Ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil, terutama batubara, masih sangat tinggi, dengan penggunaannya mencapai 89,8% untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Namun, pemanfaatan energi ini membawa dampak serius, termasuk peningkatan gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Pada tahun 2021, Indonesia tercatat sebagai penyumbang emisi karbon terbesar di Asia Tenggara dan peringkat ke-10 secara global, dengan kontribusi 1,72% terhadap emisi karbon dunia (Global Carbon Atlas). Urbanisasi, yang mengakibatkan padatnya aktivitas di wilayah perkotaan, memperburuk kondisi ini. Kota-kota besar, dengan populasi dan kegiatan industri yang masif, menyumbang sekitar 75% dari total emisi gas rumah kaca global, terutama dari pembakaran terbuka, transportasi, dan aktivitas industri.
Untuk menjawab tantangan ini, MAPID menghadirkan solusi berupa data emisi udara yang dapat digunakan untuk memantau, menganalisis, dan mengelola dampak emisi gas rumah kaca. Data ini dirancang untuk membantu pemangku kepentingan di berbagai sektor, seperti pemerintah, industri, dan masyarakat, dalam memahami sumber utama polusi udara dan mengambil langkah strategis untuk menguranginya. Dengan data yang komprehensif, MAPID mendukung upaya pengelolaan lingkungan yang lebih berkelanjutan dan berbasis bukti.Data emisi udara MAPID mencakup parameter seperti karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO₂), sulfur dioksida (SO₂), aerosol, metana (CH₄), formaldehida (HCHO), dan ozon (O₃), yang disajikan dalam grid resolusi 1x1 km. Data ini tersedia untuk periode 2019–2024, memungkinkan analisis tren emisi secara spasial dan temporal. Informasi yang disediakan mencakup distribusi intensitas emisi di berbagai wilayah, yang sangat berguna untuk memahami pola polusi dan merancang kebijakan mitigasi di sektor kesehatan, lingkungan, dan pertanian. Berikut ulasan mendalam terkait masing-masing parameter gas.
Sorotan Data
Data emisi udara MAPID mencakup parameter seperti karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO₂), sulfur dioksida (SO₂), aerosol, metana (CH₄), formaldehida (HCHO), dan ozon (O₃), yang disajikan dalam grid resolusi 1x1 km. Data ini tersedia untuk periode 2019–2024, memungkinkan analisis tren emisi secara spasial dan temporal. Informasi yang disediakan mencakup distribusi intensitas emisi di berbagai wilayah, yang sangat berguna untuk memahami pola polusi dan merancang kebijakan mitigasi di sektor kesehatan, lingkungan, dan pertanian. Berikut ulasan mendalam terkait masing-masing parameter gas.
1. Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida atau yang sering disebut gas CO merupakan gas yang tidak berwarna, tidak terlihat, dan tidak berbau yang terbentuk dari proses pembakaran benda atau zat yang mengandung karbon. Gas tersebut bersumber dari proses pembakaran yang bersumber dari energi fosil, seperti bahan bakar kendaraan. Selain dari sumber energi fosil, kegiatan seperti industri, aktivitas rumah tangga juga memiliki efek dalam melepaskan gas CO (Rambing et al., 2022). Zat tersebut memiliki potensi negatif terhadap kesehatan manusia, beberapa permasalahan kesehatan yang mungkin terjadi diantaranya gangguan sistem syaraf, sirkulasi darah, sistem reproduktif, gastrointestinal, hati, ginjal dan pankreas (Wu & Wang, 2005).
Di Indonesia sendiri, konsentrasi paparan CO cenderung terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Menurut laporan BMKG pada tahun 2024, kota-kota di Indonesia yang memiliki paparan karbon monoksida (CO) tertinggi berdasarkan data terbaru adalah Kota Bandung, Jakarta, dan Tangerang Selatan. Sumber CO yang mencemari kota tersebut sebagian besar bersumber dari sektor transportasi, sebagai contoh di Jakarta sektor transportasi menyumbang sekitar 96,36% dari total emisi CO di Jakarta dan di Kota Bandung gas buang kendaraan berkontribusi sebesar 70% dari total emisi.
Selaras dengan pemaparan sebelumnya, kegiatan domestik yang menjadi salah satu kontributor gas CO tercermin dalam peta sebaran gas CO di Kabupaten Tangerang tahun 2024 seperti yang terlihat pada visualisasi GEOMAPID diatas. Secara garis besar konsentrasi gas CO cenderung mengelompok pada wilayah yang dekat dengan lahan terbangun. Hal tersebut membuktikan bahwa semakin tinggi konsentrasi penduduk maka semakin tinggi juga tingkat emisi CO yang diproduksi.
2. Nitrogen Dioksida (NO2)
Senyawa nitrogen dioksida atau dapat disingkat NO2 merupakan salah satu zat yang ditimbulkan hasil dari pembakaran bahan bakar fosil. Dalam beberapa sumber menyebutkan bahwa NO2 setidaknya dapat ditimbulkan dari proses alami seperti kebakaran hutan, serta proses antropogenik seperti aktivitas industri, transportasi, dan pembakaran terbuka seperti sampah domestik. Baik proses alami maupun aktivitas antropogenik, keduanya bersifat negatif utamanya bagi keberlanjutan ekologi.
Pada bulan Desember tahun 2024, BMKG melakukan pengamatan kadar NO2 di Indonesia. Secara keseluruhan, konsentrasi NO2 tertinggi di Indonesia terjadi di DKI Jakarta. Sebanyak 9 lokasi titik pengukuran di Provinsi DKI Jakarta yang tersebar di Ancol, Bandengan (Delta), Bivak, Glodok, Grogol, Kemayoran, Kementan, TMII, dan Monas menunjukkan titik pemantauan di Bivak mendapatkan konsentrasi tertinggi sebesar 0.0307 ppm. Sementara itu pengukuran serupa yang dilakukan di Kototabang di Sumatera Barat menunjukkan hasil sebaliknya, dimana pengukuran di lokasi tersebut justru mendapatkan nilai konsentrasi terendah, dengan kadar NO2 sebesar 0,0010. Data ini menunjukkan bahwa daerah perkotaan dengan kepadatan lalu lintas tinggi cenderung memiliki konsentrasi NO2 yang lebih tinggi, mencerminkan dampak dari aktivitas transportasi dan industri terhadap kualitas udara.
Konsekuensi kesehatan akibat pengaruh zat NO2 merupakan salah satu dampak yang perlu diwaspadai, dimana menurut Arista et al, (2015) dampak kesehatan yang lebih serius termasuk kemungkinan terjadinya edema paru, kesulitan bernapas, dan bahkan kematian pada kasus paparan tinggi. Oleh karena itu, penting untuk terus memantau dan mengurangi emisi NO2 melalui kebijakan pengendalian pencemaran udara dan pengembangan transportasi publik yang lebih bersih untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Kota Semarang yang berada di Provinsi Jawa Tengah, merupakan salah satu kota yang mengalami arus urbanisasi yang tinggi. Urbanisasi yang terjadi di Kota Semarang cenderung banyak terbentuk di wilayah utara dan wilayah perbatasan. Urbanisasi salah satunya terbentuk akibat Kota Semarang memiliki daya tarik berupa lapangan pekerjaan, hal tersebut secara langsung menciptakan ruang-ruang baru bagi wilayah industri dan meningkatkan volume kendaraan bermotor. Terlihat dari visualisasi peta NO2 tahun 2024 Kota Semarang di GEOMAPID, gas NO2 banyak terkonsentrasi di wilayah yang padat penduduk (tengah dan utara) serta semakin menurun konsentrasinya ke arah selatan yang masih banyak ditemui vegetasi.
3. Sulfur Dioksida (SO2)
Sulfur dioksida atau yang memiliki simbol senyawa SO2 merupakan gas polutan yang banyak dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batubara, serta belerang. Sifat SO2 mudah larut dalam air, berbau menyengat dalam kadar tinggi, dan membentuk senyawa asam sulfat ketika bereaksi dengan uap air di atmosfer. Kondisi tersebut biasanya akan memicu hujan asam. Aktivitas antropogenik banyak memegang andil terhadap terciptanya gas SO2, dimana aktivitas seperti pembangkit tenaga listrik, pembakaran, pertambangan, pengolahan logam, dan kendaraan berpenggerak diesel menjadi kontributor aktif dalam terciptanya gas tersebut (Ikhtiar, 2017). Sementara itu aktivitas alam seperti erupsi gunung berapi juga dapat menciptakan gas SO2 (ATSDR, 1998)
Menurut Setiawan dkk, (2013), SO2 memiliki dampak negatif utamanya untuk kesehatan manusia, dimana gangguan kesehatan yang dapat dialami akibat menghirup gas tersebut diantaranya berupa sakit kepala, dada, gangguan pernafasan, hingga kematian jika kadarnya terlampau tinggi. Ambang batas SO2 diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021, dimana ambang batas yang ditetapkan dalam waktu 24 jam adalah 150 µg/m³ (0,15 mg/m³).
Kota Bekasi yang berada di Provinsi Jawa Barat, pada awal Januari 2024 memiliki tingkat paparan gas SO2 sebesar 52.2 µg/m³, dimana nilai tersebut menunjukkan bahwa Kota Bekasi tergolong memerlukan perhatian. Selaras dengan hal tersebut, distribusi SO2 di Kota Bekasi tahun 2024 yang terlihat pada visualisasi GEOMAPID menunjukkan bahwa area yang banyak ditemui lahan terbangun cenderung tinggi zat SO2. Kondisi ini mencerminkan keadaan, dimana wilayah yang tinggi lahan terbangun dan menjadi pusat aktivitas penduduk akan memiliki kandungan SO2 yang lebih tinggi dibandingkan lahan hijau.
4. Aerosol
Aerosol adalah campuran partikel padat dan cair yang sangat kecil yang tersuspensi di atmosfer, dan sering dikenal sebagai Partikel Materi (PM). Aerosol dapat terbentuk dalam 2 mekanisme, yaitu mekanisme alami dan buatan. Secara alami aerosol dapat terbentuk dari garam, debu, dan aktivitas vulkanik. Mekanisme kedua adalah aerosol yang terbentuk dari aktivitas manusia, dimana aktivitas pembakaran, emisi gas buang, serta industri dapat membentuk zat tersebut.
Dalam pemanfaatan data, data yang sering digunakan untuk mengukur aerosol adalah aerosol optical depth (AOD). Data AOD saat ini banyak dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi mengenai aerosol di atmosfer. Aerosol sendiri dinamikanya sangat dipengaruhi oleh musim. Dimana studi kasus yang dilakukan di pulau sumatera yang dideteksi menggunakan data penginderaan jauh menunjukkan pada musim kemarau merupakan puncak konsentrasi aerosol tertinggi, hal ini disebabkan oleh musim kemarau memicu kebakaran hutan (Bhato et al., 2022).
Aerosol yang bersifat polutan berpotensi untuk memiliki dampak serius pada kesehatan. Permasalahan kesehatan seperti iritasi mata, asma, bahkan penyakit jantung merupakan ancaman nyata yang harus dihadapi. Pada beberapa penelitian menyebutkan kandungan polutan pada aerosol juga dapat menyebabkan kematian dini (Narayanan et al., 2021)
Gambar diatas merupakan salah satu contoh distribusi sebaran aerosol yang bersifat polutan. Visualisasi konsentrasi aerosol di GEOMAPID, menunjukkan bahwa konsentrasi aerosol di Kota Palembang cenderung mengelompok di pusat perkotaan. Aktivitas penduduk yang cenderung berada di area perkotaan, menunjukkan bahwa produksi aerosol berkorelasi dengan aktivitas penduduk di Kota Palembang.
5. Metana (CH4)
Konsentrasi metana di atmosfer telah meningkat lebih dari dua setengah kali lipat sejak era pra-industri, dan peningkatan ini semakin cepat dalam beberapa tahun terakhir, sebagaimana dibuktikan oleh lonjakan signifikan pada tahun 2023. Sebagai gas rumah kaca yang sangat kuat, metana memiliki kemampuan menyerap energi yang jauh lebih besar dibandingkan karbon dioksida (CO2), meskipun masa hidupnya di atmosfer lebih singkat — hanya sekitar 12 tahun dibandingkan dengan berabad-abad untuk CO2. Dampaknya terhadap iklim sangatlah nyata, sekaligus berkontribusi pada polusi udara melalui pembentukan ozon troposfer yang berbahaya.
Berdasarkan dokumen Global Methane Tracker 2024, sektor energi menjadi penyumbang utama dengan emisi hampir 130 Mt metana pada tahun 2023, meliputi kebocoran dari operasi minyak (50 Mt), gas alam (30 Mt), tambang batu bara bawah tanah (25 Mt), dan pembakaran bioenergi yang tidak sempurna (10 Mt).
Salah satu contoh nyata adalah wilayah Kabupaten Lahat dan Muara Enim, di mana visualisasi data metana pada GEOMAPID menunjukkan konsentrasi metana yang tinggi akibat aktivitas penambangan batu bara. Dengan adanya data ini, kita tidak hanya memahami sebaran dan nilai konsentrasi metana di dunia, tetapi juga memiliki landasan yang kuat untuk merumuskan kebijakan strategis guna mengurangi emisi tersebut.
6. Formaldehida (HCHO)
Formaldehida adalah senyawa yang sangat reaktif dan dapat menyebabkan iritasi langsung pada jaringan yang terpapar. Penelitian menunjukkan bahwa paparan formaldehida dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan, mata, kulit, dan saluran pencernaan, tergantung pada cara paparan tersebut terjadi. Selain itu, paparan formaldehida dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker pada area yang terpapar langsung seperti saluran pernapasan dan kulit (American Lung Association, 2023).
Sumber utama formaldehida di atmosfer berasal dari proses fotokimia yang mengoksidasi hidrokarbon biogenik dan antropogenik. Selain itu, formaldehida juga dihasilkan dari pembakaran hidrokarbon yang tidak sempurna, dengan kendaraan bermotor menjadi salah satu penyumbang utama emisi formaldehida di daerah perkotaan (Lawson et al., 1990).
Melihat dampak serius yang dapat ditimbulkan oleh formaldehida, penting untuk melakukan pemantauan dan analisis terhadap tingkat polusi udara di wilayah-wilayah padat penduduk. Sebagai contoh, gambar 5 menunjukkan sebaran formaldehida di Kabupaten Banyumas pada tahun 2023. Daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, seperti Kecamatan Purwokerto, menunjukkan konsentrasi formaldehida yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh emisi dari kendaraan bermotor yang lebih intens, mengingat Purwokerto sebagai pusat aktivitas perkotaan. Pemantauan ini dapat membantu dalam mengidentifikasi daerah yang perlu mendapatkan perhatian lebih dalam upaya mitigasi polusi udara dan perlindungan kesehatan masyarakat.
7. Ozon (O3)
Ozon adalah komponen atmosfer yang memiliki peranan penting dalam kehidupan di Bumi. Distribusi ozon di atmosfer tidak merata, dengan konsentrasi tertinggi berada di lapisan stratosfer, pada ketinggian 25 hingga 40 km. Lapisan stratosfer ini mengandung sekitar 90% dari total ozon di atmosfer dan berfungsi sebagai pelindung Bumi dari radiasi sinar ultraviolet berbahaya dengan panjang gelombang 280–320 nm, yang dapat merusak kehidupan makhluk hidup (NASA, 2001).
Namun, ozon juga terdapat di lapisan troposfer, bagian atmosfer paling bawah, yang dikenal sebagai ozon troposfer. Berbeda dengan ozon stratosfer yang melindungi, ozon troposfer bersifat sebagai polutan. Ozon troposfer terbentuk melalui reaksi fotokimia kompleks yang melibatkan gas metana (CH₄), senyawa organik yang mudah menguap (Volatile Organic Compounds/VOCs), karbon monoksida, oksida nitrogen (NOx), dan sinar matahari. Konsentrasinya meningkat secara signifikan akibat aktivitas manusia seperti emisi kendaraan bermotor, pembangkit listrik, dan kebakaran hutan (Fehsenfeld, 1993).
Paparan jangka pendek terhadap O3 dapat mengakibatkan berbagai masalah pernapasan, mulai dari penyakit paru obstruktif kronik hingga emfisema. Seperti banyak tantangan kesehatan lingkungan lainnya, dampak yang dirasakan oleh masyarakat di negara-negara berkembang akan semakin parah seiring dengan meningkatnya O3 (Moses, 2021).
Ozon troposfer tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan manusia, tetapi juga mengancam ekosistem penting seperti hutan, meningkatkan suhu global, dan menghambat produksi tanaman (Moses, 2021). Sebagai oksidan kuat, ozon masuk ke dalam daun melalui pori stomata yang terbuka. Di dalam daun, ozon bereaksi dengan biomolekul dan menghasilkan spesies oksigen reaktif, yang memicu mekanisme pertahanan tanaman. Namun, jika mekanisme ini tidak mampu mengatasi stres, reaksi tersebut dapat menyebabkan kematian sel terprogram, mengurangi area daun hijau yang berfungsi, dan menghasilkan lebih sedikit fotosintat yang diperlukan untuk pengisian biji (Ainsworth, 2016).
Dampak ini terlihat jelas pada produksi tanaman pokok. Antara tahun 2010 hingga 2012, peningkatan konsentrasi ozon mengurangi hasil panen global biji-bijian utama seperti gandum, beras, dan jagung hingga 227 metrik ton. Kondisi ini semakin diperburuk oleh perubahan iklim, karena kenaikan suhu dan perubahan pola cuaca meningkatkan jumlah hari dengan konsentrasi ozon yang tinggi, sehingga memperbesar kerugian pada sektor pertanian (Mills, 2018).
Pada tahun 2023, Kabupaten Tanah Laut mencatatkan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang signifikan, menjadikannya salah satu kabupaten dengan tingkat karhutla terluas di Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan sendiri dilaporkan sebagai provinsi dengan indikasi karhutla terluas di Indonesia, berdasarkan data Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peta pada gambar 7 menunjukan sebaran ozon troposfer di wilayah ini, yang di-overlay dengan data hotspot, menunjukkan bahwa daerah dengan konsentrasi hotspot tinggi memiliki korelasi langsung dengan tingginya konsentrasi ozon troposfer. Peningkatan ini kemungkinan besar dipicu oleh emisi dari kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan senyawa prekursor ozon, seperti NOx dan VOCs. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, seperti peningkatan risiko penyakit pernapasan, tetapi juga mengancam produktivitas perkebunan di wilayah sekitar akibat efek oksidasi ozon pada tanaman. Informasi ini menjadi dasar penting bagi pihak berwenang untuk merancang kebijakan mitigasi yang tepat guna meminimalkan dampak lingkungan dan kesehatan di Kabupaten Tanah Laut.