Menyelidiki Aksesibilitas Berjalan Kaki pada Sebaran Sarana Pendidikan Usia Kanak-Kanak (Studi Kasus: Kecamatan Kulim, Kota Pekanbaru)

23/09/2024 • Fajar Hasri Maulana

Aksesibilitas Sarana Pendidikan TK dan SD Kecamatan Kulim, Kota Pekanbaru


Pekanbaru Droneview
Pekanbaru Droneview

Latar Belakang Penelitian

Kota Pekanbaru merupakan salah satu kota metropolitan yang ada di Indonesia. Dengan jumlah penduduk mencapai 1 juta penduduk pada tahun 2023 (laju pertumbuhan 1,21%), ekonomi Kota Pekanbaru terus bertumbuh hingga 6,06% (BPS Kota Pekanbaru, 2024). Pada kondisi pertumbuhan Kota saat ini, Kecamatan Kulim menjadi wilayah yang memiliki pertumbuhan penduduk paling tinggi pada tahun 2023, yakni sebesar 8,72% jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan Kota sebesar 2,99% (Disdukcapil Kota Pekanbaru, 2024). Hal ini disebabkan oleh adanya tren pertumbuhan penduduk setiap tahunnya di Kota Pekanbaru di wilayah-wilayah kecamatan terluar.

Pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi mengindikasikan pentingnya akses kepada hak-hak esensial penduduk, di mana salah satunya adalah hak dasar berpendidikan. Akses terhadap pendidikan, terutama pada tahap awal (masa kanak-kanak), menghasilkan nilai tambah dan pertumbuhan lapangan kerja serta meminimalisasi kesenjangan sosial dan ekonomi. Infrastruktur fisik, yaitu sekolah, berperan dalam menyediakan layanan pendidikan. Pada akhirnya, kebijakan terkait lokasi dari fasilitas sekolah akan memengaruhi akses terhadap pendidikan (de Armas, et. al., 2022). Di Kecamatan Kulim sendiri tersebar tujuh sarana pendidikan TK dan sembilan sarana SD. Secara empiris, aksesibilitas sarana perkotaan, termasuk sarana pendidikan, dapat diukur dengan berbagai aspek, salah satunya adalah dalam aspek keruangan (spasial). Jaringan jalan dan morfologi kota (layout ruang kota) dinilai dapat memberikan pengaruh pada askesibilitas sarana perkotaan bagi penduduk yang ada di dalamnya (Talavera, 2012; Özer, 2017; Huang et al., 2020; Wang et al., 2020; Pradifta & Utami, 2021; dan Karamitov & Antonova, 2022).

Batas Administrasi Kecamatan di Kota Pekanbaru

WHO (2022) merekomendasikan lokasi sekolah untuk dekat dengan penduduk demi memberikan kemudahan akses. Hal ini juga merupakan upaya untuk masalah yang lebih besar: inaktivitas fisik penyebab penyakit serta produksi polusi penyebab perubahan iklim. Penduduk diharapkan dapat mengakses sarana sekolah dengan aktivitas mobilitas yang aktif (active mobility), salah satunya adalah dengan berjalan kaki. Banyak manfaat bagi penduduk ketika membiasakan mobilitas aktif: meningkatkan pertumbuhan ide-ide kreatif (Opezzo & Schwartz, 2014); menurunkan potensi penyakit obesitas, kardiovaskular, minimalisasi polusi serta dampak perubahan iklim (WHO, 2022); dan meningkatkan kesehatan mental (An & Chuo, 2022); serta manfaat-manfaat lainnya. Ada baiknya jika populasi usia kanak-kanak mulai terbiasa dengan berjalan kaki ke sekolahnya untuk pembiasaan sejak dini melalui kegiatannya bersekolah sehari-hari. Penelitian ini akan berupaya menyelidiki aksesibilitas berjalan kaki sarana pendidikan TK dan SD di Kecamatan Kulim bagi penduduk yang ada di wilayah tersebut.

Landasan Teori

Hierarchy of Walking Needs (Hirarki Kebutuhan Berjalan)

Teori ini dicetuskan oleh Alfonzo (2005). Variabel individu, kelompok, regional, dan lingkungan fisik (binaan) mempengaruhi keinginan berjalan kaki pada manusia. Diadaptasi dari teori Motivasi Manusia oleh Abraham Maslow (1954): perilaku individu dipacu oleh beragam kebutuhan. Alfonzo menganggap struktur hierarkis yang sama dapat diterapkan pada kebutuhan yang dipertimbangkan individu untuk berjalan kaki. Terkait dengan tipe berjalan kaki dengan tujuan tertentu (walking destination), Alfonzo (2005) menilai bahwa persepsi jarak sangat mempengaruhi kepuasan seseorang terhadap aspek aksesibilitas—berbeda dengan tipe berjalan kaki untuk berjalan-jalan (strolling). Dengan demikian, konsep berjalan kaki 'destination walking' menjadi dasar bagi penelitian ini untuk mengukur aksesibilitas sarana pendidikan dengan menggunakan faktor jarak.

Hierarchy of Walking Needs (Alfonzo, 2005)

Framework dalam Mengukur Aksesibilitas

Miller (2020) dalam discussion paper-nya menawarkan sebuah framework tentang pendekatan untuk mengukur aksesibilitas atas sesuatu (konteks spasial). Berikut adalah empat poin pendekatan yang ditawarkan oleh Miller (2020).

  1. 1.
    Impedansi (travel impedence or disutility): impedansi pada dasarnya adalah hambatan, namun dalam konteks ini dapat dipahami sebagai batasan-batasan yang dialami oleh subjek yang bergerak untuk melakukan suatu pergerakan, seperti jarak berjalan kaki ataupun waktu berjalan kaki yang diinginkan subjek (desired cost) dalam menjangkau tujuannya.
  1. 2.
    Atraktivitas (location attractiveness): atraktivitas suatu lokasi dapat memiliki banyak arti, namun pada dasarnya adalah lokasi yang memungkinkan terjadi banyaknya interaksi, dalam hal ini pejalan kaki—jumlah/banyaknya interaksi dapat dihubungkan dengan teori Space Syntax yang mana akan digunakan dalam penelitian ini. Atraktivitas dalam teori Space Syntax dipahami sebagai derajat integration suatu jaringan jalan: derajat yang mengindikasikan besar-kecilnya potensi terjadinya pergerakan menuju jalan itu sendiri dibandingkan dengan jaringan jalan lainnya dalam suatu area (Adriyanto et al., 2020; Nes & Yamu, 2021).
  1. 3.
    Preferensi individu (person-level heterogenity): aksesibilitas terhadap suatu titik tujuan diperkirakan secara subjektif karena adanya perbedaan preferensi serta variasi dalam sumber daya dan kendala/hambatan. Dalam konteks penelitian ini, preferensi berhubungan dengan impedansi pergerakan oleh subjek yang bergerak.
  1. 4.
    Set lokasi: aksesibilitas melekat pada set lokasi yang ditetapkan saat melakukan pengukuran.

Metode Konvensional vs Space Syntax

Jika berbicara tentang pengukuran aksesibilitas berbasis jarak geografis, maka 'impedansi' menjadi indikator yang kerap menjadi fokus utama. Pendekatan impedansi dalam konteks ini merupakan sebuah pendekatan 'konvensional' yang sejak lama telah berkembang. Penelitian terdahulu (Flisek & Lewandowicz, 2019; dan Serra & Hillier, 2019) menyatakan bahwa impedansi (biasanya jarak atau waktu) bergantung pada jarak nyata dari pola/bentuk jaringan jalan yang ada dengan mempertimbangkan kemampuan fisik manusia sebagai subjek yang bergerak. Pendekatan ini biasa disebut dengan pengukuran metrik.

Gagasan yang berbeda muncul sekitar tahun 1970an oleh Bill HIllier dan koleganya yang menyebutkan bahwa pergerakan penduduk di dalam suatu susunan ruang perkotaan menunjukkan korelasi dengan jarak topologis, bukan pada jarak metrik. Perbedaannya adalah jarak topologis mempertimbangkan jumlah perubahan arah pergerakan berdasarkan jarak lurus bergerak manusia, yakni mempertimbangkan manusia lebih memilih jalan dengan jumlah perubahan arah yang lebih sedikit menuju suatu lokasi. Gagasan ini kembali berkembang kembali sekitar awal abad 20 oleh adanya penelitian oleh Conroy Dalton (2001) yang mengatakan bahwa manusia cenderung menjaga linearitas melalui rute mereka dengan perubahan sudut minimal (kemampuan kognitif manusia yang mengindari jaringan jalan yang kompleks berbelok-belok. Pendekatan ini disebut dengan pengukuran geometris (van Nes & Yamu, 2021).

Kedua metode memiliki maksud yang sama namun dengan pendekatan yang berbeda. Selain itu, keduanya memberikan pengetahuan yang berbeda sebab teknik yang digunakan berbeda. Untuk itu, penelitian ini mencoba menggunakan keduanya untuk memperkaya pengetahuan terhadap kondisi aksesibilitas sarana pendidikan kanak-kanak di wilayah penelitian.

  • Analisis aksesibilitas metrik mampu memperlihatkan apakah seluruh daerah telah memiliki akses ke sarana pendidikan dalam jarak berjalan kaki tertentu (menggambarkan aksesibilitas berdasarkan kemampuan fisik penduduk)
  • Analisis aksesibilitas geometrik mampu memperlihatkan apakah seluruh sarana pendidikan telah berada di lokasi yang mudah diakses dengan berjalan kaki dalam jarak tertentu dan mudah dinavigasi oleh penduduk (menggambarkan aksesibilitas berdasarkan kemampuan navigasi/kognitif penduduk)

Alur Penelitian

Penelitian ini menggunakan bantuan dua tools yang berbeda untuk menjalankan dua analisis yang berbeda pula yang kemudian disajikan dalam GEOMAPID, yakni salah satu alat pemetaan berbasis internet (cloud). Analisis aksesibilitas metrik menggunakan GEOMAPID dan analisis aksesibilitas geometrik menggunakan aplikasi DepthmapX untuk menjalankan analisis space synytax.

Alur Penelitian

Hasil dan Pembahasan

Aksesibilitas Metrik

Analisis aksesibilitas metrik memperlihatkan proporsi kawasan permukiman yang tercakup area layanan sarana pendidikan TK dan SD dalam jarak 800 meter; area permukiman yang memiliki akses ke sarana TK dan SD dalam jarak berjalan kaki 800 meter dari tempat tinggal penduduk. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa tidak semua area permukiman penduduk di Kecamatan Kulim memiliki akses berjalan kaki sejauh 800 meter ke sarana TK dan SD. Sarana pendidikan kanak-kanak cenderung mengkonsentrasi di daerah sebelah utara Kulim, yang mana daerah ini lebih dekat dengan pusat pertumbuhan permukiman dari Kota Pekanbaru. Sebelah timur dan selatan memiliki akses yang relatif jauh dari kecil dalam hal aksesibilitas sarana TK dan SD dengan berjalan kaki 800 meter. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Kulim belum memiliki akses yang merata dalam konteks akses terhadap sarana pendidikan kanak-kanak dalam jarak 800 meter. Hal ini berarti, secara teori, menyebabkan tidak semua penduduk Kecamatan Kulim dapat mengakses sarana pendidikan kanak-kanak dengan berjalan kaki sebab jarak yang dibutuhkan lebih dari 800 meter, yaitu jarak optimal yang diinginkan untuk berjalan kaki oleh penduduk. Hal ini pula berarti penggunaan kendaraan bermotor masih menjadi pilihan untuk mengakses sarana TK dan SD di sebagian daerah di Kecamatan Kulim.

Aksesibilitas metrik 800m berjalan kaki sarana TK dan SD di Kecamatan Kulim, Kota Pekanbaru

Aksesibilitas Geometrik

Analisis geometrik menilai aksesibilitas lokasi sebaran sarana pendidikan TK dan SD berdasarkan lokasinya terhadap susunan jaringan jalan lain serta derajat belokannya dari lokasi jaringan jalan lainnya. Berdasarkan hasil analisis aksesibilitas geometrik, diketahui bahwa:

  • dari delapan sarana SD, empat di antaranya berada di lokasi dengan jaringan jalan berlevel angular integration 5-6, yang berarti lokasinya mudah diakses oleh penduduk dengan berjalan kaki sejauh 800 meter sebab lokasinya yang mudah dinavigasi oleh pejalan kaki; dan
  • dari enam sarana TK, hanya satu sarana yang berlokasi di jaringan jalan berlevel angular integration 5-6.

Hasil analisis tersebut tidak menggambarkan kondisi yang baik: hanya 50% dari lokasi SD yang mudah diakses dengan berjalan kaki dalam jarak 800 meter oleh penduduk, dan bahkan hanya satu sarana TK yang dapat dengan mudah diakses dengan berjalan kaki 800 meter berdasarkan kemampuan kognitif manusia. Dari hasil ini, dapat disimpulkan bahwa banyak dari lokasi sarana-sarana pendidikan TK dan SD yang tidak berpotensi untuk diakses dengan berjalan kaki oleh penduduk sebab lokasinya yang secara kognitif relatif sulit untuk diakses dengan berjalan kaki. Hal ini menggambarkan bahwa, secara teori space syntax, penduduk berpotensi kecil untuk mengakses sarana TK dan SD (terutama TK) dengan berjalan kaki dan kemungkinan akan lebih memilih kendaraan bermotor lainnya sebagai moda transportasi.

Aksesibilitas geometrik berjalan kaki sarana TK dan SD di Kecamatan Kulim, Pekanbaru

Kesimpulan

Melalui penggunaan dua pendekatan yang berbeda, aksesibilitas sarana pendidikan kanak-kanak (TK dan SD) di Kecamatan Kulim tidak menunjukkan pola yang baik. Maksudnya adalah secara metrik maupun gemoetrik tidak memperlihatkan aksesibilitas yang baik. Secara metrik, belum semua daerah memiliki akses menuju sarana SD dan TK dalam jarak 800 (jarak yang diinginkan untuk berjalan kaki). Secara geometrik, tidak semua sarana TK dan SD mudah diakses dari sudut pandang kognitif manusia (kemampuan manusia menavgiasikan dirinya). Hal ini dapat mengindikasikan bahwa keinginan untuk menggunakan kendaraan bermotor lebih tinggi daripada berjalan kaki dalam konteks mengakses sarana TK dan SD. Dengan begitu pula, banyak manfaat kesehatan yang dilewatkan oleh anak-anak usia sekolah kanak-kanak serta manfaat lainnya bagi penduduk secara umum. Kedua metode ini, pengukuran secara metrik dan geometrik, dianggap cocok untuk digunakan dalam menentukan lokasi sarana pendidikan pada masa yang akan datang seiring dengan pertumbuhan penduduk Kecamatan Kulim yang sedang mengalami tren positif yang paling tinggi di Kota Pekanbaru.

Data Publications