Pendahuluan
Aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas kesehatan merupakan faktor penting dalam mewujudkan pemerataan layanan kesehatan di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Fasilitas kesehatan seperti puskesmas memiliki peran vital dalam memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Namun, tidak semua penduduk dapat dengan mudah menjangkau fasilitas tersebut karena keterbatasan jarak, waktu tempuh, maupun sarana transportasi. Pentingnya akses yang berkeadilan terletak pada upaya memastikan bahwa setiap kelompok masyarakat, tanpa memandang lokasi geografis maupun kondisi sosial-ekonomi, memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh layanan kesehatan. Ketidakmerataan akses dapat menimbulkan kesenjangan dalam derajat kesehatan masyarakat, sehingga pemetaan aksesibilitas menjadi dasar strategis bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan distribusi fasilitas kesehatan yang lebih inklusif.
Analisis spasial berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) memungkinkan pemetaan area pelayanan fasilitas kesehatan secara lebih akurat. Salah satu pendekatan yang umum digunakan adalah analisis isokron, yaitu zona jangkauan berdasarkan waktu tempuh tertentu. Dengan metode ini, dapat dihitung berapa besar cakupan wilayah dan jumlah penduduk yang terlayani oleh suatu fasilitas kesehatan. Keunggulan analisis isokron terletak pada kemampuannya merepresentasikan kondisi aksesibilitas yang lebih realistis dibanding sekadar jarak lurus, karena mempertimbangkan jaringan jalan dan moda transportasi. Pendekatan ini sangat sesuai digunakan dalam studi kasus layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi, di mana faktor waktu tempuh menjadi penentu utama keterjangkauan masyarakat terhadap fasilitas.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis cakupan pelayanan puskesmas di Kota Serang, Provinsi Banten, serta menghitung jumlah penduduk yang dapat dilayani berdasarkan distribusi spasial fasilitas dan jaringan jalan. Puskesmas dipilih sebagai fokus penelitian karena berfungsi sebagai ujung tombak pemerataan kesehatan, menyediakan layanan dasar yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok rentan dan wilayah dengan keterbatasan akses. Keberadaan puskesmas tidak hanya menyentuh aspek kuratif, tetapi juga memastikan layanan promotif dan preventif dapat dirasakan secara merata, sehingga kualitas kesehatan masyarakat tidak terpusat hanya di area tertentu. Dengan demikian, distribusi dan keterjangkauan puskesmas menjadi indikator krusial dalam menilai keadilan akses layanan kesehatan. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pemerataan akses layanan kesehatan serta mendukung pengambilan kebijakan pembangunan fasilitas kesehatan yang lebih berkeadilan.
Metode Penelitian
2.1 Lokasi Penelitian
Kota Serang sebagai ibu kota Provinsi Banten memiliki karakteristik wilayah perkotaan dengan luas wilayah sekitar 266,71 km². Berdasarkan data proyeksi penduduk tahun 2023 sebanyak 735.450 jiwa, tingkat kepadatan penduduknya mencapai sekitar 2.757 jiwa/km², yang terus meningkat akibat urbanisasi serta perannya sebagai pusat administrasi dan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan penduduk yang pesat ini menimbulkan kebutuhan layanan kesehatan yang semakin tinggi, sementara ketersediaan puskesmas dan distribusinya yang belum merata masih menghadapi keterbatasan. Selain itu, kondisi jaringan jalan yang bervariasi, yang terdiri dari jalan negara dan provinsi serta jalan yang dikelola kota, memengaruhi perbedaan waktu tempuh masyarakat dalam menjangkau fasilitas kesehatan. Karakteristik tersebut menjadikan Kota Serang relevan untuk dianalisis menggunakan pendekatan isokron berbasis jaringan jalan, sehingga dapat diidentifikasi sejauh mana pemerataan akses layanan puskesmas telah terwujud di tiap kelurahan.
2.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang tepat untuk analisis ini adalah kuantitatif dengan metode analisis geospasial untuk mengevaluasi tingkat aksesibilitas dan pemerataan layanan puskesmas di Kota Serang. Metode inti yang digunakan adalah analisis isokron, yang dijalankan menggunakan tools pada platform geospasial GEOMAPID, untuk memodelkan area jangkauan layanan dari setiap titik puskesmas berdasarkan estimasi waktu tempuh (misalnya 5, 10, dan 15 menit). Hasil pemodelan berupa peta area jangkauan tersebut kemudian ditumpangsusunkan (di-overlay) dengan data sebaran penduduk untuk menganalisis proporsi populasi yang terlayani di setiap kelurahan. Melalui analisis ini, dapat diidentifikasi secara objektif wilayah-wilayah yang mengalami kesenjangan layanan (service gaps), sehingga hasilnya dapat menjadi dasar ilmiah untuk rekomendasi perencanaan dan kebijakan kesehatan publik.
2.3 Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini sepenuhnya bersumber dari dataset spasial yang tersedia dalam platform GEO MAPID. Dataset ini mencakup tiga komponen utama yang relevan untuk analisis: (1) sebaran spasial lokasi puskesmas dalam format titik, (2) batas administrasi Kota Serang dalam format poligon, dan (3) data demografi berupa atribut jumlah penduduk per kelurahan yang telah terikat pada setiap poligon administrasi. Selain ketiga data utama tersebut, proses analisis isokron juga secara otomatis memanfaatkan data jaringan jalan internal yang menjadi dasar kalkulasi waktu tempuh oleh platform. Penggunaan paket data yang terintegrasi dari satu sumber ini memastikan adanya konsistensi spasial dan atribut antar-lapisan data, sehingga analisis aksesibilitas dapat dilakukan secara efisien.

Dalam penelitian ini, akan memperhitungkan wilayah yang dapat mengakses puskesmas dalam waktu 15 menit baik secara jalan kaki ataupun menggunakan kendaraan bermotor. Ini sesuai dengan konsep 15-minute city dan standar 15 menit adalah alat ukur praktis untuk menilai apakah visi besar WHO dan Kemenkes tentang aksesibilitas yang mudah dan merata sudah tercapai di lapangan.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Gambaran Umum Jangkauan Layanan Isokron Puskesmas
Tahapan awal dalam menyajikan hasil adalah memvisualisasikan jangkauan geografis murni dari puskesmas di Kota Serang untuk memahami potensi aksesibilitas dari dua skenario moda transportasi yang berbeda: kendaraan bermotor dan jalan kaki. Untuk tujuan ini, digunakan metode analisis isokron pada platform GEOMAPID yang memodelkan area jangkauan dalam batas waktu tempuh 15 menit untuk masing-masing moda. Pemodelan ini menghasilkan peta-peta dasar yang berfungsi mengidentifikasi sebaran, potensi tumpang tindih, dan kesenjangan geografis layanan sebelum dianalisis lebih lanjut dengan faktor demografi.

Untuk skenario pertama dapat dilihat pada gambar di atas, analisis moda kendaraan bermotor menunjukkan tingkat cakupan geografis internal yang sangat komprehensif, di mana area layanannya (krem) hampir sepenuhnya menutupi seluruh wilayah yurisdiksi kota (jingga gelap). Temuan yang lebih menonjol dari skenario ini adalah adanya efek limpahan layanan (service spillover) yang signifikan, dengan jangkauan isokron yang meluas jauh melampaui batas administrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa jangkauan puskesmas efektif untuk melayani internal kota sekaligus menegaskan peran Kota Serang sebagai hub layanan kesehatan regional.

Berbeda dengan skenario moda jalan kaki, hasil analisis menunjukkan bahwa jangkauan layanan puskesmas sangat terbatas dan terfragmentasi. Setiap puskesmas hanya membentuk service island” kecil yang terisolasi, sehingga sebagian besar wilayah Kota Serang tidak terlayani dengan baik bagi pejalan kaki. Perbedaan mencolok ini menegaskan adanya kesenjangan aksesibilitas yang sangat besar antar moda transportasi, sekaligus memperlihatkan bahwa penduduk tanpa kendaraan pribadi menghadapi keterbatasan layanan yang serius dan tidak merata.
3.2 Analisis Proporsi Wilayah Terlayani di Tingkat Kelurahan
Analisis proporsi wilayah terlayani di tingkat kelurahan dilakukan dengan menginterseksikan area jangkauan layanan puskesmas dengan batas administrasi kelurahan. Dari proses ini diperoleh persentase luas wilayah tiap kelurahan yang termasuk dalam cakupan layanan. Hasilnya divisualisasikan melalui peta koroplet yang memperlihatkan variasi persentase cakupan antar kelurahan, serta tabel ringkasan yang mengurutkan kelurahan dari cakupan terendah hingga tertinggi. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi wilayah yang memiliki akses luas terhadap layanan kesehatan maupun yang masih menghadapi keterbatasan.

Langkah analisis selanjutnya adalah menginterseksikan area jangkauan isokron 15 menit kendaraan bermotor dengan batas administrasi kelurahan untuk mengetahui tingkat layanan di setiap wilayah. Hasilnya divisualisasikan dalam peta koroplet di atas yang mengklasifikasikan kelurahan menjadi empat kategori berdasarkan proporsi cakupan layanan: terlayani dengan sangat baik (hijau tua), terlayani dengan baik (hijau), terlayani sebagian (krem), dan kurang terlayani (merah). Secara spasial terlihat pola inti–pinggiran (core–periphery) yang cukup jelas. Inti layanan terbentuk di bagian tengah Kota Serang, di mana mayoritas kelurahan termasuk kategori terlayani dengan sangat baik dan baik akibat konsentrasi puskesmas yang tinggi dan tumpang tindih area jangkauan antar fasilitas. Sebaliknya, kelurahan di kategori kurang terlayani banyak ditemukan di bagian terluar kota, khususnya di pesisir utara serta kantong-kantong wilayah barat, selatan, dan timur yang relatif jauh dari pusat layanan kesehatan. Sementara itu, kelurahan dengan cakupan sebagian besar berperan sebagai zona transisi antara pusat yang padat layanan dan pinggiran yang aksesnya terbatas. Pola ini menegaskan bahwa meskipun jangkauan kendaraan bermotor secara total sudah luas, distribusinya belum merata, dan kelurahan di perbatasan kota masih menghadapi tantangan aksesibilitas yang cukup besar.

Berbeda dengan moda kendaraan bermotor, analisis tingkat layanan untuk moda jalan kaki 15 menit menunjukkan kesenjangan yang jauh lebih ekstrem dan merata di seluruh wilayah kota. Peta pada gambar di atas didominasi oleh warna merah, menandakan bahwa mayoritas kelurahan di Kota Serang masuk kategori kurang terlayani. Tidak hanya di pinggiran, tetapi bahkan kelurahan di pusat kota pun sebagian besar jatuh ke kategori ini karena jangkauan layanan jalan kaki tidak mampu mencakup satu kelurahan secara penuh. Area yang masuk kategori terlayani dengan baik maupun sebagian hanya muncul sebagai kantong-kantong kecil dan terisolasi di sekitar pusat kota; kelurahan berwarna hijau tua dan hijau umumnya merupakan lokasi fisik puskesmas, sedangkan kelurahan krem adalah tetangganya yang mendapat limpahan layanan terbatas. Pola ini berbeda tajam dengan moda kendaraan bermotor: jika kendaraan menciptakan pola inti–pinggiran, maka jalan kaki menghasilkan pola titik-titik layanan kecil di tengah lautan wilayah yang tidak terlayani. Temuan ini menegaskan bahwa bagi penduduk yang bergantung pada jalan kaki, keterbatasan akses bukan hanya soal jarak dari pusat kota, melainkan jarak menuju puskesmas terdekat yang pada banyak kasus masih terlalu jauh untuk dicapai dengan berjalan kaki.
3.3 Estimasi Populasi Terlayani dan Identifikasi Kesenjangan
Setelah mengetahui proporsi wilayah yang tercakup dalam jangkauan layanan, langkah berikutnya adalah mengaitkannya dengan distribusi penduduk untuk memperkirakan jumlah populasi yang benar-benar terlayani. Analisis ini mengubah hasil spasial menjadi gambaran dampak nyata bagi masyarakat, sekaligus membuka peluang untuk mengidentifikasi kesenjangan akses antar wilayah. Perlu dicatat bahwa perhitungan populasi terlayani merupakan sebuah estimasi yang didasarkan pada asumsi distribusi penduduk yang seragam. Asumsi ini dapat menyebabkan potensi sottostimasi pada kelurahan dengan penggunaan lahan yang heterogen dan sebaran penduduk yang tidak merata.

Analisis menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kota Serang yakni 70% (534.847 jiwa) dapat dijangkau dalam 15 menit menggunakan kendaraan bermotor, menandakan penempatan puskesmas saat ini relatif efektif bagi mereka yang memiliki akses kendaraan. Namun, sekitar 30% penduduk (225.082 jiwa) masih berada di luar jangkauan, terutama di kelurahan pinggiran, menunjukkan adanya kantong-kantong yang kurang terlayani. Kontrasnya, bagi mereka yang bergantung pada jalan kaki, akses jauh lebih terbatas: hanya 20% penduduk (148.298 jiwa) yang terlayani, sementara 80% (611.631 jiwa) berada di luar jangkauan 15 menit berjalan kaki. Kerentanan ini paling dirasakan oleh kelompok lansia, anak-anak, dan warga berpenghasilan rendah, yang hampir seluruhnya tinggal di wilayah yang sulit dijangkau. Perbedaan mencolok antara kedua moda menegaskan bahwa sistem layanan kesehatan primer di Kota Serang saat ini sangat bergantung pada kendaraan pribadi dan belum dirancang untuk melayani seluruh lapisan masyarakat secara merata.
Hasil analisis menunjukkan adanya ketimpangan akses antar kelurahan pada kedua moda transportasi. Pada moda jalan kaki, Kelurahan Unyur menjadi anomali karena meski tingkat layanannya hanya sedang, jumlah penduduknya sangat tinggi sehingga menimbulkan beban akses signifikan. Sebaliknya, mayoritas kelurahan berpopulasi rendah berada pada kategori layanan rendah, sementara beberapa lainnya justru menikmati layanan sangat tinggi karena menjadi lokasi fisik puskesmas, yang mengindikasikan distribusi fasilitas lebih mempertimbangkan lokasi administratif ketimbang sebaran penduduk. Pada moda kendaraan bermotor, kelurahan berpopulasi rendah umumnya juga memiliki layanan rendah, tetapi cukup banyak yang justru terlayani sangat baik meskipun jumlah penduduknya sedikit. Pola ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara kapasitas layanan dengan kebutuhan riil populasi, di mana wilayah padat tidak selalu memperoleh manfaat layanan yang sepadan.
3.4 Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Penelitian ini mengungkap kesenjangan aksesibilitas layanan kesehatan di Kota Serang yang sangat dipengaruhi moda transportasi, di mana 80% penduduk tidak terjangkau dengan berjalan kaki dan berpotensi menjadi kelompok rentan dalam mencari layanan primer. Kondisi ini menunjukkan bahwa infrastruktur kesehatan lebih berpihak pada pemilik kendaraan pribadi dan wilayah pusat kota, sementara pinggiran serta komunitas pejalan kaki masih terabaikan. Meski estimasi populasi terlayani didasarkan pada asumsi distribusi penduduk yang seragam dan dipengaruhi keberadaan area non-residensial, analisis ini tetap memberikan gambaran spasial yang kuat untuk memetakan masalah di tingkat kota. Hasilnya relevan sebagai dasar advokasi dan perencanaan awal, tetapi sebelum menentukan lokasi fasilitas baru, temuan ini perlu divalidasi lebih detail melalui analisis mikro atau survei lapangan agar intervensi tepat sasaran.
Untuk menindaklanjuti implikasi yang teridentifikasi, diperlukan perumusan kebijakan strategis yang tidak hanya merespons kesenjangan akses kesehatan, tetapi juga mampu menawarkan solusi praktis dan berkelanjutan sesuai dengan konteks Kota Serang:
-
1.Pembangunan Faskes Skala Lingkungan Mendirikan unit kesehatan kecil (Pustu/Poskesdes) di kelurahan berpenduduk padat namun kurang terlayani, untuk memperpendek jarak akses terutama bagi kelompok rentan.
-
2.Optimalisasi Jaringan dan Mobilitas Kesehatan Menguatkan program Puskesmas Keliling dengan rute terencana dan menjadikan puskesmas di wilayah berpopulasi rendah sebagai hub bagi kelurahan sekitar, guna memaksimalkan pemanfaatan fasilitas yang ada.
-
3.Integrasi Transportasi Publik untuk Akses Kesehatan Berkolaborasi dengan Dinas Perhubungan untuk menghadirkan rute transportasi publik mikro dari permukiman padat ke puskesmas terdekat, sehingga menjembatani kesenjangan akses bagi warga tanpa kendaraan pribadi.
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan adanya kesenjangan akses layanan puskesmas yang cukup serius di Kota Serang, terutama dipengaruhi oleh moda transportasi. Sebagian besar penduduk (70%) relatif mudah menjangkau layanan dengan kendaraan bermotor, membentuk pola core-periphery yang cukup kuat di pusat kota namun melemah di kawasan perbatasan. Sebaliknya, hanya sekitar 20% populasi yang dapat mengakses layanan dengan berjalan kaki, sehingga terbentuk service island yang meninggalkan sebagian besar masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam kondisi terbatas. Ketimpangan ini bukan hanya mencerminkan masalah pemerataan pembangunan, tetapi juga berpotensi meningkatkan risiko kesehatan publik. Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan strategi intervensi terpadu yang mencakup pembangunan fasilitas skala lingkungan di wilayah prioritas, optimalisasi jaringan layanan melalui puskesmas keliling dan puskesmas hub, serta integrasi dengan transportasi publik agar akses kesehatan lebih merata dan berkeadilan.
Daftar Pustaka
Faiz, A. (2022). Data Openstreetmap Untuk Memetakan Aksesibilitas Spasial Dan Jangkauan Pelayanan Dasar Pendidikan Dan Kesehatan Di Kota Semarang. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah, 20(1), 79-96.
Irfan, I., Dasrizal, D., & Zuriyani, E. Spatial Analysis of the Impact of Population Density on Health Facilities in Nanggalo District Padang City. JPG (Jurnal Pendidikan Geografi), 11(2).
Rizky, N. A., Novianti, T. C., & Rahmadi, E. (2025). Analisis Spasial Keterjangkauan Layanan Fasilitas Kesehatan Dengan Pemodelan Network Analysis (Studi Kasus: Layanan Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Kalianda, Kecamatan Penengahan, dan Kecamatan Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan). Journal Of Plano Studies, 2(1), 29-40.
Salsabilah, I., Arie, F. C., Pusporini, N., & Afrianto, F. (2023). Pemodelan Network Analysis terhadap Keterjangkauan Fasilitas Puskesmas Kota Malang. Jurnal Solma, 12(2), 522-535.