Pendahuluan
Bandung Raya atau Cekungan Bandung merupakan area metropolitan di Jawa Barat. Area ini meliputi Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Kota Cimahi, dan Kota Bandung sebagai pusatnya. Jika jumlah penduduk dari setiap daerah administrasinya dijumlahkan, penduduk Bandung Raya dapat mencapai 8,4 juta jiwa dengan tingkat mobilitas yang tinggi serta kebutuhan pemenuhan hidup setiap individu yang tidak sedikit. Dengan begitu, Bandung Raya dituntut untuk menjadi pusat pertumbuhan wilayah yang efektif dan efisien sehingga dapat menunjang upaya percepatan pembangunan nasional. Tuntutan ini direalisasikan dengan adanya pembangunan infrastruktur yang semakin masif. Misalnya, sudah dibangun beberapa jalan layang di Kota Bandung dalam beberapa tahun ke belakang, diresmikannya Underpass Sriwijaya di Kota Cimahi, akan dibangunnya ring road di KBB, dan adanya peningkatan pariwisata serta perluasan jalan di Kabupaten Bandung.
Pembangunan infrastruktur memang memberikan pengaruh baik untuk perekonomian dalam lingkup individu, bahkan negara. Namun, jika pembangunan ini kurang memerhatikan keseimbangan ekologis, dampak buruk bagi lingkungan akan menanti. Dampak yang akan didapatkan di antaranya berkurang lahan hijau, kualitas air dan udara yang menurun, serta munculnya titik-titik panas di beberapa wilayah. Maka dari itu, konsep ‘infrastruktur hijau’ perlu diterapkan dalam pembangunan kota.
Syukurnya, pada 2021 kemarin, pemerintah Indonesia telah menjalin kerja sama dengan lembaga ahli dari Jerman untuk mengembangkan infrastruktur hijau. Kerja sama yang disebut sebagai Green Infrastructure Initiative (GII) ini memprioritaskan beberapa provinsi, salah satunya Jawa Barat. Dan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, menyebutkan bahwa kawasan metropolitan Bandung Raya menjadi salah satu kawasan yang difokuskan untuk program GII (Humas Jabar, 2021).
Infrastruktur Hijau
Infrastruktur Hijau dapat didefinisikan secara luas sebagai jaringan dari kawasan alami dan semi-alami dengan fitur lingkungan lainnya. Jaringan ini dirancang dan dikelola untuk memberikan berbagai layanan ekosistem dan melindungi keanekaragaman hayati baik di pedesaan maupun perkotaan (Interreg Central Europe, n.d.). Konsep infrastruktur hijau telah diperkenalkan setelah built-infrastructure termasuk jalan, selokan, rumah sakit, sekolah dan fasilitas umum lainnya diperkenalkan. Infrastruktur hijau didefinisikan sebagai sistem pendukung kehidupan alam, jaringan saluran air yang saling berhubungan, lahan basah, hutan, habitat satwa liar, dan kawasan alami lainnya; jalur hijau, taman dan lahan konservasi lainnya; peternakan, juga lahan terbuka (Chang et al., 2012).
Konektivitas Ekologis
Konsep penilaian konektivitas ekologis telah diadopsi oleh beberapa penelitian untuk pembangunan skala kota dan regional. Mallarach dan Marulli (2006) memandang konsep konektivitas ekologis sebagai aspek fungsional dari hubungan aktual antara berbagai elemen lanskap, dari energi hingga informasi dan materi (seperti siklus nutrisi, penyebaran serbuk sari, dan pergerakan flora atau fauna) dalam disiplin perencanaan ekologi lanskap (Ujoh et al., 2018).
Metode
Data
Data yang digunakan di antaranya batas administrasi Bandung Raya, DEMNAS, tutupan lahan (land cover), citra Sentinel-2A untuk pengolahan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), dan ruas jalan yang disajikan dalam tabel berikut:
Tahap Penelitian
Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini digambarkan pada diagram alir di bawah.
Penelitian ini menggunakan empat jenis data sebagai parameter utama, yaitu kemiringan tanah, NDVI, tutupan lahan, dan radius atau jarak ke jalan utama. Data kemiringan tanah merupakan hasil pengolahan DEMNAS menggunakan tools slope analysis. Data NDVI didapatkan dari pengolahan citra Sentinel 2A di Google Earth Engine. Nilai radius ke jalan utama didapatkan dari pengolahan data jaringan jalan menggunakan tools euclidean distance. Sedangkan tutupan lahan didapatkan dari hasil klasifikasi citra Sentinel 2A oleh ESRI.
Selanjutnya, keempat parameter tersebut diklasifikasikan ulang untuk diberikan skor dengan skala 1 - 9 untuk setiap kelasnya. Pemberian skor ini didasarkan pada seberapa besar pengaruh faktor-faktor ini terhadap konektivitas ekologis yang terbangun. Semakin kecil skor yang diberikan, artinya pengaruh yang didapatkan untuk konektivitas ekologis akan semakin baik. Di bawah ini merupakan skor untuk setiap kelas pada semua parameter yang digunakan.
a. Kemiringan Tanah
b. NDVI
c. Tutupan Lahan
d. Jarak ke Jalan Utama
Setelah semua diberi skor, giliran keempat parameter yang digunakan diberi bobot untuk dilakukan overlay. Bobot untuk setiap parameter dilampirkan pada tabel berikut:
Hasil overlay menunjukkan peta potensi tingkat konektivitas ekologis. Tingkatan konektivitas ekologis dibagi ke dalam lima kelas, yaitu tinggi, agak tinggi, agak rendah, rendah, dan tidak ada konektivitas.
Selanjutnya, area-area dengan tingkat ekologis yang tinggi akan dihubungkan dengan jalur ekologis. Jalur ini dibuat untuk membentuk basis pembangunan infrastruktur hijau. Untuk itu, perlu dipilih titik-titik sebagai sumber (source) penghubung dan tujuan (destination). Di sini, saya memilih daerah Rancabali sebagai titik source karena memiliki area kelas tingkat ekologis yang tinggi dan agak tinggi paling luas dibandingkan daerah lainnya. Sedangkan titik-titik destination dipilih karena termasuk area dengan tingkat ekologis yang tinggi juga, namun terputus dari daerah lainnya dengan kelas yang sama.
Penentuan jalur ekologis dilakukan dengan melakukan analisis cost-distance yang dilanjut dengan analisis cost-path. Analisis-analisis ini merupakan metode untuk menentukan rute jalur yang optimal dengan biaya yang minimal antara area ekologis yang terputus.
Analisis
Potensi Konektivitas Ekologis
Hasil overlay dari parameter yang digunakan menunjukkan potensi konektivitas ekologis yang dibagi ke dalam lima kelas, yaitu tinggi (high), agak tinggi (moderate high), agak rendah (moderate low), rendah (low), dan tidak ada konektivitas (no connectivity). Area dengan tingkat konektivitas ekologi tinggi sebagian besar merupakan area dengan tutupan lahan berupa vegetasi, cukup datar, dan dekat dengan jalan primer. Sedangkan area dengan tingkat konektivitas ekologi rendah dan tidak ada konektivitas mayoritas diisi oleh lahan terbangun, cukup miring, dan jauh dari jalan primer.
Jalur Konektivitas Ekologis untuk Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Hijau
Secara umum, infrastruktur hijau merupakan perencanaan strategis suatu jaringan dari kawasan yang masih alami dan semi alami dengan fitur lingkungan lainnya. Perencanaan ini dibuat dan dikelola untuk menjaga keanekaragaman hayati di pedesaan atau di perkotaan serta meningkatkan kualitas lingkungan hidup, seperti tersedianya udara dan air bersih. Perencanaan infrastruktur hijau dalam beberapa skala wilayah dapat diwujudkan dengan mengidentifikasi jalur ekologis.
Jalur konektivitas ekologis dibentuk dengan menghubungkan daerah-daerah dengan tingkat potensi konektivitas ekologis yang tinggi. Pada penelitian ini, Kecamatan Rancabali dipilih sebagai pusat sumbernya. Kecamatan Rancabali merupakan salah satu kecamatan agronomi yang maju di Kabupaten Bandung. Karena itu, kecamatan ini juga memiliki potensi wisata alam dan pertanian yang juga tinggi.
Jalur-jalur yang dibentuk menghubungkan Kecamatan Rancabali dan beberapa kecamatan yang memiliki potensi konektivitas yang juga tinggi. Kecamatan yang dipilih sebagai sampel yaitu Kecamatan Kertasari, Cicalengka, Cileunyi, Kiaracondong, Cilengkrang, Parongpong, Padalarang, Cikalong Wetan, dan Rongga. Dari beberapa jalur yang dibentuk, ada yang melewati Kecamatan Dayeuhkolot, Bojongsoang, dan Baleendah yang merupakan daerah yang sering mengalami banjir. Banjir di wilayah-wilayah tersebut utamanya disebabkan oleh meluapnya Sungai Cisangkuy dan sistem drainase lainnya yang buruk. Maka, infrastruktur hijau cocok diterapkan di wilayah ini untuk memberikan perlindungan terhadap banjir.
Beberapa jalur juga ada yang melewati Kota Cimahi, Kecamatan Padalarang, dan beberapa kecamatan di Kota Bandung yang dikenal memiliki cuaca yang cukup panas. Dilansir dari situs berita JabarEkspress.com, pada tahun 2021 Kota Cimahi hanya memiliki lahan terbuka hijau sebanyak 11% dari total luas wilayahnya (Nizar, 2021). Selain itu, daerah Padalarang juga dikenal sebagai kawasan industri yang memiliki tingkat mobilitas tinggi. Kondisi-kondisi ini memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakatnya sendiri, seperti meningkatnya temperatur dan polusi udara. Karena itu, penerapan infrastruktur berupa peningkatan lahan terbuka hijau akan bermanfaat bagi daerah-daerah ini.
Kesimpulan
Referensi
Chang, Q., Li, X., Huang, X., & Wu, J. (2012). A GIS-based Green Infrastructure Planning for Sustainable Urban Land Use and Spatial Development. Procedia Environmental Sciences, 12(Part A), 491 – 498. 10.1016/j.proenv.2012.01.308
Humas Jabar. (2021, March 8). Jerman Kerja Sama Infrastruktur Hijau di Jabar - Dinas Perumahan dan Permukiman Provinsi Jawa Barat. Dinas Perumahan dan Permukiman Provinsi Jawa Barat. Retrieved September 9, 2022, from https://disperkim.jabarprov.go.id/2021/03/indonesia-jerman-kerja-sama-infrastruktur-hijau-di-jabar/
Interreg Central Europe. (n.d.). Green Infrastructure Definitions - Interreg. Interreg Central Europe. Retrieved September 9, 2022, from https://www.interreg-central.eu/Content.Node/Definitions.html
Menteri Pertanian. (1980, November 24). Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 837/Kpts/Um/11/1980 [Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung].
Nizar, M. (2021, October 14). Baru Capai 11 Persen, Kota Cimahi Minim Ruang Terbuka Hijau. Jabar Ekspres. Retrieved September 9, 2022, from https://jabarekspres.com/berita/2021/10/14/baru-capai-11-persen-kota-cimahi-minim-ruang-terbuka-hijau/
Shen, Z., Wu, W., Chen, M., Tian, S., & Wang, J. (2021, October 5). Linking Greenspace Ecological Networks Optimization into Urban Expansion Planning: Insights from China’s Total Built Land Control Policy. Land 2021, 10(1046), 1-20. doi.org/10.3390/ land10101046
Ujoh, F., Eneche, P. S. U., & Obiegbu, M. E. (2018, May 14). Ecological Connectivity Index Mapping for Green Infrastructure Development in Kaduna State, Northern Nigeria. Environment and Natural Resources Research, 8(2), 116-127. 10.5539/enrr.v8n2p116