[GEODATA] Ketimpangan Energi di Indonesia: Studi Kasus Distribusi SPBU dan Bensin Eceran

28/02/2025 • MAPID

BUFFER SPBU KOTA SURABAYA

BUFFER SPBU KABUPATEN PACITAN

BUFFER SPBU KOTA MAKASSAR

BUFFER SPBU KABUPATEN LUWU UTARA

Kepadatan Penduduk Pacitan 2024-1

Kepadatan Penduduk Luwu Utara - Kecamatan

Kepadatan Penduduk Kota Makassar - Kecamatan

Kepadatan Penduduk Kota Surabaya - Kecamatan

WILAYAH TIDAK TERLAYANI PACITAN

WILAYAH TIDAK TERLAYANI SPBU LUWU UTARA

JALAN YANG TIDAK TERLAYANI KABUPATEN PACITAN

JALAN TIDAK TELAYANI SPBU LUWU UTARA

SPBU DI KOTA SURABAYA TAHUN 2025

SPBU DI KOTA MAKASSAR TAHUN 2025

SPBU DI KABUPATEN PACITAN TAHUN 2025

SPBU DI KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN 2025

PERTAMINI/KIOS BENSIN DI LUWU UTARA

PERTAMINI/KIOS BENSIN DI KOTA SURABAYA

PERTAMINI/KIOS BENSIN DI KOTA MAKASSAR

PERTAMINI/KIOS BENSIN DI PACITAN

Publikasi Q1 2025 BBM


ketimpangan energi di indonesia: studi kasus distribusi spbu dan bensin eceran
ketimpangan energi di indonesia: studi kasus distribusi spbu dan bensin eceran

Energi menjadi sektor yang penting bagi pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat. Salah satu bentuk energi yang paling umum digunakan adalah bahan bakar minyak (BBM), yang menjadi sumber utama untuk transportasi, industri, dan rumah tangga (Tris dan Ariusni, 2024). Distribusi BBM yang merata merupakan salah satu elemen kunci dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun, distribusi BBM di Indonesia masih mengalami ketimpangan di beberapa wilayah. Ketimpangan ini tidak hanya terjadi akibat perbedaan geografis, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti minimnya jaringan distribusi, keterbatasan infrastruktur, serta adanya praktik penyimpangan dalam distribusi BBM.

Kasus korupsi dalam distribusi BBM, seperti pengoplosan Pertamax yang baru-baru ini terungkap, semakin memperjelas adanya celah dalam sistem distribusi energi di Indonesia. Skandal ini mengakibatkan kerugian negara yang signifikan, menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem distribusi BBM, serta menyebabkan anomali harga dan kualitas BBM yang beredar di pasar (Iswinarno, 2025). Menurut Abhimanyu (2011), praktik korupsi dalam sektor energi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lokal karena dapat menimbulkan ketidakpastian harga dan kualitas BBM yang beredar di masyarakat. Selain itu, dampak negatif dari korupsi di sektor BBM juga berkontribusi pada distorsi pasar, di mana masyarakat tidak mendapatkan BBM dengan kualitas dan harga yang seharusnya.

Distribusi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Indonesia masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan daerah industri, sementara wilayah perdesaan dan kepulauan terpencil mengalami keterbatasan akses dalam BBM. Selain itu, infrastruktur jalan yang terbatas di beberapa daerah memperlambat distribusi BBM, memperparah ketimpangan akses, dan meningkatkan risiko kelangkaan BBM. Wilayah dengan pasokan BBM stabil cenderung memiliki indeks pembangunan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang mengalami ketidakpastian pasokan BBM. Hal ini disebabkan oleh peran BBM dalam menunjang aktivitas ekonomi, terutama di sektor transportasi, industri, dan perdagangan (Yuliani et.al, 2022). Jika distribusi BBM terganggu, biaya logistik meningkat, harga barang naik, dan daya beli masyarakat pun terpengaruh.

Oleh karena itu, penelitian ini mencoba melakukan analisis spasial guna memetakan ketimpangan akses BBM serta mengidentifikasi wilayah yang lebih rentan terhadap penyimpangan distribusi BBM. Dengan menggunakan teknologi GIS, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan peta distribusi SPBU dan bensin eceran, serta memberikan rekomendasi berbasis data untuk kebijakan pemerataan akses BBM di Indonesia.

Dengan memanfaatkan teknologi GIS dan metode analisis spasial, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis distribusi SPBU dan bensin eceran guna mengidentifikasi wilayah dengan akses BBM yang tidak merata dan menyediakan rekomendasi berbasis data untuk kebijakan pemerataan akses BBM.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat dalam memahami ketimpangan distribusi BBM di Indonesia, yaitu:

  1. 1.
    Memberikan pemahaman berbasis data mengenai hubungan antara distribusi BBM, infrastruktur, dan aksesibilitas wilayah;
  1. 2.
    Mendukung perumusan kebijakan distribusi BBM yang lebih adil dan berbasis spasial; dan
  1. 3.
    Menjadi bahan pertimbangan bagi penyedia BBM dalam memperluas jaringan SPBU ke daerah yang membutuhkan.

Metode

Penelitian dilakukan di empat kabupaten dan kota yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

  1. 1.
    Analisis Heatmap: Heatmap digunakan untuk mengidentifikasi kepadatan distribusi SPBU dan bensin eceran dalam suatu wilayah. Analisis ini dilakukan dengan metode Kernel Density Estimation (KDE) untuk memvisualisasikan distribusi BBM berdasarkan intensitas lokasi.
  1. 2.
    Buffer Analysis: Metode buffer diterapkan untuk menentukan jangkauan layanan SPBU dalam radius tertentu dan dibandingkan dengan kepadatan penduduk. Dengan demikian, area yang mengalami keterbatasan akses terhadap BBM dapat teridentifikasi. Metode Buffer dilakukan untuk melihat jangkauan SPBU sebesar 5 km dan kios bensin eceran sebesar 1,5 km. Kepadatan penduduk tiap wilayah diklasifikasikan menjadi beberapa kelas, yaitu 0-50 jiwa/km2 (sangat rendah), 51-250 jiwa/km2 (rendah), 251-750 jiwa/km2 (sedang), 751-2000 jiwa/km2 (tinggi), dan lebih dari 2001 (sangat tinggi).
  1. 3.
    Overlay Analysis: Analisis overlay dilakukan dengan menggabungkan data buffer SPBU dengan jumlah penduduk untuk memperoleh informasi mengenai wilayah yang belum terjangkau layanan BBM secara memadai.

Identifikasi Karakteristik Wilayah

Kota Berciri 'Urban' vs Kabupaten Berciri 'Rural': Surabaya vs Pacitan

Sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, Surabaya memiliki infrastruktur yang berkembang pesat dengan jaringan jalan yang luas dan sistem transportasi yang relatif baik. Dengan jumlah penduduk lebih dari 3 juta jiwa, kepadatan penduduknya tinggi, didukung oleh sektor perdagangan, jasa, dan industri. Kendaraan pribadi di Surabaya mendominasi mobilitas, meskipun transportasi umum seperti bus kota dan angkutan online juga tersedia.

Sementara itu, Pacitan, yang terletak di wilayah pesisir selatan Jawa Timur, memiliki karakteristik geografis berupa perbukitan dan akses jalan yang terbatas di beberapa titik. Dengan populasi yang relatif kecil dan persebaran penduduk yang tersebar di berbagai desa, Pacitan memiliki pola pemukiman yang tidak sepadat kota-kota besar. Sebagian besar masyarakatnya bergantung pada sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan sebagai sumber mata pencaharian utama.

Bagi wilayah desa maupun perkotaan, ketersediaan BBM menjadi hal yang penting dalam menjalankan berbagai aktivitas ekonomi, mobilitas, dan kehidupan sehari-hari. Di wilayah perkotaan, BBM mendukung operasional transportasi umum, kendaraan pribadi, serta sektor industri dan jasa yang membutuhkan pasokan energi stabil. Sementara itu, di daerah perdesaan, ketersediaan BBM menjadi krusial bagi sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan, yang sangat bergantung pada mesin dan alat transportasi berbasis bahan bakar minyak. Ketimpangan distribusi BBM antara perkotaan dan perdesaan dapat berdampak pada biaya transportasi, harga barang kebutuhan pokok, serta keterbatasan akses masyarakat terhadap layanan ekonomi dan sosial. Persebaran kepadatan BBM di kedua kota/kabupaten dapat dilihat pada gambar berikut.

heatmap spbu di surabaya heatmap spbu di pacitan

Pada gambar heatmap di atas menggambarkan kepadatan distribusi SPBU di Kota Surabaya dan Kabupaten Pacitan. Di Kota Surabaya, heatmap menunjukkan variasi warna dari merah hingga biru tua, dengan warna merah menandakan area yang kepadatan SPBU-nya lebih tinggi. Sebaliknya, Kabupaten Pacitan didominasi oleh warna biru dengan indikasi tingkat kepadatan SPBU yang jauh lebih rendah dibandingkan Surabaya. Kota Surabaya memiliki total 133 SPBU dengan berbagai merek, sedangkan Kabupaten Pacitan hanya memiliki 12 SPBU yang seluruhnya berasal dari satu merek. Ketimpangan ini mencerminkan perbedaan signifikan dalam aksesibilitas BBM antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Jarak rata-rata ke SPBU terdekat di Kota Surabaya relatif lebih pendek dibandingkan dengan di Pacitan, di mana masyarakat desa sering kali harus menempuh perjalanan lebih jauh untuk mendapatkan BBM. Analisis lebih lanjut mengenai jangkauan layanan SPBU dan distribusi BBM dapat dilihat pada gambar berikut.

buffer spbu di surabaya dan pacitan

Pada gambar buffer SPBU di atas, terlihat bahwa sebagian besar wilayah di Surabaya dapat dijangkau oleh layanan SPBU, sedangkan di Pacitan terdapat beberapa area yang tidak memiliki akses langsung ke SPBU. Cakupan SPBU seluas 5 km dapat menjangkau seluruh luas Kota Surabaya, yaitu sebesar 33.306,30 Ha. Sementara itu, cakupan SPBU di Kabupaten Pacitan hanya dapat menjangkau 66,75% dari luas total Kabupaten Pacitan atau seluas 92.780 Ha. Wilayah yang tidak terjangkau SPBU ini menyebabkan masyarakat di beberapa daerah harus menempuh perjalanan lebih jauh dan menghabiskan waktu lebih lama untuk mendapatkan BBM. Hal ini berimplikasi pada waktu tempuh masyarakat desa untuk mendapatkan BBM, yang secara tidak langsung dapat memengaruhi mobilitas serta harga barang dan jasa di wilayah yang lebih sulit dijangkau. Selain itu, jenis kendaraan yang digunakan di kedua wilayah juga perlu diperhatikan. Di Surabaya, kendaraan pribadi seperti mobil mendominasi, sementara di Pacitan, kendaraan roda dua lebih umum digunakan karena kondisi geografis yang berbukit dan akses jalan yang lebih terbatas. Lebih lanjut, dapat melihat pada gambar berikut ini.

wilayah belum terlayani spbu di pacitan berdasarkan kepadatan penduduk

Peta di atas memvisualisasikan wilayah kecamatan di Kabupaten Pacitan yang belum dijangkau layanan SPBU berdasarkan kepadatan penduduk. Warna merah muda hinga merah tua yang menggambarkan wilayah pacitan menunjukan kelas kepadatan penduduk. Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Pacitan bagian utara dan barat masih belum terlayani cakupan SPBU dengan maksimal. Terdapat tiga kecamatan yang tidak terlayani dengan adanya SPBU yakni Nawangan seluas 13.079 Ha, Bandar seluas 12.425 Ha, dan Tegalombo seluas 14.881 Ha. Selain itu, dari segi aksesibilitas jalan masih terdapat sepanjang 106,565 km yang belum terlayani jangkauan SPBU. Hal ini juga dapat dimanfaatkan untuk membuka SPBU baru dijalan-jalan yang masih belum terlayani. Kondisi ini menunjukkan perlunya ekspansi SPBU baru di jalan-jalan utama yang saat ini belum memiliki akses BBM yang memadai.

wilayah dapat terlayani bbm eceran di pacitan

Wilayah yang belum terlayani oleh SPBU secara optimal dapat pula dilayani oleh kios-kios bensin eceran yang tersebar di seluruh Kabupaten Pacitan. Keberadaan bensin eceran ini menjadi alternatif penting bagi masyarakat yang tinggal jauh dari SPBU. Namun, penggunaan bensin eceran di Pacitan lebih umum dibandingkan dengan di Surabaya, di mana masyarakat perkotaan lebih banyak mengandalkan SPBU resmi. Meski memberikan akses yang lebih mudah, bensin eceran juga memiliki tantangan tersendiri, seperti harga yang lebih fluktuatif dibandingkan harga BBM di SPBU serta keterbatasan stok yang tidak selalu dapat memenuhi permintaan. Dalam beberapa kasus, harga bensin eceran bisa lebih mahal dibandingkan dengan harga resmi di SPBU, yang pada akhirnya berdampak pada biaya operasional kendaraan masyarakat di daerah yang jauh dari akses SPBU resmi.

Selain itu, wilayah yang masih belum terlayani oleh SPBU secara optimal juga dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan pihak swasta dalam ekspansi jaringan distribusi BBM. Pembangunan SPBU tambahan di lokasi-lokasi strategis, terutama di sekitar jalan utama yang belum memiliki akses memadai, dapat membantu meningkatkan ketersediaan BBM di Kabupaten Pacitan. Dengan demikian, pemerataan distribusi BBM tidak hanya mengurangi ketimpangan akses energi tetapi juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi lokal dengan menekan biaya transportasi dan meningkatkan mobilitas masyarakat.

Wilayah dengan Isu Ketimpangan Infrastruktur Baik vs Infrastruktur Tertinggal: Makassar vs Luwu Utara

Makassar, sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, memiliki infrastruktur transportasi yang cukup berkembang, terutama di pusat kota dan kawasan bisnis. Jalan-jalan utama telah teraspal dengan baik, dilengkapi dengan flyover serta akses ke pelabuhan dan bandara yang mendukung aktivitas perdagangan dan distribusi barang. Transportasi umum seperti pete-pete (angkot), bus, serta layanan transportasi daring tersedia dalam jumlah yang cukup untuk melayani mobilitas masyarakat. Namun, kemacetan sering terjadi di beberapa titik strategis akibat tingginya jumlah kendaraan pribadi dan kurangnya pengelolaan transportasi publik yang optimal.

Di sisi lain, Luwu Utara masih menghadapi tantangan besar dalam hal infrastruktur, terutama di sektor transportasi. Meskipun beberapa jalur utama telah mengalami peningkatan kualitas, banyak wilayah pedalaman masih bergantung pada jalan tanah atau jalan berbatu yang sulit dilalui, terutama saat musim hujan. Jaringan jalan antar-kecamatan belum sepenuhnya terhubung dengan baik, sehingga akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan pusat ekonomi masih menjadi kendala bagi masyarakat di daerah terpencil. Selain itu, jembatan penghubung di beberapa titik rawan mengalami kerusakan akibat faktor cuaca dan minimnya perawatan, yang semakin memperparah keterbatasan aksesibilitas di wilayah ini.

Ketersediaan BBM menjadi faktor penting dalam menunjang mobilitas dan aktivitas ekonomi baik di kota besar seperti Makassar maupun di wilayah perdesaan seperti Luwu Utara. Di Makassar, BBM banyak digunakan untuk operasional kendaraan pribadi, transportasi umum, serta sektor industri dan perdagangan yang bergantung pada pasokan energi yang stabil. Sementara itu, di Luwu Utara, kebutuhan BBM sangat krusial bagi sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan, yang menggunakan mesin dan kendaraan berbahan bakar minyak untuk operasional sehari-hari. Ketimpangan distribusi BBM antara wilayah perkotaan dan perdesaan dapat berpengaruh pada efisiensi logistik, harga barang, serta kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Sebaran SPBU di kedua kota dapat dilihat pada gambar berikut.

heatmaps spbu di kota makassar heatmaps spbu di luwu utara

Pada gambar analisis heatmap di atas, Kota Makassar menunjukkan persebaran merata pada bagian pusat kota dan kawasan bisnis utama. Beberapa titik dengan kepadatan tinggi terlihat di daerah seperti Panakkukang, Rappocini, dan Mamajang. Hal ini mencerminkan tingginya kebutuhan BBM di pusat aktivitas ekonomi dan perdagangan yang didukung oleh jaringan infrastruktur transportasi yang baik. Sebagian besar wilayah Makassar memiliki akses yang mudah ke SPBU, sehingga ketersediaan BBM tidak menjadi kendala utama bagi masyarakat kota dalam menjalankan mobilitas sehari-hari. Sebaliknya, di Kabupaten Luwu Utara, distribusi SPBU lebih terbatas dengan jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan Makassar. Heatmap menunjukkan bahwa SPBU hanya terkonsentrasi di beberapa titik strategis seperti Tana Lili, Mappedeceng, dan Sukamaju Selatan. Sementara wilayah lainnya, terutama daerah perbukitan dan pedalaman, memiliki akses yang sangat terbatas. Selanjutnya, jangkauan SPBU dapat dilihat pada gambar berikut.

buffer spbu di makassar dan luwu utara

Gambar buffer SPBU di atas menunjukkan perbedaan cakupan layanan SPBU di kedua wilayah. Di Kota Makassar, hampir seluruh area perkotaan berada dalam jangkauan layanan SPBU dengan radius 5 km. Sebaliknya, di Kabupaten Luwu Utara, masih terdapat banyak wilayah yang tidak terjangkau dalam radius yang sama. Dengan cakupan SPBU seluas 5 km, seluruh wilayah Kota Makassar sebesar 17.577 Ha dapat dijangkau. Sementara itu, cakupan SPBU di Kabupaten Luwu Utara hanya mampu mencakup 22,06% dari luas total wilayah atau sekitar 185.512 Ha, sehingga banyak desa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan BBM. Hal ini berdampak pada waktu tempuh masyarakat, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil dan bergantung pada BBM untuk kegiatan ekonomi dan kebutuhan sehari-hari.

wilayah belum terlayani spbu di luwu utara

Peta di atas menunjukkan wilayah kecamatan di Kabupaten Luwu Utara yang belum terjangkau layanan SPBU berdasarkan kepadatan penduduk. Warna merah muda hingga merah tua menandakan daerah dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa lima kecamatan seperti Seko, Rongkong, Sabbang, Massamba dan Rampi masih belum memiliki akses optimal terhadap SPBU. Kecamatan Seko memiliki luas 210.919 Ha, Rongkong 68.650 Ha, Sabbang 42.411 Ha, Massamba 106.885 Ha, dan Rampi 156.565 Ha, yang seluruhnya belum memiliki akses langsung ke SPBU. Namun, kecamatan tersebut masih memiliki jumlah penduduk yang sangat rendah, sehingga tidak menjadi masalah yang serius tetapi tetap perlu untuk diperhatikan akses penduduknya untuk memperoleh BBM. Selain itu, sepanjang 143 km jalan utama di Luwu Utara masih belum memiliki akses ke SPBU dalam radius 5 km. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat dalam memperoleh BBM untuk keperluan sehari-hari. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan perencanaan pembangunan SPBU di lokasi-lokasi strategis guna meningkatkan aksesibilitas dan pemerataan distribusi BBM.

wilayah dapat terlayani bbm eceran di kabupaten luwu utara

Sebagai alternatif dari keterbatasan SPBU, kios-kios bensin eceran banyak tersebar di Kabupaten Luwu Utara. Keberadaan bensin eceran ini memungkinkan masyarakat tetap mendapatkan BBM meskipun tidak melalui SPBU resmi. Namun, penggunaan bensin eceran di Luwu Utara lebih umum dibandingkan dengan di Makassar, di mana masyarakat kota lebih bergantung pada SPBU resmi. Meski menjadi solusi bagi daerah yang jauh dari SPBU, bensin eceran memiliki tantangan tersendiri, seperti harga yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan harga BBM di SPBU, keterbatasan stok, serta potensi perbedaan kualitas bahan bakar. Persebaran kios ini pun juga belum ada dan merata di seluruh kecamatan.

Selain itu, wilayah yang masih belum terlayani oleh SPBU secara optimal dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan pihak swasta dalam ekspansi jaringan distribusi BBM. Pembangunan SPBU tambahan di lokasi-lokasi strategis, terutama di sekitar jalan utama yang belum memiliki akses memadai, dapat membantu meningkatkan ketersediaan BBM di Kabupaten Luwu Utara. Dengan demikian, pemerataan distribusi BBM tidak hanya mengurangi ketimpangan akses energi tetapi juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi lokal dengan menekan biaya transportasi dan meningkatkan mobilitas masyarakat.

Kesimpulan

Penelitian ini mengungkap adanya ketimpangan distribusi BBM di Indonesia yang dipengaruhi oleh faktor geografis dan infrastruktur. Wilayah perkotaan seperti Surabaya dan Makassar memiliki akses yang lebih baik terhadap SPBU, sementara daerah perdesaan seperti Pacitan dan Luwu Utara masih bergantung pada bensin eceran sebagai alternatif. Hasil analisis GIS menunjukkan bahwa cakupan SPBU di kota-kota besar relatif merata dengan buffer layanan yang mencakup hampir seluruh wilayah perkotaan. Sebaliknya, daerah kabupaten berciri rural/perdesaan menghadapi keterbatasan akses, di mana banyak kecamatan yang tidak terjangkau dalam radius layanan SPBU 5 km. Hal ini berdampak pada mobilitas masyarakat, biaya transportasi, serta harga barang dan jasa.

Selain itu, faktor infrastruktur jalan turut berkontribusi terhadap distribusi BBM. Wilayah dengan akses jalan terbatas, seperti Luwu Utara dan Pacitan, memiliki tantangan dalam pendistribusian BBM, sehingga ketersediaannya menjadi tidak stabil. Keberadaan bensin eceran menjadi solusi sementara, tetapi sering kali memiliki harga yang lebih mahal dan kualitas yang tidak terjamin. Rekomendasi yang dihasilkan, seperti pembangunan SPBU tambahan di lokasi strategis dan peningkatan infrastruktur jalan, diharapkan dapat menjadi dasar bagi perumusan kebijakan yang lebih adil dan berbasis spasial. Penelitian ini juga menekankan perlunya penyedia BBM untuk memperluas jaringan mereka ke wilayah-wilayah yang kurang terlayani.

Daftar Pustaka

  • Abimanyu, A. (2011). Refleksi dan gagasan kebijakan fiskal. PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Iswinarno, C. (2025). Skandal BBM Pertamina; Konsumen dirugikan, kepercayaan publik runtuh. Suara.com. https://www.suara.com/news/2025/02/27/084500/skandal-bbm-pertamina-konsumen-dirugikan-kepercayaan-publik-runtuh
  • Tris, T. S., & Ariusni. (2024). Pengaruh pendapatan per kapita, jumlah penduduk, dan jumlah kendaraan bermotor terhadap konsumsi bahan bakar minyak Pertalite dan Pertamax di Provinsi Sumatera Barat. MedREP Universitas Negeri Padang. Diambil dari https://medrep.ppj.unp.ac.id/index.php/MedREP/article/view/135/99
  • Yuliani, D., Saryono, S., Apriani, D., Maghfiroh, & Ro, M. (2022). Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap sembilan bahan pokok (sembako) di Kecamatan Tambun Selatan dalam masa pandemi. Jurnal Citizenship Virtues, 2(2), 320-326. Diambil dari https://jurnal.stkipkusumanegara.ac.id/index.php/citizenshipvirtues/article/view/1533/1021

Data Publications

Terms and Conditions
Introductions
  • MAPID is a platform that provides Geographic Information System (GIS) services for managing, visualizing, and analyzing geospatial data.
  • This platform is owned and operated by PT Multi Areal Planing Indonesia, located at
  • mapid-ai-maskot