Yogyakarta, 24 Mei 2025 - Dalam acara MAPID Catalyst yang digelar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, diskusi menarik tentang tata ruang dan hubungan antara pemerintahan dengan akademisi digelar dengan menghadirkan narasumber Yudha Perdana ST. MT, Fungsional Penata Ruang Muda, Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN. Diskusi ini dimoderatori oleh Bagus Imam Darmawan, CEO MAPID, yang membuka perbincangan dengan pertanyaan mendasar:
"Apakah komunikasi antara kampus dan pemerintahan belum banyak tercipta? Mengapa pemerintah terkesan butuh waktu lama untuk mengadopsi hasil pengembangan dari kampus? Apa yang menyebabkan permasalahan tata ruang ini terus terjadi?"
Menjawab pertanyaan tersebut, Yudha menjelaskan bahwa masalah tata ruang di Indonesia sangat berkaitan dengan keterbatasan sumber daya dan lahan, atau dalam istilahnya, "scarcity" atau kelangkaan. Ia menyebutkan bahwa transformasi lahan dan segala hal terkait tata ruang pasti menghadapi batasan tersebut. Dari keterbatasan ini, solusi yang dapat dilakukan ada tiga, yaitu:
-
1.Efisiensi - Mengoptimalkan penggunaan ruang dan sumber daya yang ada agar tidak terjadi pemborosan atau penggunaan yang tidak tepat sasaran.
-
2.Prioritas - Menentukan kawasan mana yang harus didahulukan, kawasan mana yang dilindungi, dan mana yang dapat digunakan untuk pembangunan.
-
3.Inovasi - Menerapkan teknologi dan ide baru, contohnya seperti inovasi yang ditampilkan oleh MAPID Catalyst, untuk mendukung pengelolaan tata ruang secara lebih modern dan efektif.
Beliau menegaskan bahwa rencana tata ruang selama ini masih dianggap "plat merah" karena belum optimal dalam implementasi dan pengawasan, meskipun sektor swasta sebenarnya bisa berperan lebih besar. Ia memberi contoh konkret dengan sistem pengelolaan tempat parkir di mal yang sudah menerapkan monitoring real-time terhadap kapasitas kendaraan seperti sedan atau SUV. Konsep yang sama seharusnya diterapkan dalam tata ruang.
Menurutnya, tata ruang idealnya memiliki peta grid yang di-update secara real-time. Peta ini memungkinkan pengelola swasta menentukan lokasi yang tepat untuk membangun usaha seperti hotel, perkantoran, atau fasilitas lainnya berdasarkan data yang akurat dan mutakhir. Peta tersebut tidak hanya harus bisa diakses oleh pemerintah, tetapi juga oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder) seperti asosiasi bisnis dan pelaku usaha.
Dengan demikian, tata ruang yang transparan dan dinamis dapat mendukung pembangunan berkelanjutan dan mendorong sinergi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta.