A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Semarang merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi pariwisata yang cukup besar, terutama di kawasan pengembangan pariwisata seperti KPPK 2 yang meliputi Kecamatan Bandungan, Sumowono, Bawen, Jambu, Ambarawa, dan Banyubiru (Anindhito et al., 2022). Kawasan ini memiliki beragam objek wisata, mulai dari wisata alam, buatan, hingga budaya yang menjadi daya tarik utama bagi wisatawan. Namun, wilayah ini juga memiliki tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi, khususnya bencana tanah longsor dan banjir yang sering terjadi dan berpotensi mengancam keselamatan pengunjung serta keberlangsungan sektor pariwisata.
Bencana seperti tanah longsor dan banjir tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik, tetapi juga dapat mengganggu aktivitas pariwisata, menurunkan kepercayaan wisatawan, dan berdampak pada pendapatan asli daerah. Oleh karena itu, integrasi antara data pariwisata berbasis 4A dengan data kebencanaan sangat penting untuk mengembangkan strategi pengelolaan pariwisata yang tangguh dan aman terhadap bencana (Cooper et al., 2008; Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, 2022). Pendekatan berbasis spasial memungkinkan identifikasi kawasan rawan bencana sekaligus pemetaan akses dan fasilitas pendukung pariwisata yang dapat digunakan dalam perencanaan mitigasi dan evakuasi.
Pengelolaan pariwisata yang tidak memperhatikan aspek kebencanaan dapat memperbesar risiko kerusakan lingkungan dan menurunkan daya tarik destinasi wisata dalam jangka panjang. Integrasi data spasial dalam pengelolaan pariwisata dan risiko bencana merupakan pendekatan yang semakin relevan (Jenkins & Smith, 2020; Setiawan & Wibowo, 2018). Analisis spasial, melalui pemanfaatan Geographic Information System (GIS), memungkinkan pemetaan distribusi objek wisata berbasis 4A (Attraction, Accessibility, Amenities, Ancillary) dan identifikasi area yang rentan terhadap bencana banjir dan tanah longsor (Cooper et al., 2008; Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, 2022). Dengan demikian, informasi spasial yang dihasilkan dapat menjadi dasar pengambilan keputusan bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan dalam merencanakan tata ruang, zonasi, serta mitigasi risiko pada kawasan wisata.
Penelitian ini, dengan judul "TRAVELIN: Integrasi Pariwisata dan Kebencanaan Berbasis Spasial di Kabupaten Semarang", bertujuan untuk menggabungkan data pariwisata berbasis 4A dengan data spasial risiko bencana banjir dan tanah longsor. Melalui analisis spasial, penelitian ini diharapkan mampu memberikan rekomendasi strategis bagi pengembangan pariwisata yang berkelanjutan, aman, dan adaptif terhadap ancaman bencana di Kabupaten Semarang, sehingga pariwisata dapat tetap menjadi motor penggerak ekonomi tanpa mengorbankan keselamatan dan kelestarian lingkungan.
Tujuan
Penelitian ini memiliki tujuan:
-
1.Menganalisis sebaran atraksi, amenitas, aksesibilitas, dan fasilitas pendukung (ancillary) pariwisata di Kabupaten Semarang sebagai dasar pengembangan destinasi wisata yang inklusif dan berkelanjutan.
-
2.Mengidentifikasi wilayah dengan potensi wisata tinggi dan risiko bencana (khususnya tanah longsor), serta merumuskan strategi mitigasi untuk mengurangi kerentanan wisatawan dan pelaku industri pariwisata.
-
3.Memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah daerah, pelaku wisata, dan BPBD agar pengembangan pariwisata memperhatikan aspek keselamatan, keberlanjutan, serta integrasi dengan sistem mitigasi kebencanaan.
Manfaat
Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
-
1.Meningkatkan efektivitas pengelolaan pariwisata dengan pemetaan potensi dan risiko secara spasial, sehingga pengembangan wisata dapat diarahkan ke zona yang tepat.
-
2.Mendorong pengembangan pariwisata yang aman dan berkelanjutan, dengan memperhatikan faktor risiko bencana dan kesiapsiagaan di destinasi wisata.
-
3.Memberikan dasar pengambilan keputusan bagi pemerintah dan stakeholder dalam menyusun regulasi, zonasi, serta rencana kontinjensi pariwisata berbasis risiko bencana.
-
4.Meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat dan wisatawan terhadap potensi bencana, melalui edukasi, pelatihan, dan penyediaan fasilitas mitigasi di kawasan wisata.
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode campuran (mixed method) yang menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk memperoleh hasil yang komprehensif. Secara spesifik, penelitian ini menggunakan:
-
1.Analisis Isochrone: digunakan untuk memetakan wilayah yang dapat dicapai dalam waktu tertentu dari suatu titik, berdasarkan moda transportasi, ketersediaan jalan, dan pusat kegiatan perkotaan.
-
2.Analisis Overlay: Menggabungkan dua atau lebih lapisan data spasial (misalnya peta pariwisata dan peta risiko banjir/longsor) untuk mengidentifikasi area tumpang tindih yang berpotensi berisiko tinggi atau cocok untuk pengembangan wisata (Longley et al., 2015).
-
3.Kernel Density Estimation (KDE): Metode statistik spasial yang digunakan untuk memetakan kepadatan titik-titik objek wisata atau kejadian bencana dalam suatu area. KDE membantu mengidentifikasi hotspot atau konsentrasi tinggi objek wisata dan area rawan bencana secara visual dan kuantitatif, sehingga memudahkan dalam pengambilan keputusan zonasi dan mitigasi (Setiawan & Wibowo, 2018).
B. PROFIL WILAYAH
Kabupaten Semarang merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Wilayah ini memiliki karakteristik geografis, sosial, dan ekonomi yang beragam, serta potensi pariwisata yang cukup besar (Badan Pusat Statistik Kabupaten Semarang, 2023).

Letak Geografis
Kabupaten Semarang berbatasan langsung dengan Kota Semarang di utara, Kabupaten Kendal di barat, Kabupaten Demak di timur, serta Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang di selatan. Wilayahnya meliputi dataran rendah di bagian utara dan pegunungan di bagian selatan, termasuk kawasan Gunung Ungaran yang menjadi salah satu destinasi wisata alam utama.
Topografi dan Iklim
Topografi wilayah Kabupaten Semarang bervariasi dari dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian antara 0 hingga lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Wilayah pegunungan ini rawan terhadap bencana alam seperti tanah longsor dan banjir, terutama saat musim hujan. Iklim di Kabupaten Semarang termasuk tropis dengan dua musim utama, yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Penduduk dan Sosial Ekonomi
Kabupaten Semarang memiliki populasi yang cukup padat dengan mata pencaharian utama di bidang pertanian, perdagangan, dan jasa pariwisata (Badan Pusat Statistik Kabupaten Semarang, 2023). Masyarakatnya terdiri dari berbagai kelompok etnis Jawa dengan budaya yang kaya dan beragam tradisi lokal yang menjadi daya tarik wisata budaya.
Potensi Pariwisata
Kabupaten Semarang memiliki berbagai objek wisata, mulai dari wisata alam seperti air terjun, pegunungan, dan taman nasional, hingga wisata budaya dan sejarah. Kawasan Pengembangan Pariwisata Kabupaten (KPPK) 2 yang meliputi Kecamatan Bandungan, Sumowono, Bawen, Jambu, Ambarawa, dan Banyubiru menjadi fokus utama pengembangan pariwisata dengan berbagai fasilitas pendukung.
Risiko Bencana
Wilayah ini memiliki tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi, khususnya terhadap banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa beberapa objek wisata berada di daerah rawan longsor, sehingga memerlukan perhatian khusus dalam pengelolaan dan mitigasi risiko bencana untuk menjamin keselamatan wisatawan dan masyarakat (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2021).
C. PEMBAHASAN
Pariwisata
Atraksi
Atraksi pariwisata adalah segala sesuatu yang dapat menarik minat wisatawan untuk datang mengunjungi suatu daerah (Cooper et al., 2008; UNWTO, 2019). Atraksi ini bisa berupa objek alam seperti pegunungan, air terjun, dan pantai; warisan budaya seperti candi, museum, dan tradisi lokal; maupun atraksi buatan seperti taman rekreasi, wahana permainan, dan pusat perbelanjaan. Atraksi merupakan komponen utama dalam industri pariwisata karena menjadi alasan utama wisatawan memilih destinasi tertentu. Daya tarik ini harus didukung oleh aksesibilitas, fasilitas, dan promosi yang memadai agar mampu menciptakan pengalaman yang berkesan dan mendorong kunjungan ulang.

Berdasarkan peta sebaran atraksi wisata di Kabupaten Semarang, terlihat bahwa konsentrasi objek wisata tertinggi berada di wilayah tengah dan barat laut, khususnya di Kecamatan Bandungan, Bawen, Ambarawa, dan Ungaran. Wilayah-wilayah ini mendominasi dengan berbagai jenis atraksi wisata, mulai dari wisata alam seperti air terjun, perbukitan, dan hutan pinus, hingga wisata sejarah dan budaya seperti museum dan situs peninggalan sejarah. Di sisi lain, wilayah selatan seperti Getasan juga menunjukkan potensi kuat dalam wisata alam dan agrowisata, meskipun penyebarannya tidak sepadat kawasan tengah. Sementara itu, wilayah timur dan tenggara seperti Susukan dan Kaliwungu terlihat memiliki jumlah atraksi yang lebih sedikit, yang menunjukkan perlunya pengembangan lebih lanjut di daerah-daerah tersebut.
Pola sebaran ini memberikan gambaran penting untuk strategi pengembangan pariwisata di Kabupaten Semarang. Wilayah dengan konsentrasi tinggi dapat difokuskan sebagai zona inti pengembangan pariwisata yang membutuhkan penguatan infrastruktur dan pengelolaan berkelanjutan agar tidak terjadi degradasi lingkungan (Hall & Page, 2014). Sementara wilayah dengan atraksi yang masih terbatas bisa diarahkan sebagai zona pengembangan baru melalui pemanfaatan potensi lokal, promosi digital, serta peningkatan aksesibilitas. Dengan pendekatan zonasi ini, Kabupaten Semarang memiliki peluang untuk mengembangkan pariwisata yang merata, berkelanjutan, dan mampu meningkatkan perekonomian lokal secara lebih inklusif.
Amenitas
Amenitas pariwisata merupakan segala bentuk fasilitas penunjang yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan selama berada di destinasi wisata. Fasilitas ini meliputi akomodasi (seperti hotel, homestay, dan villa), restoran, tempat ibadah, toilet umum, pusat informasi, area parkir, hingga toko suvenir. Keberadaan amenitas sangat penting karena menentukan kenyamanan, lama tinggal, dan kepuasan wisatawan. Tanpa amenitas yang memadai, destinasi wisata yang menarik sekalipun dapat kehilangan daya tariknya karena tidak mampu memberikan pengalaman yang menyenangkan dan layak bagi pengunjung (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, 2022).

Berdasarkan peta persebaran amenitas pariwisata di Kabupaten Semarang, terlihat bahwa fasilitas pariwisata paling terkonsentrasi berada di wilayah Bandungan, Ambarawa, dan Getasan. Bandungan menjadi pusat utama dengan banyak titik amenitas, mencerminkan peran strategisnya sebagai kawasan wisata unggulan yang menawarkan atraksi alam dan budaya seperti Candi Gedong Songo dan wisata pegunungan. Ambarawa juga menunjukkan kepadatan amenitas, terutama di sekitar Museum Kereta Api dan Rawa Pening, yang menjadi daya tarik sejarah dan wisata air. Getasan dan sekitarnya, terutama di jalur menuju Kopeng dan Gunung Merbabu, juga menunjukkan konsentrasi sedang hingga tinggi, mengindikasikan fungsinya sebagai akses utama menuju wisata alam dan pendakian.
Sebaliknya, wilayah timur dan tenggara Kabupaten Semarang, seperti Kecamatan Susukan, Suruh, dan Banyubiru bagian timur, tampak memiliki sebaran amenitas yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan masih terbatasnya pengembangan fasilitas wisata di daerah tersebut, meskipun beberapa memiliki potensi lanskap dan aksesibilitas yang baik. Secara umum, persebaran amenitas mengikuti jalur transportasi utama dan pusat permukiman, menandakan pentingnya akses dalam pengembangan pariwisata. Oleh karena itu, wilayah dengan infrastruktur dasar yang memadai namun minim amenitas dapat menjadi sasaran pengembangan wisata berbasis desa atau ekowisata untuk mendukung pemerataan sektor pariwisata di Kabupaten Semarang.
Aksesibilitas
Aksesibilitas dalam konteks pariwisata merujuk pada sejauh mana suatu destinasi wisata dapat dijangkau dengan mudah dan nyaman oleh wisatawan, baik dari segi jarak, waktu tempuh, maupun kemudahan penggunaan moda transportasi. Faktor-faktor yang memengaruhi aksesibilitas meliputi kualitas dan klasifikasi jaringan jalan, ketersediaan transportasi umum, kondisi infrastruktur pendukung seperti parkir dan rambu petunjuk, serta kondisi lingkungan sekitar yang dapat memengaruhi perjalanan, seperti cuaca dan topografi. Dengan aksesibilitas yang baik, destinasi wisata akan lebih menarik bagi pengunjung karena perjalanan menjadi lebih efisien dan menyenangkan, sehingga dapat meningkatkan potensi pengembangan pariwisata di suatu wilayah.

Analisis aksesibilitas pariwisata di Kabupaten Semarang menunjukkan variasi yang signifikan berdasarkan klasifikasi jaringan jalan. Zona Barat dan Tengah seperti Ambarawa, Bandungan, dan Ungaran memiliki aksesibilitas sangat tinggi karena didukung oleh jalan tol, arteri primer, dan kolektor primer yang menghubungkan destinasi wisata utama dengan pusat kota dan kota-kota besar di sekitarnya. Sementara itu, zona Selatan dan Timur, seperti Getasan, Tengaran, dan Bringin, memiliki aksesibilitas yang lebih rendah karena hanya mengandalkan jalan kolektor primer dan jalan lokal, sehingga perlu peningkatan infrastruktur dan konektivitas untuk mendukung pengembangan pariwisata di wilayah tersebut.
Ancillary
Ancillary pariwisata adalah segala fasilitas, layanan, dan infrastruktur pendukung yang melengkapi pengalaman wisata utama, seperti akomodasi, transportasi, pusat informasi, restoran, dan jasa pendukung lainnya yang bertujuan mempermudah dan meningkatkan kenyamanan wisatawan selama melakukan perjalanan atau kunjungan di suatu destinasi. Ancillary ini sangat penting karena membantu menciptakan ekosistem pariwisata yang terpadu dan mendukung kelancaran aktivitas wisata sehingga tidak hanya menarik minat wisatawan tetapi juga meningkatkan nilai ekonomi dan keberlanjutan sektor pariwisata secara keseluruhan.

Berdasarkan peta ancillary pariwisata Kabupaten Semarang yang disajikan, distribusi fasilitas pendukung pariwisata seperti ATM dan bank (ditandai dengan warna merah) tersebar cukup merata di beberapa pusat kecamatan, terutama di wilayah utara dan tengah kabupaten. Konsentrasi ATM dan bank yang cukup tinggi ini menunjukkan ketersediaan layanan keuangan yang memadai bagi wisatawan, sehingga memudahkan transaksi keuangan selama berkunjung. Keberadaan ATM dan bank di area ini juga mendukung kegiatan ekonomi lokal yang berkaitan dengan pariwisata, seperti pengelolaan pembayaran jasa dan pembelian oleh wisatawan.
Sementara itu, agen perjalanan (berwarna biru) dan toko oleh-oleh serta minimarket (berwarna hijau) menunjukkan pola distribusi yang berbeda namun saling melengkapi. Agen perjalanan lebih banyak terkonsentrasi di pusat-pusat kota dan lokasi strategis yang mudah diakses oleh wisatawan, memberikan kemudahan dalam pengaturan paket wisata dan perjalanan. Sedangkan toko oleh-oleh dan minimarket tersebar lebih luas, termasuk di daerah-daerah wisata populer dan jalur perjalanan, yang memudahkan wisatawan untuk mendapatkan kebutuhan dan cinderamata khas daerah. Penyebaran ini mencerminkan dukungan infrastruktur yang baik dalam mendukung aktivitas wisata di Kabupaten Semarang, memperkuat potensi pengembangan sektor pariwisata lokal.
Kebencanaan
Berdasarkan peta sebaran risiko tanah longsor di Kabupaten Semarang dengan data validasi historis tahun 2019 dan 2020, terlihat bahwa wilayah-wilayah dengan risiko tinggi hingga sangat tinggi (berwarna merah dan oranye) banyak tersebar di daerah perbukitan dan pegunungan di bagian barat dan tengah kabupaten, terutama di sekitar Ambarawa, Getasan, dan Salatiga. Zona-zona ini sangat rentan terhadap kejadian longsor yang dapat mengancam fasilitas pariwisata alam seperti kawasan pegunungan, jalur trekking, dan objek wisata alam yang biasanya berada di daerah berbukit tersebut. Oleh karena itu, aktivitas pariwisata di wilayah dengan tingkat risiko tinggi perlu dikaji ulang dan dilakukan mitigasi kebencanaan secara serius untuk meminimalisir dampak terhadap wisatawan dan infrastruktur pariwisata.

Di sisi lain, wilayah yang memiliki risiko rendah hingga sedang (berwarna hijau dan kuning) tersebar di bagian selatan dan sebagian besar dataran rendah di Kabupaten Semarang. Kawasan ini relatif lebih aman untuk pengembangan pariwisata yang berfokus pada wisata budaya, kota, dan destinasi yang tidak berada di area rawan longsor. Peta ini menjadi alat penting bagi pengambil kebijakan dan pengelola pariwisata untuk menentukan zonasi dan kebijakan pengembangan pariwisata yang memperhatikan aspek keselamatan dan keberlanjutan, khususnya di daerah rawan tanah longsor agar pariwisata di Kabupaten Semarang dapat berjalan optimal tanpa mengabaikan risiko bencana alam.
Pusat Kegiatan Masyarakat
Analisis isochrone selama 30 menit dengan kendaraan mobil dari dua pusat kegiatan lokal, yakni Ungaran (ditandai isochrone biru) dan Ambarawa (ditandai isochrone merah), menunjukkan jangkauan spasial yang potensial untuk pengembangan pariwisata berbasis kebencanaan di wilayah Semarang bagian selatan dan sekitarnya. Wilayah jangkauan Ungaran mencakup sebagian Semarang, Kabupaten Semarang bagian tengah dan utara, serta sebagian kecil wilayah Boja dan Bandungan. Hal ini menjadikan Ungaran strategis untuk pusat informasi kebencanaan serta edukasi mitigasi bencana yang dapat dijangkau dengan mudah dari kawasan perkotaan. Konektivitasnya ke pusat administrasi dan fasilitas penunjang juga memperkuat perannya sebagai simpul kesiapsiagaan sekaligus titik awal wisata edukatif kebencanaan yang terintegrasi.

Sementara itu, jangkauan 30 menit dari Ambarawa meliputi daerah yang lebih ke selatan seperti Bandungan, Banyubiru, dan sebagian wilayah Kecamatan Bawen dan Jambu, yang memiliki topografi berbukit dan rawan terhadap bencana alam seperti longsor dan erupsi gunung api (khususnya karena kedekatan dengan Gunung Merbabu dan Telomoyo). Wilayah ini juga kaya akan destinasi wisata alam, sejarah, dan budaya. Dengan demikian, pusat kegiatan lokal di Ambarawa sangat relevan dikembangkan sebagai pusat pengelolaan pariwisata berbasis kebencanaan dengan pendekatan preventif dan responsif, termasuk evakuasi wisatawan saat terjadi bencana. Sinergi antara dua pusat ini memungkinkan penyebaran informasi, manajemen risiko, dan pelayanan darurat yang lebih optimal di kawasan pariwisata yang rentan namun potensial secara ekonomi.
Dampak Bagi Pengelolaan Wisata dan Mitigasi Bencana
Berdasarkan hasil analisis spasial yang memadukan aspek pariwisata dan kebencanaan, pusat kegiatan lokal di Ungaran dan Ambarawa menunjukkan peran yang sangat strategis dalam mendukung pengelolaan destinasi wisata di Kabupaten Semarang. Jangkauan isochrone 30 menit dari masing-masing pusat memperlihatkan cakupan wilayah yang luas dan mencakup area dengan konsentrasi atraksi dan amenitas yang tinggi, seperti Bandungan, Bawen, dan Banyubiru. Hal ini memberikan peluang besar bagi pengelola wisata untuk mengembangkan konektivitas antar destinasi dan menciptakan paket wisata terpadu yang menggabungkan wisata alam, budaya, dan sejarah. Dengan dukungan fasilitas ancillary yang memadai seperti agen perjalanan, minimarket, dan pusat oleh-oleh, pengalaman wisatawan dapat diperkuat secara menyeluruh dari sisi kenyamanan dan kemudahan akses.
Dari sisi mitigasi bencana, keberadaan dua pusat kegiatan ini menjadi titik kritis dalam penyebaran informasi, pelatihan kesiapsiagaan, dan pelaksanaan evakuasi. Ungaran memiliki akses langsung ke jaringan transportasi utama dan fasilitas pemerintahan, menjadikannya ideal sebagai pusat komando mitigasi dan edukasi bencana berbasis wisata. Di sisi lain, Ambarawa yang berada lebih dekat dengan kawasan rawan seperti perbukitan di sekitar Gunung Merbabu dan Telomoyo dapat difungsikan sebagai pusat koordinasi tanggap darurat dan jalur distribusi logistik ke destinasi wisata rentan. Dengan demikian, integrasi sistem wisata dan kebencanaan dapat mengurangi kerentanan wisatawan dan pelaku industri terhadap ancaman bencana alam seperti tanah longsor dan letusan gunung berapi.
Secara keseluruhan, kombinasi antara potensi wisata yang tinggi dan risiko bencana yang ada mendorong pentingnya pendekatan pengelolaan berbasis spasial dan mitigasi adaptif. Para pengelola wisata perlu menyusun rencana zonasi yang mempertimbangkan potensi dan risiko secara bersamaan, seperti mengarahkan investasi amenitas di area yang relatif aman, mengembangkan wisata edukatif tentang kebencanaan, serta menyusun jalur evakuasi yang terintegrasi dengan peta risiko. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku wisata, dan masyarakat lokal juga menjadi kunci dalam membangun pariwisata yang tidak hanya menarik dan menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga tangguh dan siap menghadapi ancaman bencana.
D. PENUTUP
Rekomendasi Kebijakan
Untuk pemerintah daerah, rekomendasi kebijakan utama adalah menyusun dan menetapkan zonasi pengembangan pariwisata berbasis risiko kebencanaan. Pemerintah perlu mengintegrasikan data spasial risiko bencana seperti tanah longsor dan erupsi gunung api ke dalam rencana tata ruang dan pengembangan destinasi wisata. Penyusunan regulasi yang mewajibkan Analisis Risiko Bencana (ARB) bagi proyek-proyek pariwisata baru di daerah rawan juga menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan dan keselamatan. Selain itu, pemerintah harus memperkuat infrastruktur evakuasi dan jalur akses menuju pusat-pusat kegiatan masyarakat seperti Ungaran dan Ambarawa, yang telah terbukti strategis dalam jangkauan isochrone 30 menit untuk tanggap darurat.
Bagi pelaku wisata, perlu adanya kebijakan internal yang mengedepankan prinsip wisata aman bencana. Hal ini dapat diwujudkan dengan menyediakan sarana informasi mitigasi bencana di lokasi wisata, pelatihan evakuasi untuk staf dan pengunjung, serta koordinasi aktif dengan BPBD dan pemerintah setempat. Pelaku wisata juga didorong untuk mengembangkan paket wisata edukatif yang mengenalkan aspek geowisata dan pengetahuan kebencanaan, misalnya melalui kunjungan ke pusat edukasi bencana di Ungaran atau simulasi evakuasi di kawasan rawan seperti Ambarawa dan Bandungan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan daya tarik wisata, tetapi juga membangun kesadaran risiko di kalangan wisatawan dan masyarakat lokal.
Untuk BPBD dan stakeholder kebencanaan lainnya, penting untuk membangun sistem komunikasi darurat dan penyebaran informasi yang cepat, khususnya di wilayah dengan kepadatan atraksi wisata tinggi dan risiko bencana yang signifikan. BPBD dapat bekerja sama dengan pemerintah desa wisata dan pengelola destinasi untuk memasang sistem peringatan dini, menyiapkan peta evakuasi yang dipahami pengunjung, dan memastikan kesiapan logistik dalam situasi darurat. Keterlibatan aktif dalam perencanaan ruang, pengembangan wisata berbasis komunitas, serta pelatihan berkala lintas sektor akan memperkuat koordinasi dan respon bencana secara menyeluruh, menciptakan ekosistem wisata yang tidak hanya atraktif, namun juga tangguh terhadap bencana.
Saran Pengembangan Lanjutan
Pengembangan lanjutan yang sangat penting adalah integrasi teknologi digital dalam sistem informasi wisata dan kebencanaan. Pemerintah daerah bersama pelaku wisata dan BPBD dapat mengembangkan aplikasi berbasis lokasi (geo-tagging) yang menyajikan informasi real-time mengenai destinasi wisata, tingkat risiko bencana, jalur evakuasi, titik aman, serta status cuaca dan aktivitas geologi. Aplikasi ini juga dapat dilengkapi dengan sistem peringatan dini (early warning system) yang terhubung dengan sensor geospasial dan sistem informasi BPBD, sehingga wisatawan bisa mendapatkan notifikasi otomatis saat berada di kawasan rawan bencana. Inovasi ini akan meningkatkan keamanan sekaligus kepercayaan wisatawan terhadap destinasi di Kabupaten Semarang.
Selain itu, integrasi aplikasi digital juga bisa digunakan untuk mengelola arus kunjungan wisata secara berkelanjutan. Dengan sistem reservasi digital dan pemantauan kepadatan pengunjung melalui data GPS atau CCTV, pengelola bisa mencegah overcapacity di destinasi rawan bencana dan mengatur waktu kunjungan yang lebih aman. Aplikasi ini juga dapat menjadi sarana promosi destinasi alternatif di zona rendah risiko bencana, sehingga mendukung penyebaran wisatawan secara merata. Fitur seperti tur virtual, informasi amenitas terdekat, dan ulasan pengguna akan meningkatkan pengalaman wisatawan serta mendorong interaksi digital yang memperkaya ekosistem wisata lokal.
Terakhir, pelatihan dan pendampingan digital bagi pelaku wisata lokal sangat penting untuk mendukung pemanfaatan aplikasi secara optimal. Pemerintah daerah bersama lembaga pendidikan dan sektor swasta dapat menyelenggarakan pelatihan literasi digital bagi pelaku usaha wisata, masyarakat desa wisata, dan relawan kebencanaan. Pendampingan ini mencakup pemahaman pemanfaatan aplikasi, pengelolaan konten wisata berbasis kebencanaan, serta penggunaan media sosial untuk edukasi dan promosi. Dengan demikian, pengembangan pariwisata di Kabupaten Semarang tidak hanya berbasis teknologi canggih, tetapi juga inklusif, tangguh, dan berorientasi pada keselamatan serta keberlanjutan jangka panjang.
E. DAFTAR PUSTAKA
Anindhito, B., Agung, M., & Rahman, B. (2022, Januari 22). Analisis Wilayah Rawan Bencana Longsor dan Pemilihan Rute Evakuasinya pada Kawasan Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Semarang.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2021). Data Risiko Bencana Indonesia. https://bnpb.go.id/
Badan Pusat Statistik Kabupaten Semarang. (2023). Kabupaten Semarang dalam Angka 2023. BPS Kabupaten Semarang. https://semarangkab.bps.go.id/
Cooper, C., Fletcher, J., Fyall, A., Gilbert, D., & Wanhill, S. (2008). Tourism: Principles and Practice (4th ed.). Pearson Education.
Hall, C. M., & Page, S. J. (2014). The Geography of Tourism and Recreation: Environment, Place and Space (4th ed.). Routledge.
Jenkins, J. M., & Smith, M. (2020). Spatial Analysis in Tourism Planning. Journal of Tourism Studies, 15(2), 45-62. https://doi.org/10.1016/j.jts.2020.02.005
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. (2022). Pedoman Pengembangan Destinasi Pariwisata Berbasis 4A. https://kemenparekraf.go.id/
Longley, P. A., Goodchild, M. F., Maguire, D. J., & Rhind, D. W. (2015). Geographic Information Systems and Science (3rd ed.). Wiley.
Setiawan, B., & Wibowo, A. (2018). Mitigasi Bencana Berbasis Spasial di Kawasan Wisata. Jurnal Kebencanaan Indonesia, 9(1), 23-35. https://doi.org/10.14710/jki.9.1.23-35
UNWTO. (2019). International Recommendations for Tourism Statistics 2008. United Nations World Tourism Organization.