Abstrak
Banjir merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Kabupaten Bandung, mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat dan infrastruktur. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis tingkat kerawanan banjir di Kabupaten Bandung guna membantu perencanaan mitigasi bencana yang lebih efektif. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan dan mengklasifikasikan area rawan banjir berdasarkan data geospasial yang mencakup faktor-faktor seperti elevasi, penggunaan lahan, curah hujan, dan kondisi hidrologi. Metode yang digunakan melibatkan pengolahan data dengan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menghasilkan peta kerawanan banjir yang terbagi menjadi lima kelas: Sangat Rendah, Rendah, Sedang, Rawan, dan Sangat Rawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas kerawanan "Sedang" memiliki cakupan area terbesar dengan luas mencapai 80,012.87 hektar. Wilayah dengan kategori "Sangat Rawan" mencakup beberapa kecamatan seperti Baleendah, Dayeuhkolot, dan Pameungpeuk, yang terletak di sekitar aliran Sungai Citarum. Peta kerawanan banjir yang dihasilkan dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk pengambilan keputusan dalam upaya mitigasi bencana, perencanaan tata ruang, dan pembangunan infrastruktur yang berorientasi pada pengurangan risiko banjir di masa depan.
Kata kunci: Kerawanan Banjir, CMA, Kabupaten Bandung.
Pendahuluan
Banjir merupakan peristiwa alam yang terjadi ketika volume air melebihi kapasitas jaringan drainase di suatu wilayah, sehingga menyebabkan genangan yang berdampak merugikan (Balahanti et al., 2023). Genangan merujuk pada kondisi di mana air meluap ke area yang bukan merupakan badan air dan berhenti mengalir, sehingga tertahan di wilayah tertentu (Kenranto et al., 2024). Banjir yang terjadi dapat mengakibatkan korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan bangunan, masalah kesehatan, dan tentunya menghambat aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari. Banjir dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari alam maupun ulah manusia. Secara alami, penyebabnya meliputi curah hujan yang tinggi, topografi wilayah yang rendah, serta kondisi tanah yang kurang mampu menyerap air. Sementara itu, aktivitas manusia seperti kerusakan daerah resapan air akibat pembukaan lahan, penyumbatan saluran drainase karena pembuangan sampah sembarangan, dan kurangnya sistem pengelolaan air yang memadai juga menjadi faktor yang berkontribusi menyebabkan terjadinya banjir. Perubahan tutupan lahan, seperti alih fungsi kawasan hijau menjadi area terbangun, turut mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air dan memperbesar risiko banjir. Selain faktor tutupan lahan, kondisi fisik wilayah seperti ketinggian, kemiringan, arah lereng, kelengkungan, jarak dari sungai, indeks kelembaban topografi (TWI), kepadatan saluran drainase, kedalaman tanah, kelompok hidrologi tanah, serta litologi juga memiliki peran penting dalam menentukan lokasi terjadinya banjir (Mataburu et al., 2022)
Pendekatan penelitian dalam penentuan wilayah rawan banjir dengan menggunakan teknologi SIG (Sistem Informasi Geografis) semakin populer, di mana pemodelan hidrologi dan hidraulika menjadi metode umum yang mengandalkan data lapangan atau penginderaan jauh sebagai input model. Seiring perkembangannya, terdapat kecenderungan penggunaan model spasial berbasis statistik yang memanfaatkan berbagai faktor input relevan seperti geologi, jenis tanah, penggunaan lahan, jaringan drainase, dan curah hujan. Penggunaan teknologi SIG dalam analisis wilayah rawan banjir memiliki keunggulan, antara lain kemudahan pengoperasian, cakupan wilayah yang luas, serta kemampuan menangani data besar terkait banjir (Kim & Barros, 2001; Tehrany et al., 2014)
Kabupaten Bandung merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang rentan terhadap bencana, termasuk banjir. Wilayah yang paling sering terdampak berada di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, DAS Cisangkuy, dan DAS Cikapundung. Pada 8 November 2017, banjir melanda beberapa kecamatan, yakni Dayeuhkolot, Baleendah, dan Bojongsoang. Dampaknya, sebanyak 699 rumah di Dayeuhkolot, 329 rumah di Baleendah, dan 10 rumah di Bojongsoang terendam banjir (Sitorus et al., 2021). Kejadian banjir ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah konversi lahan yang terjadi di wilayah sekitar DAS, yang mengubah lahan hutan menjadi area pemukiman dan pertanian. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung dengan tujuan untuk menentukan tingkat kerentanannya terhadap banjir serta faktor-faktor penyebabnya, menggunakan model CMA dan teknologi SIG.
Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitan
Penelitian ini mengkaji Kabupaten Bandung yang bertepatan di koordinat 6° 41' - 7° 19' Lintang Selatan dan 107° 22' - 108° 5' Bujur Timur dengan luas 176.239 ha (gambar 1).
2. Bahan
Analisis wilayah rawan banjir dilakukan dengan metode overlay GIS menggunakan pembobotan dan skoring pada enam parameter utama, yaitu curah hujan, indeks topographic wetness (TWI), penggunaan lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, dan elevasi. Lokasi titik banjir digunakan sebagai parameter pembanding dalam menentukan bobot dan skor. Analisis ini memanfaatkan aplikasi sistem informasi geografis (SIG) untuk menghasilkan peta rawan banjir. Peta rata-rata curah hujan tahunan diperoleh dari Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with Station data(CHIRPS) tahun 2024. Peta penggunaan lahan diturunkan dari peta RBI skala 1:25.000 yang diproduksi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2023. Sementara itu, peta TWI, peta kemiringan lereng, dan peta elevasi berasal dari hasil pengolahan data digital elevation model (DEMNAS/BIG) dengan resolusi 5 meter. Peta jenis tanah diperoleh dari peta tanah produksi Food and Agriculture Organization (FAO). Lokasi titik banjir dipetakan menggunakan GPS berdasarkan data kejadian banjir tahun 2019–2024 yang bersumber dari Data dan Informasi Bencana Indonesia BNPB. Pengolahan data spasial dilakukan menggunakan Microsoft Excel, sedangkan overlay, skoring, dan pembobotan dilakukan melalui platform Geo Mapid. Serta Visualisasi menggunakan software QGIS.
3. Metode Analisis
Tingkat kerawanan banjir ditentukan berdasarkan nilai bobot dan skor dari setiap parameter yang memengaruhi tingkat kerawanan banjir. Penentuan bobot dan skor dilakukan menggunakan metode Complete Mapping Analysis (CMA). Nilai bobot dan skor dihitung dengan membandingkan nilai observasi suatu kejadian dengan nilai ekspektasi dari kejadian tersebut (Boonyanuphap et al., 2001; Haryani et al., 2012). Nilai observasi merujuk pada jumlah kejadian banjir dalam satuan wilayah tertentu, sedangkan nilai ekspektasi mengacu pada proporsi jumlah kejadian yang seharusnya terjadi berdasarkan luas wilayah tersebut. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi area dengan potensi kerawanan banjir yang lebih akurat.
Secara matematis, model Complete Mapping Analysis (CMA) untuk memetakan tingkat kerawanan banjir dirumuskan sebagai berikut:
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Skor parameter banjir
Curah hujan menjadi salah satu faktor utama yang memicu terjadinya banjir. Curah hujan yang tinggi meningkatkan aliran permukaan, yang pada jenis lahan tertentu dapat menyebabkan genangan hingga banjir. Di Kabupaten Bandung, distribusi rata-rata curah hujan tahunan mengikuti pola ketinggian wilayah. Wilayah di bagian selatan, yang memiliki elevasi tertinggi, cenderung menerima curah hujan lebih besar, sedangkan wilayah di bagian utara, dengan elevasi lebih rendah, menerima curah hujan yang lebih kecil. Menariknya, kejadian banjir lebih sering terjadi di wilayah dengan curah hujan lebih rendah. Analisis skor menunjukkan bahwa kelas curah hujan 1500–2000 mm memiliki skor tertinggi (47,23) dan mencatatkan 1 titik banjir (Tabel 1.a). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun curah hujan tinggi dapat menjadi pemicu, faktor lain seperti karakteristik tanah dan topografi juga berkontribusi pada terjadinya banjir.
Elevasi berperan penting dalam menentukan arah dan pergerakan air di permukaan lahan. Secara alami, air mengalir dari wilayah dengan elevasi yang lebih tinggi menuju wilayah yang lebih rendah. Oleh karena itu, daerah dengan elevasi rendah cenderung memiliki potensi banjir yang lebih besar dibandingkan daerah dengan elevasi tinggi. Berdasarkan analisis peta elevasi, wilayah penelitian terbesar berada pada rentang elevasi 1250–1750 mdpl, umumnya tersebar di bagian tengah hingga selatan. Sebaliknya, wilayah dengan luasan terkecil berada di sekitar puncak gunung dengan elevasi lebih dari 2250 mdpl (lihat Gambar 2b). Analisis skor menunjukkan bahwa kelas elevasi di bawah 1750 - 2250 mdpl memiliki skor tertinggi (44.03) dengan 2 titik banjir, diikuti oleh kelas elevasi <750 mdpl dengan skor 23.19 dan 2 titik banjir. Sementara itu, semua kelas elevasi di atas 2250 mdpl memiliki skor 0, menandakan tidak adanya kejadian banjir di wilayah tersebut.
Kemiringan lereng memengaruhi laju aliran air di permukaan tanah, di mana lereng yang lebih curam akan meningkatkan kecepatan aliran, sedangkan lereng yang lebih landai akan memperlambatnya. Perlambatan aliran ini menyebabkan peningkatan volume air di permukaan, yang cenderung terakumulasi di area dengan topografi landai, terutama pada wilayah berbentuk cekungan. Ketika volume air melewati ambang batas tertentu, genangan hingga banjir dapat terjadi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelas lereng dengan kemiringan 8–15% memiliki skor tertinggi (56,46) dan mencatatkan delapan titik banjir (Tabel 1.c). Dengan demikian, lereng pada kisaran ini memiliki potensi banjir maksimum dibandingkan kelas lereng lainnya.
Nilai Topographic Wetness Index (TWI) digunakan untuk mengidentifikasi wilayah cekungan yang berpotensi menjadi tempat akumulasi air dan berisiko mengalami genangan. Semakin tinggi nilai TWI, semakin besar potensi akumulasi air genangan (Nucifera & Putro, 2018; Riadi et al., 2018). Di Kabupaten Bandung, nilai TWI berkisar antara 2,98385 hingga 23,9687. Wilayah dengan indeks TWI tinggi umumnya terletak di bagian utara, yaitu di sekitar Kota Bandung, sedangkan nilai TWI yang lebih rendah biasanya ditemukan pada lereng-lereng gunung dan pegunungan yang tersebar di bagian tengah hingga selatan Kabupaten Bandung. Wilayah dengan nilai TWI tertinggi berada dalam rentang 5,6449 hingga 7,0767, mencakup 36.72% dari total area (Tabel 1.d). Rentang nilai ini menunjukkan potensi tinggi untuk terjadinya banjir dibandingkan dengan kelas TWI lainnya.
Jenis tanah mempengaruhi kemampuan tanah dalam menyerap, menyimpan, atau mengalirkan air hujan yang jatuh di permukaannya (Kuswadi et al., 2014). Di Kabupaten Bandung, jenis tanah yang paling dominan adalah Andosol, yang tersebar di bagian tengah dan membentang dari barat ke timur (lihat Gambar 2e). Berdasarkan analisis spasial, jenis tanah Inceptisol dan Andosol memiliki skor tertinggi, masing-masing dengan skor 40,1 dan 36,71, serta titik banjir sebanyak 2 dan 5 titik (Tabel 1.e). Hal ini menunjukkan bahwa potensi banjir lebih tinggi pada jenis tanah ini dibandingkan dengan jenis tanah lainnya. Tanah-tanah ini merupakan hasil endapan dari wilayah di atasnya yang telah mengalami erosi dan pengangkutan oleh air, lalu terdeposit di daerah dengan kemiringan rendah. Sebaran titik banjir dan parameter terkait disajikan pada Gambar 3.
Jenis penggunaan lahan memiliki hubungan langsung dengan kemampuan lahan dalam meresapkan atau mengalirkan air sebagai limpasan selama hujan. Lahan hutan umumnya memiliki kemampuan resapan air yang lebih baik dibandingkan jenis penggunaan lahan lainnya, sehingga dapat mengurangi risiko genangan atau banjir. Sebaliknya, lahan permukiman cenderung memiliki daya resap yang rendah, menyebabkan sebagian besar air hujan dialirkan sebagai limpasan permukaan. Berdasarkan analisis, permukiman memiliki skor tertinggi (32,17) dan mencatatkan dua titik banjir. Selain itu, lokasi banjir juga ditemukan pada lahan perkebunan dan lahan pertanian kering, masing-masing dengan dua titik banjir. Skor yang diperoleh untuk perkebunan adalah 24,5, sedangkan untuk lahan pertanian kering sebesar 16,16 (Tabel 1.f). Hal ini menunjukkan bahwa jenis penggunaan lahan yang kurang optimal dalam meresapkan air, seperti permukiman dan perkebunan, berkontribusi terhadap risiko banjir di wilayah tersebut.
2. Faktor penentu banjir
Hasil perhitungan menggunakan model CMA menunjukkan bahwa parameter penggunaan lahan memiliki bobot tertinggi, yang mengindikasikan keterkaitan yang kuat antara penggunaan lahan dengan kejadian banjir di Kabupaten Bandung, dengan nilai bobot sebesar 23,94. Parameter lainnya yang memberikan kontribusi signifikan adalah elevasi dan kemiringan lahan, yang masing-masing memiliki nilai bobot sebesar 17,93 dan 15,26 (Tabel 2).
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa penggunaan lahan merupakan faktor pengendali utama terjadinya banjir di Kabupaten Bandung, hal ini tercermin dari nilai bobot tertinggi yang dimiliki oleh parameter ini dibandingkan dengan parameter lainnya (Tabel 2). Setiap jenis penggunaan lahan memiliki respons yang berbeda dalam menahan atau menginfiltrasi air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah. Perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun berhubungan erat dengan peningkatan aliran permukaan (Budiyanto et al., 2015; Harifa et al., 2017). Saat ini, penggunaan lahan di Kabupaten Bandung didominasi oleh pertanian lahan kering dan sawah, yang masing-masing meliputi 24,44% dan 18,34% dari total luas wilayah. Pertanian lahan kering umumnya dikelola oleh penduduk setempat dengan berbagai tanaman semusim seperti kentang, cabe, tomat, kubis, jagung, daun bawang, serta sayuran lainnya (Savitri & Pramono, 2017). Tanaman lain yang dominan diusahakan di lahan ini adalah singkong, pisang, dan tanaman campuran. Persebaran pertanian lahan kering cukup merata di Kabupaten Bandung, dengan konsentrasi utama di wilayah dataran tinggi. Sawah umumnya terletak berdekatan dengan permukiman dan terkonsentrasi di bagian tengah wilayah penelitian. Penggunaan lahan hutan cenderung memiliki aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan lahan pertanian atau permukiman, karena sebagian besar air hujan yang jatuh akan terinfiltrasi ke dalam tanah. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan budidaya dapat meningkatkan aliran permukaan, yang berkaitan langsung dengan frekuensi kejadian banjir (Savitri & Pramono, 2017; Tarigan, 2016).
3. Analisis wilayah rawan banjir
Berdasarkan tabel 3 dan dan gambar 4, dapat dilihat gambaran kuantitatif dan spasial mengenai potensi kerawanan banjir di masing-masing kecamatan. Tabel tersebut menunjukkan luas area per kelas kerawanan banjir, yaitu "Sangat Rendah," "Rendah," "Sedang," "Rawan," dan "Sangat Rawan," yang dinyatakan dalam satuan hektar (ha). Total luas wilayah yang diteliti mencapai 170,003.82 hektar.
Beberapa kecamatan dengan luas area "Sangat Rawan" yang signifikan antara lain Baleendah (283.57 ha), Dayeuhkolot (136.81 ha), dan Pameungpeuk (172.68 ha), yang merupakan wilayah yang sering terdampak banjir akibat topografi rendah dan letaknya di sekitar aliran sungai utama. Kecamatan seperti Ibun memiliki luas kategori "Sangat Rendah" terbesar (741.33 ha), yang menunjukkan area ini memiliki risiko banjir yang sangat minim karena kemungkinan karakteristik geografis yang lebih tinggi dan jauh dari sungai utama.
Peta kerawanan banjir yang disajikan pada gambar 4 memberikan visualisasi spasial dari hasil data tabel. Warna pada peta memperlihatkan distribusi risiko banjir di seluruh Kabupaten Bandung. Area berwarna hijau menunjukkan kategori "Sangat Rendah," sedangkan area merah menandai kawasan "Sangat Rawan." Pola persebaran ini mengindikasikan bahwa daerah-daerah di sekitar aliran Sungai Citarum dan anak sungainya lebih cenderung mengalami banjir, sebagaimana terlihat dari dominasi warna merah dan oranye di wilayah tengah hingga utara peta. Peta ini penting untuk memberikan gambaran menyeluruh yang sangat penting dalam perencanaan mitigasi bencana banjir di Kabupaten Bandung. Informasi ini dapat digunakan untuk menentukan prioritas pembangunan infrastruktur pengendalian banjir, seperti pembangunan tanggul, normalisasi sungai, dan optimalisasi drainase di wilayah dengan risiko tinggi. Selain itu, data ini juga penting untuk mendukung kebijakan tata ruang berbasis risiko banjir, termasuk membatasi pembangunan di daerah rawan banjir dan meningkatkan kapasitas resiliensi masyarakat setempat. Dengan demikian, hasil analisis ini tidak hanya membantu memahami risiko banjir, tetapi juga mendukung pengambilan keputusan strategis yang berorientasi pada pengurangan risiko bencana di masa depan.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa kerawanan banjir di Kabupaten Bandung dipengaruhi oleh kombinasi faktor-faktor fisik dan lingkungan, termasuk topografi, penggunaan lahan, curah hujan, serta kondisi hidrologi. Kelas kerawanan "Sedang" mendominasi sebagian besar wilayah dengan luas mencapai 80,012.87 hektar, sementara kelas "Sangat Rawan" mencakup area yang lebih terbatas tetapi memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat. Daerah yang memiliki kemiringan rendah dan tingkat urbanisasi tinggi, seperti kawasan datar yang banyak digunakan untuk permukiman atau kegiatan industri, cenderung lebih rentan terhadap genangan air dan banjir. Temuan ini menekankan perlunya pengelolaan tata ruang yang lebih baik, termasuk pengaturan penggunaan lahan untuk meminimalkan risiko banjir di masa depan. Upaya mitigasi seperti pengendalian aliran air melalui pembangunan drainase yang memadai, rehabilitasi daerah tangkapan air, serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan risiko bencana menjadi sangat penting. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa pemanfaatan teknologi SIG memberikan alat yang efektif untuk menganalisis risiko banjir dan merancang strategi mitigasi yang lebih tepat sasaran.
Daftar Pustaka
Balahanti, R., Mononimbar, W., & Gosal, P. H. (2023). Analisis Tingkat Kerentanan Banjir Di Kecamatan Singkil Kota Manado. Jurnal Spasial, 11.
Boonyanuphap, J., Suratmo, F. G., Jaya, I. N. S., & Amhar, F. (2001). Gis-based method in developing wildfire risk model (Case study in Sasamba, East Kalimantan, Indonesia). Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 7(2).
Budiyanto, S., Tarigan, S. D., Sinukaban, N., & Murtilaksono, K. (2015). The Impact of Land Use on Hydrological Characteristics in Kaligarang Watershed. International Journal of Science and Engineering, 8(2).
Harifa, A. C., Sholichin, M., & Prayogo, T. B. (2017). Analisa pengaruh perubahan penutupan lahan terhadap debit sungai Sub Das Metro dengan menggunakan Program ArcSWAT. Urnal Teknik Pengairan, 8(1), 1–14.
Haryani, N. S., Zubaidah, A., Dirgahayu, D., Hidayat, F. Y., & Junita, P. (2012). Model bahaya banjir menggunakan data penginderaan jauh di Kabupaten Sampang. Jurnal Penginderaan Jauh, 9(1).
Kenranto, R. A., Hidayat, H., & Bioresita, F. (2024). Analisis Genangan Banjir Terhadap Penutup Lahan di Wilayah Tangerang Menggunakan Data Citra Sentinel-1 dan Sentinel-2. Journal of Geospatial Information Science and Engineering, 7(1), 14–22.
Kim, G., & Barros, A. P. (2001). Quantitative flood forecasting using multisensor data and neural networks. Journal of Hydrology, 246(1–4). https://doi.org/10.1016/S0022-1694(01)00353-5
Kuswadi, D., Zulkarnain, I., & Suprapto. (2014). Identifikasi Wilayah Rawan Banjir Kota Bandar Lampung Dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). TekTan Jurnal Ilmiah Teknik Pertanian, 6(1).
Mataburu, I. B., Handawati, R., & Nugratama Hijrawadi, S. (2022). Analisis wilayah rawan banjir DAS Cimanuk hulu menggunakan model complete mapping analysis dan SIG. Jurnal Georafflesia, 7(1).
Nucifera, F., & Putro, S. T. (2018). Deteksi Kerawanan Banjir Genangan Menggunakan Topographic Wetness Index (TWI). Media Komunikasi Geografi, 18(2). https://doi.org/10.23887/mkg.v18i2.12088
Riadi, B., Barus, B., Widiatmaka, Yanuar, M., & Pramudya, B. (2018). Identification of flood area in the coastal region using remote sensing in Karawang Regency, West Java. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 162(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/162/1/012042
Savitri, E., & Pramono, I. B. (2017). Analisis banjir Cimanuk Hulu 2016 (Upper Cimanuk flood analysis of 2016). Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research), 1(2), 97–110.
Sitorus, I. H. O., Bioresita, F., & Hayati, N. (2021). Analisa Tingkat Rawan Banjir di Daerah Kabupaten Bandung Menggunakan Metode Pembobotan dan Scoring. Jurnal Teknik ITS, 10(1). https://doi.org/10.12962/j23373539.v10i1.60082
Tarigan, S. D. (2016). Land Cover Change and its Impact on Flooding Frequency of Batanghari Watershed, Jambi Province, Indonesia. Procedia Environmental Sciences, 33. https://doi.org/10.1016/j.proenv.2016.03.089
Tehrany, M. S., Pradhan, B., & Jebur, M. N. (2014). Flood susceptibility mapping using a novel ensemble weights-of-evidence and support vector machine models in GIS. Journal of Hydrology, 512. https://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2014.03.008