang mempengaruhi kualitas udara.
Kelas Perubahan NDVI
Untuk mempermudah interpretasi spasial dan temporal, nilai-nilai perubahan dari masing-masing indikator diklasifikasikan ke dalam beberapa kelas:
● Penurunan Sangat Tinggi (< -0.15)
● Penurunan Tinggi (-0.15 s.d. -0.10)
● Penurunan Sedang (-0.10 s.d. -0.05)
● Stabil (-0.05 s.d. 0.05)
● Peningkatan Sedang (0.05 s.d. 0.10)
● Peningkatan Tinggi (0.10 s.d. 0.15)
● Peningkatan Sangat Tinggi (> 0.15)
LST Change Classes
● Pendinginan Sangat Tinggi (< -3°C)
● Stabil (-1°C s.d. 1°C)
● Pemanasan Sangat Tinggi (> 3°C)
NO₂ Change Classes
● Perbaikan Kualitas Udara Sangat Tinggi (< -20 µmol/m²)
● Stabil (-5 s.d. 5 µmol/m²)
● Penurunan Kualitas Udara (> 20 µmol/m²)
Suhu Permukaan Tanah (LST)
Dihitung dari thermal band (Band 10) Landsat 8:
LST = (DN × 0.00341802 + 149.0) - 273.15
Analisis Statistik
Beberapa pendekatan analisis dilakukan untuk memahami dinamika perubahan lingkungan secara lebih mendalam, yaitu:
-
1.Analisis Perubahan: Perhitungan selisih nilai antar periode
-
2.Analisis Hotspot: Identifikasi area dengan perubahan signifikan (>|0.1| untuk NDVI)
-
3.Analisis Zonal: Pembagian area urban core dan peri-urban untuk analisis komparatif
-
4.Analisis Korelasi: Hubungan antara LST dan NDVI
-
5.Time Series: Analisis tren temporal NDVI bulanan 2019-2022
Hasil dan Pembahasan
1. Perubahan Time Series Lima Parameter

Visualisasi (Gambar 2) menunjukkan bahwa:
● Selama periode lockdown COVID-19, Jakarta mengalami transformasi lingkungan yang signifikan sebagaimana tercermin dalam tiga indeks vegetasi utama yaitu NDVI, EVI, dan SAVI. Peningkatan ketiga indeks ini menunjukkan bahwa vegetasi di Jakarta merespons positif terhadap pengurangan aktivitas manusia, dimana berkurangnya gangguan antropogenik memberikan ruang bagi regenerasi vegetasi alami dan pemulihan ekosistem urban. NDVI yang mengukur kehijauan dan kepadatan vegetasi, EVI yang lebih sensitif terhadap perubahan kanopi, dan SAVI yang memperhitungkan pengaruh tanah, semuanya menunjukkan tren peningkatan yang konsisten, mengindikasikan bahwa penurunan polusi udara telah meningkatkan kualitas fotosintesis dan memungkinkan pemulihan ekosistem yang lebih optimal.
● Suhu permukaan tanah atau Land Surface Temperature (LST) mengalami penurunan yang dimulai pada awal lockdown dan berlanjut secara bertahap selama fase recovery. Fenomena ini disebabkan oleh berkurangnya Urban Heat Island Effect akibat menurunnya aktivitas perkotaan, penurunan emisi panas dari kendaraan bermotor dan industri, serta peningkatan vegetasi yang berfungsi sebagai penyerap panas alami. Penurunan LST juga diperkuat oleh berkurangnya aktivitas konstruksi yang biasanya menghasilkan panas, sehingga memberikan baseline penting untuk strategi pengelolaan suhu urban dan menunjukkan potensi mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan aktivitas antropogenik.
● Nitrogen dioksida (NO₂) tetap stabil pada level rendah selama periode lockdown, mencerminkan berkurangnya emisi dari sektor transportasi dan industri yang merupakan sumber utama polutan ini. Stabilitas NO₂ pada angka rendah menunjukkan efektivitas pembatasan mobilitas dalam mengurangi polusi, dengan implikasi positif terhadap kesehatan masyarakat melalui perbaikan kualitas udara yang signifikan dan potensi pengurangan penyakit pernapasan.
● Korelasi antar parameter menunjukkan keterkaitan erat antara aktivitas manusia dan kondisi lingkungan, dimana peningkatan vegetasi berkorelasi dengan penurunan LST, sementara penurunan NO₂ sejalan dengan berkurangnya aktivitas ekonomi. Temuan ini memberikan bukti empiris yang kuat untuk strategi pembangunan berkelanjutan dan menunjukkan potensi green recoverypasca pandemi, sekaligus menjadi referensi penting untuk kebijakan pengelolaan lingkungan urban yang lebih efektif di masa depan.
2. Analisis Spasial NDVI dan LST

Gambar 3 menampilkan distribusi spasial perubahan indeks vegetasi (NDVI) dan suhu permukaan tanah (LST) di wilayah DKI Jakarta. Warna pada peta menunjukkan tingkat degradasi atau pemulihan vegetasi, sementara simbol lingkaran merepresentasikan tingkat perubahan suhu permukaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah dengan pemulihan vegetasi tertinggi berada di wilayah Peri-Urban seperti Jakarta Timur dan Selatan, sementara wilayah Urban Core (Jakarta Pusat dan Utara) menunjukkan pemanasan tinggi (LST) dengan sedikit pemulihan vegetasi. Hal ini berkorelasi dengan kepadatan bangunan dan aktivitas manusia.
Penggunaan indeks spasial memperlihatkan bahwa lokasi padat penduduk dan komersial (Thamrin, Sudirman, Grogol) mengalami degradasi vegetasi dan pemanasan. Sebaliknya, wilayah permukiman dengan vegetasi terbuka menunjukkan resiliensi lebih tinggi.
3. Zonal Statistik dan Perbandingan
Tabel ringkasan berikut menampilkan rata-rata dan standar deviasi dari lima parameter lingkungan (EVI, NDVI, SAVI, LST, dan NO₂) berdasarkan fase pandemi dan zona spasial (Urban Core dan Peri-Urban).
Tabel 1. Perbandingan Urban Core vs. Peri-Urban


Terdapat pola yang konsisten pada seluruh parameter lingkungan selama fase lockdown COVID-19. Selama fase lockdown (April–Juni 2020), terjadi peningkatan rata-rata nilai indeks vegetasi seperti NDVI, EVI, dan SAVI baik di zona Urban Core maupun Peri-Urban. Hal ini menandakan bahwa pembatasan mobilitas manusia secara langsung berdampak pada pemulihan kondisi vegetasi yang kemungkinan besar dipicu oleh penurunan polusi udara, tekanan mekanis pada ruang terbuka hijau, serta turunnya emisi kendaraan bermotor.
Secara khusus, di zona Urban Core, nilai NDVI meningkat dari 0.268 pada periode pra-COVID menjadi 0.310 saat lockdown, atau sekitar +15,6%, diikuti oleh EVI yang meningkat dari 0.147 ke 0.173. SAVI juga menunjukkan tren yang sama. Meski peningkatan ini tergolong moderat, lonjakan ini signifikan untuk kawasan padat penduduk yang memiliki tekanan lingkungan tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa vegetasi urban memiliki kapasitas pemulihan yang cukup baik ketika intervensi antropogenik diminimalisasi. Tren serupa terjadi pada wilayah Peri-Urban, yang secara umum memiliki vegetasi lebih luas dan kepadatan bangunan lebih rendah, sehingga meningkatkan kecepatan respon terhadap perubahan tekanan lingkungan.
Fenomena berbeda terjadi pada suhu permukaan tanah (LST). Di Urban Core, LST meningkat dari 43,07°C menjadi 48,15°C selama lockdown. Kenaikan yang cukup drastis ini bertolak belakang dengan anggapan bahwa penurunan aktivitas manusia seharusnya mengurangi efek panas perkotaan. Namun, fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep Urban Heat Island (UHI), dimana struktur fisik perkotaan seperti aspal dan beton menyerap panas dan melepaskannya perlahan, terlepas dari tingkat aktivitas manusia. Ditambah lagi, berkurangnya mobilitas berarti pengurangan emisi kendaraan, tetapi tidak serta merta mengurangi retensi panas yang disimpan oleh permukaan kota. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa intervensi ekologis pasif saja tidak cukup untuk menurunkan LST tanpa perbaikan struktural lanskap kota.
Sementara itu, data konsentrasi NO₂ yang tercatat konstan pada 50 µmol/m² membatasi analisis spasial dan temporal yang mendalam dari sisi kualitas udara. Namun, bila merujuk pada visualisasi time-series (Gambar 2), memang terdapat indikasi bahwa fase lockdown menyebabkan penurunan kadar NO₂. Ini konsisten dengan temuan global bahwa pandemi COVID-19 secara tidak langsung memperbaiki kualitas udara akibat berhentinya sebagian besar aktivitas transportasi dan industri. Dengan demikian, peran indikator kualitas udara dalam memahami perubahan ekosistem perkotaan tetap krusial, meskipun pada dataset ini keterbatasan resolusi spasial dan temporal dari Sentinel-5P mungkin menjadi penyebab data yang statis.
Dari sudut pandang spasial, peningkatan vegetasi paling signifikan terdeteksi di bagian barat daya Jakarta serta beberapa zona Peri‑Urban yang berbatasan dengan Bekasi dan Tangerang. Sementara wilayah dengan kenaikan LST tertinggi umumnya berada di pusat-pusat aktivitas ekonomi seperti Jakarta Pusat dan sebagian Jakarta Utara, mengindikasikan korelasi kuat antara intensitas aktivitas ekonomi dengan akumulasi panas lingkungan. Hal ini relevan jika dikaitkan dengan data sosiodemografi, di mana kawasan padat penduduk dan padat aktivitas cenderung mengalami degradasi kualitas lingkungan lebih cepat dan intens.
4. Implikasi Sosiodemografi dan Aktivitas Manusia
Hasil penelitian menegaskan bahwa perubahan parameter lingkungan selama fase lockdown tidak hanya menggambarkan dinamika ekologis, tetapi juga mencerminkan pola sosiodemografi dan aktivitas manusia yang melekat pada struktur wilayah Jakarta. Sebagai sebuah megacity,Jakarta memiliki ketimpangan distribusi penduduk dan aktivitas ekonomi yang sangat tinggi antar wilayah—faktor yang sangat memengaruhi tingkat tekanan lingkungan.
Selama periode lockdown, aktivitas manusia seperti mobilitas penduduk, penggunaan kendaraan, kegiatan industri, dan aktivitas ekonomi harian mengalami penurunan drastis, terutama di kawasan Urban Core seperti Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan sebagian Jakarta Selatan. Ini merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, dominasi permukaan kedap air (asphalt, beton), serta keterbatasan ruang terbuka hijau. Maka, ketika aktivitas manusia berhenti, terjadi pelepasan tekanan sesaat terhadap lingkungan, yang terefleksi pada kenaikan indeks vegetasi dan kemungkinan pemulihan ekologis mikro.
Meskipun vegetasi menunjukkan peningkatan, suhu permukaan justru mengalami kenaikan di pusat kota. Hal ini mengindikasikan bahwa struktur fisik kota dan pola pemanfaatan lahan lebih berperan besar dalam membentuk iklim mikro perkotaan dibanding aktivitas manusia semata. Dalam konteks sosiodemografi, kawasan padat penduduk yang kurang ditopang oleh infrastruktur lingkungan yang adaptif misalnya, minimnya jalur hijau, taman kota, atau ruang terbuka publik lebih rentan mengalami peningkatan suhu dan degradasi kualitas udara meskipun emisi kendaraan berkurang.
Sementara itu, wilayah Peri-Urban, yang umumnya memiliki densitas penduduk lebih rendah, ruang hijau lebih luas, dan karakter semi-perdesaan, menunjukkan peningkatan indeks vegetasi yang relatif lebih tinggi. Ini menegaskan bahwa kapasitas ekologis suatu wilayah untuk pulih dari tekanan sangat berkaitan dengan kondisi spasial-fisiknya, bukan hanya jumlah aktivitas manusianya.
Implikasi penting lainnya adalah bahwa resiliensi lingkungan urban ternyata juga merupakan refleksi dari ketimpangan sosial dan spasial. Kawasan elite atau terencana seperti Menteng atau Sudirman Central Business District mungkin tetap mempertahankan kualitas lingkungannya karena ditopang oleh infrastruktur hijau yang cukup dan pengelolaan lingkungan yang sistematis. Sebaliknya, kawasan padat penduduk seperti Tanah Abang, Cempaka Putih, dan sebagian Jakarta Utara justru tetap mengalami tekanan tinggi meski aktivitas manusia menurun. Hal ini mengarah pada satu kesimpulan penting: pengelolaan lingkungan tidak cukup hanya dengan mengurangi aktivitas manusia secara temporer, tetapi membutuhkan transformasi tata ruang yang berkeadilan dan berbasis sosiodemografi.
Dari perspektif kebijakan, temuan ini memberikan pijakan bahwa intervensi berbasis spasial misalnya peningkatan ruang hijau di kawasan padat, integrasi blue-green infrastructure, serta desentralisasi aktivitas ekonomi—merupakan strategi adaptasi yang efektif terhadap tantangan urbanisasi dan krisis lingkungan. Dalam jangka panjang, integrasi data sosiodemografi (seperti kepadatan penduduk, indeks kemiskinan, dan akses terhadap ruang terbuka) bersama dengan data lingkungan (NDVI, LST, NO₂) perlu dilakukan untuk membentuk sistem perencanaan yang inklusif dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan lockdown akibat pandemi COVID-19 memberikan dampak nyata terhadap dinamika lingkungan perkotaan di Jakarta. Peningkatan nilai indeks vegetasi (NDVI, EVI, dan SAVI) selama masa pembatasan mobilitas mencerminkan adanya proses pemulihan ekologis, khususnya di wilayah Peri-Urban yang memiliki kapasitas vegetatif lebih baik. Namun, peningkatan suhu permukaan tanah (LST) yang terjadi di kawasan Urban Core menegaskan bahwa struktur fisik kota, material permukaan, dan kurangnya ruang terbuka hijau memiliki pengaruh signifikan terhadap iklim mikro urban yang tidak serta-merta membaik meskipun aktivitas manusia berkurang.
Kondisi ini menegaskan bahwa kualitas lingkungan urban sangat dipengaruhi oleh faktor spasial dan sosiodemografis, seperti kepadatan penduduk, distribusi infrastruktur, dan ketimpangan akses terhadap ruang hijau. Wilayah yang padat penduduk cenderung lebih rentan terhadap degradasi lingkungan, dan pemulihannya membutuhkan intervensi jangka panjang, tidak hanya dari sisi pengurangan aktivitas antropogenik, tetapi juga perencanaan ruang yang adil dan ekologis.
Limitasi penelitian ini antara lain keterbatasan resolusi spasial dari data Sentinel-5P untuk NO₂ yang menyebabkan interpretasi kualitas udara kurang optimal. Selain itu, beberapa faktor non-lingkungan seperti iklim musiman dan variabilitas meteorologis belum sepenuhnya dikendalikan.
Rekomendasi yang diajukan antara lain:
-
1.Perlunya peningkatan resolusi data sosiodemografi dan lingkungan secara integratif untuk kebijakan perencanaan kota.
-
2.Penguatan infrastruktur hijau secara spasial merata, khususnya di kawasan padat penduduk.
-
3.Perlu adanya pendekatan multidisipliner antara perencana kota, ahli lingkungan, dan pengambil kebijakan dalam menyusun strategi adaptasi dan mitigasi lingkungan pasca-pandemi.
Daftar Pustaka
Hadibasyir, H. Z., Samsu Rijal, S., & Ratna Sari, D. (2020). Comparison of land surface temperature during and before the emergence of COVID‑19 using MODIS imagery in Wuhan City, China. Forum Geografi, 34(1). DOI:10.23917/forgeo.v34i1.10862.
Priyana, Y., Firdaus, N. S., Jumadi, J., Amin, C., & Hadibasyir, H. Z. (2023). Comparative analysis of land surface temperature before and during the large-scale social restrictions due to COVID‑19 in Jabodetabek, Indonesia. BIS Health and Environmental Science.
Risnayah, S., Mudhalifana, W. S., & Restele, L. O. (2022). Dynamics of Urban Heat Island and NO₂ gas during the COVID‑19 pandemic. Tunas Geografi, 12(2). DOI:10.24114/tgeo.v12i2.49303.
Faisal, M., & Jaelani, L. M. (2023). Spatio-temporal analysis of NO₂ from Sentinel‑5P during social restrictions in Jakarta using Google Earth Engine. Natural Hazards Research, 3(2), 344–352. DOI:10.1016/j.nhres.2023.02.006
Huang, J., Chen, J., et al. (2020). Global impact of COVID‑19 restrictions on atmospheric NO₂ and O₃ concentrations. arXiv.
Kerim, L., et al. (2021). Multiple air quality monitoring evidence of the impacts of large-scale social restrictions during the COVID‑19 pandemic in Jakarta, Indonesia. Aerosol and Air Quality Research, 21, 200645.