Misi Pencarian “Rumah Kedua” Untuk Badak Jawa

15/08/2024 • Syahrul Ramadhan

Kesesuaian Habitat Kedua Badak Jawa

WILAYAH BAHAYA ATAU TERANCAM TSUNAMI KABUPATEN GARUT

Misi Pencarian Rumah Untuk Badak Jawa


Badak Jawa
Badak Jawa
Look closely at nature. Every species is a masterpiece, exquisitely adapted to the particular environment in which it has survived. Who are we to destroy or even diminish biodiversity? – EO Wilson

Di ujung barat Pulau Jawa, di tengah lebatnya hutan tropis dan rimbunnya vegetasi yang tak tersentuh, seekor badak jawa melangkah perlahan melewati kubangan lumpur yang sunyi. Suara deburan ombak di kejauhan seakan menjadi irama alami yang menemani setiap langkahnya. Di sana, di tanah terakhir yang disebut rumah, badak jawa berjuang untuk terus hidup di tengah bayang-bayang kepunahan.

Pendahuluan

Siapa di sini yang tidak mengenal badak jawa? Badak bercula satu ini merupakan salah satu dari total dua jenis badak yang ada di Indonesia. Saat ini, Taman Nasional Ujung Kulon merupakan satu-satunya habitat yang tersisa bagi badak jawa. Hanya saja, populasi yang stagnan menandakan batas daya dukung dari TNUK sudah dicapai. Karena alasan tersebut serta upaya preventif menghindarkan populasi badak dari ancaman penyakit dan bencana alam, para ahli salah satunya Yuyun kurniawan Rhino Conservation Specialist WWF merekomendasikan adanya habitat kedua bagi badak jawa.

Tidak seperti Hindia yang dapat pindah berkala rumah ke rumah, perlu dilakukan pencarian lokasi yang tepat dalam menentukan ‘rumah kedua’ bagi badak jawa. Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan salah satu dari lokasi potensial habitat kedua bagi badak jawa yang disarankan oleh para ahli. Publikasi ini mencoba untuk menggunakan data dan teknologi sistem informasi geografis (SIG) untuk menganalisis kesesuaian habitat badak jawa di Cagar Alam Leuweung Sancang dan melakukan analisis terhadap potensi bencana di lokasi tersebut. Analisis dilakukan terhadap atribut habitat yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon meliputi struktur habitat, tipe habitat, dan pengaturan spasial antar komponen habitat.

Kenapa Memilih Cagar Alam Leuweung Sancang?

ROI Cagar Alam Leuweung Sancang

Gambar 1 AOI Cagar Alam Leuweung Sancang

Layaknya seseorang yang sedang mencari hunian baru berdasarkan kriteria yang diinginkan atau yang telah ditentukan. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada kesesuaian dan kesamaan atribut-atribut habitat yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Berdasarkan rekomendasi para ahli, lokasi potensial habitat kedua bagi badak jawa terdiri dari Hutan Baduy, Taman Nasional Halimun – Salak, Cagar Alam Sancang dan Cikepuh (Iqbal, 2017).

Area dari Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Gambar 1. Cagar Alam Leuweung Sancang sendiri adalah cagar alam yang terletak di bagian selatan dari Kabupaten Garut. Memiliki luas 2.313,90 H. Secara administratif, wilayahnya termasuk dalam Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut. Jarak antara cagar alam ini dengan Kota Garut adalah 111 kilometer. Letak Cagar Alam Leuweung Sancang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia.

Pemilihan Cagar Alam Leuweung Sancang dibandingkan lokasi potensial lainnya didasarkan pada alasan - alasan berikut.

  1. 1.
    Belum ada publikasi atau penelitian mengenai kesesuaian habitat badak jawa di Cagar Alam Leuweung Sancang.
  1. 2.
    Telah dilakukan publikasi dan penelitian mengenai kesesuaian habitat di Suaka Margasatwa Cikepuh.
  1. 3.
    Memiliki komponen atribut yang lebih sesuai dibandingkan dengan Taman Nasional Halimun Salak, terutama pada komponen kedekatan jarak dengan garis pantai yang tidak dimiliki Taman Nasional Halimun Salak. Komponen ini penting bagi kelangsungan hidup badak jawa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmat (2012).

Lalu, Apa Saja Data yang Digunakan?

Terdapat 5 data yang digunakan dalam publikasi ini. Data yang digunakan telah disesuaikan terhadap atribut habitat seperti yang ada di Ujung Kulon. Tutupan lahan digunakan untuk mengidentifikasi lahan habitat yang disukai badak jawa. Kemiringan lereng disesuaikan dengan preferensi habitat dan kemampuan jelajah badak jawa. Jalan digunakan untuk mengidentifikasi aktivitas manusia. Garis pantai dan sungai digunakan karena badak jawa menyukai daerah yang tidak terlalu jauh dengan garis pantai dan sungai. Detail sumber dan jenis data dapat dilihat dalam tabel 1 berikut.

Sumber Data

Metode Apa yang Dipakai?

Metode ini mengadopsi pendekatan deskriptif kuantitatif berdasarkan rujukan jurnal dan referensi lainnya untuk menentukan atribut dan bobot kepentingan. Kemudian, data diolah melalui teknik overlay dan skoring. Data dari berbagai sumber digabungkan dan diberi bobot pada setiap karakteristik parameter, yang pada akhirnya menghasilkan data vektor yang baru. Metode overlay yang digunakan adalah vector based analysis. Metode ini digunakan karena data yang ada berbentuk vektor dan juga metode ini lebih bagus digunakan untuk data yang memiliki output diskrit. Setelah semua parameter telah diberikan bobot, kemudian diterapkan metode simple additive weighting (SAW), metode ini akan menjumlahkan seluruh hasil perkalian bobot dengan skor setiap parameter.

Untuk melakukan analisis potensi bencana, digunakan beberapa alat yang tersedia di GEO MAPID, seperti buffer dan distance. Setelah itu, potensi bencana dianalisis menggunakan fitur SINI MAPID. Kemudian validasi dilakukan dengan membandingkan hasil analisis dengan data potensi bencana yang ada di Mapid, serta peta kerawanan tsunami berdasarkan penelitian oleh Yoga & Nugroho (2023). Alur kerja dari publikasi ini dapat dilihat pada diagram alir berikut.

Flowchart

Kriteria Apa Saja yang Dibutuhkan Untuk Mencari Habitat Kedua yang Cocok?

Terdapat 5 kriteria yang digunakan untuk menganalisis kesesuaian habitat badak jawa di Cagar Alam Leuweung Sancang. Kriteria dan pembobotan ini dimodifikasi dan disesuaikan berdasarkan penelitian oleh (Rahmat 2007, 2012, dan Sutarga, 2019). Kriteria ini juga disesuaikan berdasarkan atribut habitat yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon. Kriteria-kriteria tersebut terdiri dari garis pantai, kemiringan lereng, tutupan lahan, jaringan jalan dan jaringan sungai. Untuk pembobotan dan skor masing - masing kriteria serta kelas kesesuaian dapat disimak pada tabel 2 dan 3 di bawah ini.

Skoring Kelas Kesesuaian

Hasil akhir kesesuaian lokasi seperti yang ada di tabel 3 akan dibagi menjadi empat kategori: sangat sesuai, sesuai, kurang sesuai, dan tidak sesuai, dengan klasifikasi seperti pada tabel 3. Nilai dan bobot yang diperoleh akan dijumlahkan menggunakan metode SAW, yaitu dengan menjumlahkan semua hasil perkalian antara skor dan bobot. Rumus atau notasi yang digunakan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

notasi saw

Bagaimana Hasilnya?

Analisis Kesesuaian Habitat Badak Jawa

Hasil

Hasil analisis kesesuaian habitat untuk badak jawa di Cagar Alam Leuweung Sancang menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah cagar alam ini memiliki potensi yang sangat baik untuk mendukung kehidupan badak jawa. Dari total area yang dianalisis, sebanyak 76.64% area masuk dalam kategori "Sangat Sesuai," yang berarti bahwa mayoritas area ini memiliki kondisi lingkungan yang optimal untuk badak jawa. Sebanyak 14.11% wilayah lainnya berada dalam kategori "Sesuai," menunjukkan bahwa meskipun area tersebut mendukung kehidupan badak jawa, ada beberapa faktor yang membuatnya kurang ideal dibandingkan dengan area yang "Sangat Sesuai", seperti variasi dalam ketersediaan pakan atau topografi yang tidak sepenuhnya optimal. Sementara itu, 9.25% dari wilayah ini dikategorikan sebagai "Kurang Sesuai", karena memiliki keterbatasan yang signifikan untuk mendukung habitat badak jawa, seperti kemiringan lereng yang curam dan kedekatan dengan aktivitas manusia.

Parameter

Faktor-faktor seperti jarak dari garis pantai, sungai, jaringan jalan, tutupan lahan, dan kemiringan lereng sangat mendukung kebutuhan habitat badak jawa. Menurut Hoogerwerf (1970), badak jawa cenderung menyukai daerah dataran rendah di sekitar pantai, rawa-rawa mangrove, dan hutan sekunder. Dukungan ini juga diperkuat oleh Rahmat (2007), yang menyatakan bahwa badak jawa lebih memilih habitat dengan jarak 0 - 600 meter dari garis pantai, karena kandungan tanah dan mineralnya yang dibutuhkan oleh spesies ini.

Cagar Alam Leuweung Sancang memenuhi semua kriteria yang disebutkan oleh Hoogerwerf (1970) dan Rahmat (2007). Seperti yang terlihat pada gambar di atas, cagar alam ini menyediakan lingkungan yang sangat mendukung bagi badak jawa. Lokasinya yang dekat dengan sungai dan garis pantai menyediakan sumber air dan mineral yang cukup, sementara tutupan lahannya yang didominasi oleh hutan sekunder memastikan ketersediaan pakan yang melimpah. Selain itu, karena area ini jauh dari akses dan aktivitas manusia, risiko gangguan terhadap habitat badak jawa sangat minim.

Analisis Potensi Bencana

Menurut Yuyun Kurniawan, Rhino Conservation Specialist di World Wide Fund (WWF), tujuan pencarian habitat kedua bagi badak jawa adalah untuk melindungi mereka dari bencana alam seperti letusan Gunung Krakatau, gempa bumi, dan tsunami. Oleh karena itu, dalam mencari habitat kedua, penting untuk memilih lokasi yang memiliki potensi bencana alam lebih rendah dibandingkan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Berikut adalah beberapa analisis terhadap potensi bencana yang ada di Cagar Alam Leuweung Sancang.

Bencana Vulkanis

Cagar Alam Leuweung Sancang berada di wilayah yang dekat dengan beberapa gunung api aktif di Jawa Barat, termasuk Tangkuban Parahu, Guntur, Papandayan, Galunggung, Gede Pangrango, Salak, dan Ciremai. Aktivitas vulkanik dari gunung-gunung ini dapat berpotensi memengaruhi kawasan Leuweung Sancang, terutama melalui hujan abu, aliran lahar, atau bahkan longsoran material vulkanik. Histori letusan dari ketujuh gunung tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.

Gunung Api Aktif

Berdasarkan histori letusan, gunung yang memiliki letusan dengan skala VEI paling tinggi adalah Tangkuban Parahu dengan Skala VEI 4 pada tahun 2019 silam, untuk gunung yang lain berada rata rata berada pada Skala VEI 2. Lalu kita juga harus melihat letak Cagar Alam Leuweung Sancang dengan zona kawasan rawan bencana dan buffer radius dari ketujuh gunung tersebut.

Zona Kawasan Rawan Bencana Buffer Radius

Untuk mengetahui potensi bencana vulkanis, analisis dilakukan terhadap data zona kawasan rawan bencana letusan gunung api seperti gambar 6 dan juga buffer radius 100 - 50 km dari pusat gunung seperti gambar 7. Data zona kawasan rawan bencana letusan gunung api, didapatkan dari GEO MAPID. Hasil analisis menunjukkan bahwa zona rawan bencana umumnya memiliki radius rata-rata hingga 30 km. Berdasarkan zona ini, Cagar Alam Leuweung Sancang tidak termasuk dalam area yang terkena dampak bencana letusan gunung api.

Kemudian untuk melakukan buffer radius 100 - 50 km, digunakan tools yang tersedia pada GEO MAPID. Radius 100 km digunakan dalam analisis ini karena terdapat kemungkinan aliran lahar mencapai area hingga radius 90 km. Berdasarkan analisis, terdapat tiga gunung dengan radius kurang dari 100 km yang berpotensi mengancam, yaitu Gunung Galunggung, Gunung Guntur, dan Gunung Papandayan, yang masing-masing memiliki radius sekitar 60 km. Berdasarkan sejarah letusannya, ketiga gunung tersebut memiliki letusan dengan skala VEI tertinggi, yaitu skala 2. Gunung Guntur dianggap memiliki potensi letusan yang tinggi karena sudah tidak meletus selama ratusan tahun. Namun, kemungkinan letusannya diperkirakan berada pada skala 2 atau 3, dan memiliki kemungkinan kecil untuk melebihi skala tersebut. Jika salah satu dari ketiga gunung tersebut mengalami letusan dengan skala 2 atau 3, Cagar Alam Leuweung Sancang yang berjarak dalam radius 600 km hanya akan terkena dampak berupa jatuhan abu vulkanik tipis yang tidak terlalu mengancam, karena efek lain seperti lahar dan aliran piroklastik dari letusan skala VEI 2 tidak akan mencapai area dengan radius 50 km. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Cagar Alam Leuweung Sancang memiliki potensi bencana vulkanik yang lebih rendah dibandingkan Taman Nasional Ujung Kulon, jika dilihat dari radius, sejarah, dan skala letusan.

Bencana Gempa, Tsunami, dan Longsor

Seperti yang telah diketahui bahwa Taman Nasional Ujung Kulon memiliki risiko bencana yang tinggi karena terletak pada zona subduksi aktif dan juga aktivitas vulkanik dari Gunung Krakatau. Lalu bagaimana potensi bencana - bencana tersebut di Cagar Alam Leuweung Sancang? Tentu karena letaknya yang berada di pesisir dan dekat dengan pergerakan lempeng, Cagar alam ini juga memiliki potensi gempa dan tsunami. Namun, potensi ini lebih rendah karena tidak berada langsung di jalur subduksi utama, tetapi tetap dipengaruhi oleh aktivitas seismik regional. Untuk melihat potensi bencana yang ada, digunakan data potensi tsunami di GEO MAPID dan fitur SINI MAPID.

Potensi Bencana, Tsunami, dan Gempa

Berdasarkan potensi bencana yang ada di Gambar 8 dapat terlihat bahwa arah timur laut dari Cagar Alam Leuweung Sancang memiliki potensi longsor, jika ditinjau lebih lanjut pada gambar 4 area timur laut memang area yang kurang sesuai untuk habitat badak Jawa karena memiliki kemiringan lereng yang tinggi sehingga berpotensi untuk longsor. Lalu untuk potensi Tsunami dapat dilihat bahwa potensi Tsunami di area utama Cagar Alam Leuweung Sancang memiliki radius dampak yang tidak terlalu luas dibandingkan area barat Cagar Alam. Potensi Tsunami ini dapat dibandingkan atau di Uji Validasi dengan Gambar 9 hasil penelitian Yoga Dan Nugroho (2023).

Peta Kerawanan Tsunami

Berdasarkan peta tersebut, dapat terlihat bahwa potensi tsunami di area utama Cagar Alam Leuweung Sancang lebih rendah dibandingkan dengan area di sebelah barat cagar alam tersebut. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya potensi ini adalah tingginya kerapatan vegetasi di area utama. Kerapatan vegetasi yang tinggi, seperti hutan bakau dan vegetasi pantai lainnya, dapat berfungsi sebagai penghalang alami yang efektif. Vegetasi tersebut mampu meredam dan menyebarkan energi gelombang tsunami, mengurangi kecepatan dan kekuatan air yang menuju daratan.

Bencana Gempa

Selain Tsunami, sejarah gempa bumi di kawasan Cagar Alam ini menunjukkan adanya gempa-gempa yang memiliki dampak signifikan, seperti gempa tahun 2006 dan 2009 yang terjadi di selatan Jawa Barat dan berpotensi memicu tsunami. Episentrum gempa-gempa ini biasanya terletak di Samudera Hindia, dengan jarak sekitar 100-150 km dari Leuweung Sancang, sehingga cagar alam ini tetap berada dalam area yang rentan terhadap gempa bumi dan tsunami. Selain itu, potensi gempa juga menimbulkan risiko tanah longsor di wilayah berbukit, yang dapat merusak ekosistem dan habitat di kawasan tersebut.

Jika dibandingkan dengan Taman Nasional Ujung Kulon, Leuweung Sancang memiliki risiko gempa yang relatif serupa karena keduanya berada di kawasan yang sama-sama dipengaruhi oleh aktivitas subduksi lempeng di selatan Jawa. Namun, Taman Nasional Ujung Kulon lebih dekat dengan ujung barat Pulau Jawa, yang membuatnya lebih rentan terhadap gempa bumi kuat yang berasal dari zona subduksi Selat Sunda, seperti yang terjadi pada gempa besar di Selat Sunda tahun 2018. Gempa ini juga memicu tsunami yang menghantam pantai di sekitar Ujung Kulon. Oleh karena itu, meskipun Leuweung Sancang memiliki potensi gempa dan tsunami, Taman Nasional Ujung Kulon bisa dianggap lebih berisiko karena kedekatannya dengan Selat Sunda yang merupakan jalur seismik aktif dan episentrum dari gempa-gempa besar. Namun karena Leuweung Sancang memiliki risiko bencana vulkanis yang lebih rendah, maka potensi bencana tsunami dan gempa yang disebabkan oleh letusan subakuatik, longsoran material, dan aktivitas seismik gunung api dapat dihindari atau berpotensi rendah terjadi.

TL;DR Kesimpulan dan sarannya?

Kesimpulan

Berdasarkan analisis kesesuaian habitat untuk badak jawa di Cagar Alam Leuweung Sancang, hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah cagar alam ini memiliki potensi yang sangat baik untuk mendukung kehidupan badak jawa. Dari total area yang dianalisis, sebanyak 76.64% area masuk dalam kategori "Sangat Sesuai," yang berarti bahwa mayoritas area ini memiliki kondisi lingkungan yang optimal untuk badak jawa. Cagar alam ini menyediakan lingkungan yang sangat mendukung bagi badak jawa. Lokasinya yang dekat dengan sungai dan garis pantai menyediakan sumber air dan mineral yang cukup, sementara tutupan lahannya yang didominasi oleh hutan sekunder memastikan ketersediaan pakan yang melimpah. Selain itu, karena area ini jauh dari akses dan aktivitas manusia, risiko gangguan terhadap habitat badak jawa sangat minim.

Dari segi risiko bencana, analisis menunjukkan bahwa Leuweung Sancang memiliki potensi bencana vulkanis, tsunami, gempa bumi, dan tanah longsor yang relatif rendah. Meskipun kawasan ini tetap rentan terhadap gempa bumi dan tsunami karena kedekatannya dengan zona subduksi di selatan Jawa, keberadaan vegetasi yang padat berfungsi sebagai penghalang alami yang mengurangi dampak tsunami. Risiko bencana vulkanis juga lebih rendah dibandingkan dengan Taman Nasional Ujung Kulon, sehingga potensi bencana yang disebabkan oleh letusan sub akuatik atau aktivitas seismik gunung api lebih kecil. Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, Leuweung Sancang merupakan lokasi yang relatif aman dan sangat sesuai untuk konservasi badak.

Saran

Untuk meningkatkan akurasi dari hasil yang didapatkan, disarankan untuk melakukan uji validitas lapangan guna memastikan kesesuaian hasil analisis dengan kondisi nyata di Cagar Alam Leuweung Sancang. Selain itu, lakukan uji korelasi antar parameter untuk memahami hubungan antara berbagai faktor yang mempengaruhi kesesuaian habitat.

Daftar Rujukan

Hoogerwerf, A. (1970). Udjung Kulon land of the last Javan Rhinoceros.

Iqbal, D. (2017). Habitat Kedua Untuk Badak Jawa, Kapan Diwujudkan? Mongabay.Co.Id. https://www.mongabay.co.id/2017/09/29/habitat-kedua-untuk-badak-jawa-kapan-diwujudkan/

Rahmat, U. M. (2007). Genetika Populasi Dan Strategi Konservasi Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus Desmarest 1822)(Population Genetics Of Javan Rhino (Rhinoceros Sondaicus Desmarest 1822) And It’s Conservation Strategy).

Rahmat, U. M., Santosa, Y., Prasetyo, L. B., & Kartono, A. P. (2012). Habitat Suitability Modeling of Javan Rhino (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) in Ujung Kulon National Park. Jurnal Manajemen Hutan Tropika (Journal of Tropical Forest Management), 18(2), 129–137. https://doi.org/10.7226/jtfm.18.2.129

Sutarga, I. K. (2019). PEMODELAN KONEKTIVITAS HABITAT BADAK JAWA (Rhinoceros sondoicus Desmarest, 1822) MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Studi Kasus di Taman Nasional Ujung Kulon – Banten. Seminar Nasional Geomatika, 3, 483. https://doi.org/10.24895/sng.2018.3-0.989

Yoga, T. R., & Nugroho, H. (2023). Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis Untuk Analisis Tingkat Risiko Bencana Tsunami di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut. Prosiding FTSP Series, 1293–1298.

Data Publications