Ditulis oleh: Farell Hakeem Ihza Djiwangsa, Dwi Amanah
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kesesuaian zonasi bahaya gempa pada Peta Bahaya Gempa Nasional dengan keberadaan sesar aktif di jalur Sesar Lembang, Jawa Barat. Menggunakan pendekatan deskriptif-kuantitatif melalui analisis spasial berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG), penelitian dilakukan pada area 1–2 km di sepanjang jalur sesar. Data yang digunakan mencakup peta bahaya gempa, data geologi, historis gempa, citra satelit, serta publikasi kebencanaan. Hasil overlay antara jalur sesar dan zonasi peta menunjukkan ketidaksesuaian pada beberapa segmen, di mana sesar aktif dengan potensi magnitudo ≥ M6,8 justru tidak tergolong dalam zona merah. Temuan ini diperkuat oleh data deformasi permukaan Sentinel-1A dan ShakeMap BMKG, yang mengindikasikan dampak guncangan sangat tinggi dan potensi korban besar jika terjadi gempa. ketidaksesuaian tersebut harus dianalisis secara hati-hati dengan mempertimbangkan perbedaan skala dan resolusi antara peta nasional dan peta hasil penelitian ini. Skala yang lebih rinci dalam penelitian dapat mengungkap kondisi geologi lokal secara lebih spesifik, tetapi belum tentu merepresentasikan skala kebijakan nasional secara menyeluruh. Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan integrasi data geofisika terbaru dan pembaruan peta tematik untuk mendukung kebijakan mitigasi bencana dan tata ruang yang berbasis risiko
Kata Kunci: Sesar Lembang, bahaya gempa, zonasi seismik, Peta Bahaya Gempa Nasional, analisis spasial, mitigasi bencana
Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik aktif, yaitu Lempeng Indo- Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Letak geologis ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu kawasan dengan risiko bencana geologi tertinggi di dunia, khususnya terkait gempa bumi. Berbagai kejadian gempa besar dalam dua dekade terakhir, seperti gempa Yogyakarta (2006), gempa Padang (2009), dan gempa Palu (2018), memperlihatkan seberapa besar efek yang ditimbulkan terhadap aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan keberlanjutan pembangunan. Dalam konteks ini, sistem manajemen bencana, termasuk pembuatan peta risiko gempa yang tepat dan sesuai dengan kondisi setempat, menjadi elemen yang sangat penting. Pemerintah Indonesia, melalui Pusat Studi Gempa Nasional (PUSGEN), telah menerbitkan Peta Sumber dan Bahaya Gempa Nasional sebagai pedoman resmi dalam perencanaan pembangunan yang berketahanan terhadap bencana. Peta ini dirancang sebagai landasan untuk kebijakan tata ruang, desain infrastruktur kritis, dan implementasi standar bangunan tahan gempa (PUSGEN, 2017). Meskipun demikian, dalam praktiknya, muncul pertanyaan mengenai akurasi spasial peta berskala nasional tersebut, terutama ketika diaplikasikan pada wilayah dengan kondisi geologi lokal yang kompleks dan dinamis, yang sering kali tidak terpetakan secara detail.
Salah satu area yang menjadi perhatian utama adalah koridor Sesar Lembang di bagian utara Cekungan Bandung, Jawa Barat. Sesar Lembang merupakan sesar aktif sepanjang ±29 km yang memiliki potensi gempa dengan magnitudo momen (Mw) dapat mencapai 6,8–7,0 (Natawidjaja dkk., 2017; PUSGEN, 2017). Keberadaan sesar ini menjadi ancaman signifikan karena melintasi kawasan padat penduduk, termasuk wilayah Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat, yang juga menjadi lokasi berbagai infrastruktur vital dan pusat kegiatan ekonomi (Kinasih dkk., 2023). Studi deformasi modern menggunakan data satelit menunjukkan adanya akumulasi energi seismik di sepanjang sesar ini (Aji dkk., 2018). Namun, observasi awal mengindikasikan adanya ketidaksesuaian antara lokasi jalur sesar aktif dengan zonasi bahaya tinggi (zona merah) pada Peta Bahaya Gempa Nasional. Beberapa segmen sesar yang terbukti aktif justru berada pada zona bahaya sedang (kuning) atau rendah (hijau), yang mengisyaratkan potensi unterestimasi risiko.
Keadaan itu menimbulkan skeptisisme terhadap keandalan peta sebagai sarana prediksi dan dasar untuk mitigasi bencana yang efisien. Jika zonasi bahaya tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan, maka kemungkinan besar akan terjadi kesalahan dalam menentukan prioritas pembangunan, ketidakakuratan dalam penetapan zona aman, serta rendahnya kesiapsiagaan masyarakat terhadap potensi gempa yang sebenarnya tinggi. Sehingga, evaluasi menyeluruh diperlukan untuk menilai kesesuaian zonasi bahaya dalam Peta Bahaya Gempa Nasional dengan keberadaan dan sifat sesar aktif di lapangan, khususnya di jalur koridor Sesar Lembang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi secara spasial zonasi risiko gempa pada Peta Bahaya Gempa Nasional dengan pendekatan deskriptif-kuantitatif yang berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Penelitian difokuskan pada sejauh mana peta ini bisa menggambarkan potensi risiko seismik di sepanjang lintasan Sesar Lembang. Studi ini juga memanfaatkan data deformasi permukaan dari citra satelit Sentinel-1A, data seismik dari BMKG, serta tinjauan literatur ilmiah yang relevan. Hasil studi diharapkan mampu memberikan saran kebijakan dalam penguatan sistem mitigasi bencana geologi, pembaruan peta zona bahaya nasional, serta integrasi risiko bencana dalam perencanaan tata ruang di daerah rawan gempa.
Metode Penelitian
2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kuantitatif melalui analisis spasial berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mengevaluasi kesesuaian zonasi bahaya gempa pada Peta Bahaya Gempa Nasional dengan keberadaan sesar aktif di wilayah studi. Tahapan metodologi dijelaskan dalam tiga subbagian, meliputi lokasi studi, jenis data, dan teknik analisis. Lokasi penelitian berada di sepanjang jalur Sesar Lembang, Jawa Barat, dengan radius analisis sekitar 1–2 km dari garis sesar utama. Kawasan ini dipilih karena merupakan bagian dari sesar aktif yang melintasi wilayah padat penduduk, termasuk Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan sebagian wilayah utara Kota Bandung. Selain itu, keberadaan infrastruktur penting di sekitar jalur sesar menjadikan wilayah ini prioritas dalam evaluasi risiko bencana.
2.2 Variabel Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang relevan untuk mendukung analisis spasial dan evaluasi seismik. Jenis data yang digunakan meliputi:
-
1.Peta Bahaya Gempa Nasional (2022) dari Pusat Studi Gempa Nasional (PUSGEN)
-
2.Peta geologi dan data sesar aktif dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)
-
3.Data historis gempa dari BMKG
-
4.Data spasial dan citra satelit (Sentinel-1A)
-
5.Referensi tambahan berupa publikasi ilmiah, artikel berita, dan dokumen resmi kebencanaan
2.3 Metode
Teknik analisis dilakukan secara bertahap, dimulai dari integrasi data spasial. Proses overlay dilakukan antara jalur Sesar Lembang dengan zonasi bahaya gempa dari Peta Bahaya Gempa Nasional menggunakan pendekatan spasial berbasis SIG, tanpa melibatkan skor numerik, melainkan pendekatan visual dan spasial. Hasil overlay tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam tiga zona bahaya berdasarkan warna pada peta, yaitu:
- Zona merah (bahaya tinggi): wilayah dengan potensi guncangan sangat kuat (≥ VIII MMI),
- Zona kuning (bahaya sedang): wilayah dengan potensi guncangan sedang (VI–VII MMI),
- Zona hijau (bahaya rendah): wilayah dengan potensi guncangan rendah (< VI MMI).
Selanjutnya dilakukan evaluasi kesesuaian zonasi dengan menilai apakah jalur sesar aktif berada dalam zona merah sebagaimana mestinya berdasarkan potensi geologis dan karakteristik seismik. Rujukan literatur yang digunakan mencakup riwayat gempa, estimasi magnitudo potensial, serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Pendekatan ini bertujuan untuk menilai kecocokan peta dan mendukung rekomendasi kebijakan mitigasi berbasis risiko.
Selanjutnya dilakukan evaluasi kesesuaian zonasi, dengan menilai apakah jalur sesar telah tergolong dalam zona merah sebagaimana mestinya berdasarkan potensi geologis dan karakteristik seismik. Analisis diperkuat dengan kajian literatur mencakup riwayat gempa, estimasi magnitudo potensial, deformasi sesar, serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Pendekatan ini bertujuan untuk menguji akurasi zonasi bahaya secara spasial dan mendukung rekomendasi kebijakan mitigasi berbasis risiko.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil
Penelitian Sesar Lembang merupakan sesar aktif yang membentang sepanjang ±22–30 km dari Gunung Manglayang (timur) hingga Cisarua (barat), melintasi wilayah padat penduduk di utara Cekungan Bandung. Aktivitas gempa pada sesar ini telah terkonfirmasi melalui monitoring seismik oleh BMKG (2010–2013), dengan hiposenter gempa pada kedalaman 3–7 km. Jenis gempa yang terjadi meliputi strike-slip pada bagian permukaan dan thrust fault pada kedalaman lebih dalam (Kinasih dkk., 2023; Rasmid, 2014)
Pemantauan deformasi menggunakan citra Sentinel-1A dengan metode DInSAR menunjukkan:
-
1.Laju deformasi vertikal: -0,09 m/tahun hingga +0,03 m/tahun
-
2.Laju geser: 2–4,5 mm/tahun
-
3.Kedalaman locking depth: 5–10 km
Hal ini menandakan adanya akumulasi energi seismik yang signifikan di bawah permukaan (Aji dkk., 2018) Kajian risiko oleh Kinasih et al. (2023) menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah yang dilintasi Sesar Lembang, khususnya Kabupaten Bandung Barat, berada dalam zona risiko tinggi hingga sangat tinggi. Kondisi ini diperparah oleh keberadaan tanah lunak di Cekungan Bandung, yang dapat memperkuat efek guncangan saat terjadi gemp (local site effect).

Gambar 1. Peta Bahaya Sesar Lembang (Hasil Analisis Penulis, 2024)
3.2 Pembahasan
Hasil overlay spasial antara jalur Sesar Lembang dan Peta Bahaya Gempa Nasional menunjukkan zonasi yang bervariasi:
- Sebagian jalur sesar berada pada zona merah (bahaya tinggi), terutama di bagian barat dan selatan.
- Namun, terdapat segmen-segmen yang hanya termasuk dalam zona kuning (bahaya sedang) atau bahkan zona hijau (bahaya rendah), terutama di wilayah timur dan tengah sesar.
Ketidaksesuaian ini bertentangan dengan prinsip dasar mitigasi bencana, karena sesar aktif dengan potensi magnitudo besar (≥ M6,6–6,8) seharusnya tergolong dalam zona merah. Adapun kemungkinan penyebab ketidaksesuaian meliputi:
- Resolusi peta nasional yang terlalu umum (general). Perlu dicermati bahwa skala peta nasional yang umumnya berskala 1:250.000 berbeda dengan skala peta hasil penelitian (misalnya 1:50.000 atau lebih detail), yang berdampak pada perbedaan resolusi spasial. Perbedaan skala ini berkonsekuensi terhadap ketepatan zonasi bahaya, karena semakin besar skala (semakin detail), semakin tinggi pula ketelitian informasi yang dihasilkan.
- Kurangnya data historis gempa yang merepresentasikan potensi maksimum sesar.
- Belum diperbaruinya peta dengan data geologi dan geofisika terbaru.
- Selain itu, keberadaan permukiman padat dan fasilitas vital seperti Observatorium Bosscha yang berada tepat di atas jalur sesar menambah urgensi akan akurasi zonasi bahaya.

Gambar 2. Shakemap Sesar Lembang (BMKG)
Berdasarkan ShakeMap skenario gempa M6,8 di Sesar Lembang yang dikeluarkan oleh BMKG, terlihat bahwa wilayah-wilayah yang dilintasi sesar, seperti Lembang, Cimahi, hingga sebagian Bandung, berada dalam zona intensitas guncangan tinggi (VIII–IX) yang dikategorikan sebagai “severe” hingga “violent shaking”. Hal ini menunjukkan bahwa apabila gempa besar terjadi, maka dampaknya sangat serius, dengan potensi kerusakan berat, terutama pada bangunan tidak tahan gempa dan infrastruktur vital. Simulasi dari BNPB bahkan memperkirakan korban jiwa bisa mencapai lebih dari 3.000 orang dan ratusan ribu penduduk terdampak. Temuan ini memperkuat hasil evaluasi bahwa zonasi bahaya gempa dalam peta nasional belum sepenuhnya mencerminkan tingkat risiko aktual di lapangan.
Berdasarkan hasil evaluasi, berikut beberapa rekomendasi:
-
1.Peninjauan kembali kesesuaian Peta Bahaya Gempa Nasional, khususnya di wilayah jalur sesar aktif, dengan mempertimbangkan: Data deformasi permukaan (DInSAR), slip rate aktual, posisi jalur sesar terbaru hasil pemetaan geofisika, kondisi geologi lokal seperti tanah lunak dan potensi amplifikasi gelombang.
-
2.Pemetaan ulang zonasi bahaya dengan resolusi lebih tinggi dan cakupan spasial yang lebih detail, untuk mendukung kebijakan berbasis risiko.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa Sesar Lembang merupakan sesar aktif yang menunjukkan bukti aktivitas seismik yang konsisten, memiliki nilai slip rate yang terukur, serta mengalami deformasi permukaan yang signifikan. Namun demikian, hasil overlay menunjukkan bahwa tidak seluruh segmen jalur sesar ini termasuk dalam zona merah pada Peta Bahaya Gempa. Padahal, secara geologis, segmen-segmen tersebut memiliki potensi tinggi untuk memicu gempa bumi besar. Ketidaksesuaian antara zonasi pada peta nasional dengan kondisi aktual ini mengindikasikan bahwa peta bahaya gempa yang ada belum sepenuhnya merefleksikan karakteristik geologi lokal secara detail dan akurat. Kondisi ini berimplikasi pada potensi gangguan terhadap ketepatan perencanaan tata ruang, penetapan kebijakan pembangunan, serta efektivitas program mitigasi bencana yang berbasis risiko aktual di wilayah terdampak. Oleh karena itu, evaluasi ulang terhadap zonasi bahaya gempa dengan mempertimbangkan data lokal yang lebih rinci menjadi langkah yang sangat penting.
Daftar Pustaka
Aji, K., Susilo, S., & Wibowo, H. (2018). Monitoring deformasi jalur Sesar Lembang menggunakan citra Sentinel-1A dan metode DInSAR. Jurnal Geodesi Undip, 7(3), 1–9.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). (2015). ShakeMap for Lembang M6.8 scenario (planning scenario only). https://tirto.id/inilah-yang-terjadi-saat-gempa-lembang-menghantam-bandung-cyE6
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2019). Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) Tahun 2018.
Kinasih, Y. A., Daryono, M. R., & Subandriyo. (2023). Analisis risiko gempa bumi pada jalur Sesar Lembang dan implikasinya terhadap penataan ruang wilayah Bandung Raya. Prosiding Seminar Kebencanaan Nasional, 5(1), 50–60.
Natawidjaja, D. H., Daryono, M. R., Karpati, E., Meilano, I., & Puspito, N. T. (2017). A detailed study of the Lembang Fault, West Java, Indonesia: A potential seismic hazard for the greater Bandung area. Makalah dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan HAGI.
Pusat Studi Gempa Nasional (PUSGEN). (2017). Peta sumber dan bahaya gempa Indonesia tahun 2017. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Rasmid, R. (2014). Karakteristik seismik dan aktivitas Sesar Lembang, Jawa Barat. Jurnal Geofisika Indonesia, 18(2), 89–97.
Tirto.id. (2016, November 26). Inilah yang terjadi saat gempa Lembang menghantam Bandung. https://tirto.id/inilah-yang-terjadi-saat-gempa-lembang-menghantam-bandung-cyE6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.