Pemetaan Temporal Sebaran Tumbuhan Perairan Lamun Di Perairan Pantai Bara, Kabupaten Bulukumba

24/09/2024 • Nur Muhammad Naufal


Cover
Cover

PENDAHULUAN

Ekosistem pesisir terbentuk dari beberapa unsur komponen. Ekosistem yang pada umumnya diakui dan dijumpai di dalamnya melibatkan mangrove, terumbu karang, dan lamun (Tangke, 2010). Kolaborasi dari ketiga ekosistem ini menghasilkan daerah pesisir yang memiliki tingkat kesuburan dan produktivitas yang tinggi. Lamun merupakan jenis tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh terendam di dalam kolom air dan dapat berkembang dengan baik di perairan laut yang dangkal (Rahmawati et al., 2014).

Ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia diperkirakan memiliki tingkat kondisi tutupan hanya sekitar 30-40% pada tiap lokasi dimana ditemukan lamun di dalamnya. Data-data tentang keadaan dan potensi padang lamun di seluruh Indonesia masih belum dikelola dengan efisien. Pemetaan ekosistem lamun menjadi suatu kebutuhan penting untuk merinci dalam pengelolaan dan pendataan suatu wilayah. Salah satu metode pemetaan yang dapat diterapkan untuk mengetahui distribusi padang lamun adalah melalui pemanfaatan teknologi penginderaan jauh (Hartono et al., 2022). Dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, proses survei dan pemetaan dapat dilakukan dengan lebih cepat, sehingga mengurangi biaya dan menghemat tenaga (Hadi, 2019).

Pantai Bara adalah tempat wisata yang terletak di Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.Pantai Bara terletak pada sebelah kanan Pantai Bira. Sama seperti halnya Pantai Bira, Pantai Bara juga mempunyai pasir putih yang bagus. Padang lamun yang ada di kawasan Pantai Bara juga terbilang cukup padat.

Informasi spasial yang disajikan dapat memberikan gambaran distribusi kondisi tutupan padang lamun. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, penulisan ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan informasi terkait sebaran lamun pada lokasi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini telah dilaksanakan di Pantai Bara, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan citra satelit Sentinel-2A untuk pemetaan padang lamun. Titik sampling penelitian ini ditentukan dengan menggunakan metode acak terpilih (purposive sampling) berdasarkan hasil klasifikasi awal dari pengolahan citra Sentinel-2A.

Peta Penelitian

Adapun prosedur penelitian ini adalah terlampir pada diagram alir berikut:

Bagan

Pengolahan citra satelit yang dilakukan menggunakan platform google earth engine. Platform tersebut menggunakan Bahasa pemrograman Javascript dan Phyton untuk memproses pengolahan citra satelit. Selanjutnya masuk kepada tahapan visualisasi citra dan masking awan. Data citra yang akan digunakan pada penelitian ini diambil dari empat tahun yang berbeda yakni tahun 2021 hingga tahun 2024 untuk melihat perubahan temporal sebaran lamun.

Berikut adalah tampilan dari keempat citra yang siap diolah:

Vis

Gambar 3. Visualisasi awal citra, (a) Citra Sentinel-2A tahun 2021, (b) Citra Sentinel-2A tahun 2022, (c) Citra Sentinel-2A tahun 2023, (d) Citra Sentinel-2A tahun 2024

Adapun beberapa citra yang akan digunakan pada penelitian ini sudah dirata-ratakan menggunakan kode pemrograman median kemudian disajikan dalam bentuk tabel berikut:

Med

Tahap selanjutnya yakni dengan melakukan koreksi permukaan perairan. Interpretasi fotografi objek yang berada dalam air dapat terhambat oleh variasi kedalaman air yang sulit dibedakan dari perbedaan warna dasar. Selain itu, efek pantulan permukaan (Cahaya matahari) dapat menambah tingkat kompleksitas pada interpretasi fotografi. Penggunaan data pemindai multispektral yang direkam secara digital membuka kemungkinan untuk melakukan koreksi terhadap efek pantulan permukaan. Metode Lyzenga (1981), yang juga dikenal sebagai metode depth invariant index atau metode water column correction (koreksi kolom air), telah diakui sebagai suatu pendekatan yang efektif untuk mengatasi kesalahan identifikasi spektral habitat yang disebabkan oleh faktor kedalaman di lingkungan perairan. Tujuan dari koreksi kolom air ini adalah untuk mengeliminasi dampak kedalaman sehingga indeks yang dihasilkan menjadi lebih konsisten dan tidak dipengaruhi oleh variasi dalam ketebalan kolom air.

Berikut ini adalah rumus yang digunakan dalam penelitian ini:

Lyz 1

ki/kj merupakan rasio koefisien atenuasi antara kanal biru dan kanal hijau. Panjang gelombang dari kanal yang digunakan akan mempengaruhi seberapa dalam kanal tersebut dapat mendeteksi dasar dari perairan. Kanal biru dan kanal hijau memiliki panjang gelombang dengan penetrasi terbaik diantara kanal yang lain.

Lyz 2

Citra yang digunakan adalah citra dengan komposit kanal 432 pada Sentinel-2A, Substrat pasir memiliki nilai reflektansi yang besar, sehingga nilainya dapat digunakan sebagai acuan dalam koreksi kolom air pada suatu citra. Sehingga pada penelitian ini melakukan ekstraksi nilai raster pada kanal 3 dan kanal 2 dengan membuat digitasi point dari pasir maupun objek lain yang dianggap mampu mewakili objek sebenarnya di lapangan.

Setelah itu masuk kedalam tahapan pengklasifikasian citra. Pemrosesan citra satelit pada tahun yang berbeda dilakukan dengan menggunakan satu skema atau metode klasifikasi. Metode klasifikasi tersebut adalah tidak terbimbing. Klasifikasi tak terbimbing menggunakan algoritma k-means. Klasifikasi tidak terbimbing dilakukan dengan mengelompokkan piksel pada citra menjadi beberapa kelas berdasarkan analisa statistik pada sebaran nilai piksel (digital number). Prinsip dari klasifikasi k-means adalah mengklasifikasikan nilai piksel berdasarkan pada nilai K yang merupakan jumlah konstanta kelas yang diinginkan (cluster). Satu langkah yang penting adalah penentuan jumlah kelas dalam analisa statistik sebaran nilai piksel/digital number. Jumlah kelas yang ditentukan adalah sebanyak 17 yang kemudian nantinya akan direklasifikasi menjadi 4 kelas berdasarkan objek yang terlihat pada citra resolusi tinggi maxar google earth engine dan data hasil pengamatan dari survey lapangan.

Dari kedua klasifikasi yang telah dilakukan kemudian ditentukan stasiun dan titik pengamatan. Hasil pengklasifikasian citra akan menghasilkan jenis kelas yang sama namun interpretasi yang berbeda. Setiap kelas tersebut diberikan 1-2 perwakilan titik pengamatan yang menginterpretasikan keterwakilan objek perairan dan kondisi padang lamun. Total titik yang akan diambil adalah sebanyak 30 titik. Titik yang diperoleh telah terdapat koordinat yang digunakan untuk melakukan survei lapangan dengan melihat secara visual objek sebenarnya di lapangan pada titik tersebut. Penentuan titik sampel menggunakan metode purposive sampling.

Selanjutnya setelah data lapangan sudah didapatkan kemudian citra akan direklasifikasi dan disesuaikan dengan data lapangan yang sudah diambil. Hasil dari citra yang telah diklasifikasi selanjutnya dihubungkan dengan menggunakan confusion matrix untuk melihat akurasi hasil citra digital dengan hasil pengecekan di lapangan. . Uji ketelitian ini merupakan suatu cara yang cukup efektif digunakan untuk mengetahui ketelitian yang diperoleh dari hasil interpretasi citra/foto udara dengan keadaan sesungguhnya di lapangan. Pendekatan statistik untuk mengukur kesalahan ini adalah pemilihan acak piksel dari peta klasifikasi dan membandingkannya dengan peta referensi yang kemudian akan menghasilkan matriks konfusi. Informasi statistik utama berasal dari confusion matrix adalah akurasi keseluruhan (overall accuracy), akurasi produsen (producers accuracy), akurasi pengguna (user accuracy) (Akpoti et al., 2016). Akurasi keseluruhan atau overall accuracy adalah nilai akurasi total dari hasil klasifikasi. Ketelitian hasil klasifikasi haruslah mempunyai nilai minimum 80% menurut Carletta (1996) dan/atau 85% berdasarkan pernyataan Anderson (1976).

Tabel

HASIL

Setelah keempat citra sudah melewati tahapan visualisasi, selanjutnya citra satelit akan dilakukan koreksi permukaan perairan. Langkah pertama yakni mengkestraksi nilai rerata laut dalam untuk kemudian dimasukkan kedalam persamaan Xij. Setelah dimasukkan, kemudian nilai koefisien attenuasi akan muncul yang dimana nantinya akan dimasukkan pada persamaan akhir (Yij) Lyzenga (1981) dengan menambahkan hasil ekstraksi nilai raster pada kanal 3 dan kanal 2 yang telah dilakukan pada objek pasir.

Berikut adalah nilai koefisien attenuasi yang telah didapatkan:

Koefisien Attenuasi

Gambar 6. Nilai koefisien attenuasi

Hasil penampakan citra setelah menerapkan rumus transformasi depht invariant index Lyzenga dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Xij

Gambar 7. Implementasi Persamaan Xij

Yij

Gambar 8. Implementasi Persamaan Yij

Setelah dilakukan koreksi permukaan perairan, selanjutnya masuk kedalam tahap pengklasifikasian citra. Unsupervised k-means mengelompokkan piksel-piksel ke dalam kelas tertentu. Dengan menggunakan citra yang sudah dilakukan transformasi ke persamaan depht invariant index.

Adapun dibawah ini adalah tampilan keempat citra yang telah dilakukan pengklasifikasian citra.

KM

Gambar 9. Hasil klasifikasi citra dengan algoritma k-means

Hasil klasifikasi tersebut kemudian diberikan titik penanda yang akan dijadikan sebagai titik groundtruthing di lokasi penelitian. Jumlah keseluruhan titik groundtruthing sebanyak 30 titik.

Sampling

Gambar 10. Groundtruthing penelitian

Dari titik groundtruthing yang telah diambil dari lapangan kemudian dilakukan reklasifikasi untuk menyesuaikan data tersebut dengan kelas yang ada pada pengolahan citra sebelumnya. Pada penelitian ini kelas yang dibuat hanya terdiri dari dua kelas yakni kelas Lamun dan Non-lamun.

Reklasifikasi

Gambar 11. Hasil reklasifikasi padang lamun

Kemudian hasil reklasifikasi tersebut digunakan untuk melakukan uji akurasi. Dari hasil uji akurasi yang keluar diharapkan nantinya agar nilai akurasi keseluruhan melewati 85%.

UA

UA2

Gambar 12. Hasil uji akurasi ketelitian keseluruhan

Setelah hasil uji akurasi dikatakan sudah melewati nilai standar, selanjutnya dilakukan perhitungan luasan lahan untuk mencari tahu apakah ada perubahan luasan tiap tahunnya atau tidak.

Berikut dibawah ini adalah hasil perhitungan luasan lahan padang lamun keseluruhan yang dihitung menggunakan aplikasi ArcGIS.

Luas

Gambar 13. Hasil perhitungan perubahan luasan padang lamun tiap tahun yang berbeda

PEMBAHASAN

Pemrosesan citra satelit pada penelitian ini pada empat tahun yang berbeda dilakukan dengan menggunakan satu metode klasifikasi yakni klasifikasi tak terbimbing. Klasifikasi yang digunakan adalah algoritma k-Means. K-means adalah algoritma pembelajaran mesin yang sering digunakan untuk klasifikasi. K-means adalah algoritma clustering yang membagi data menjadi kelompok berdasarkan kedekatannya (Kumar & Manikandan, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian diatas, didapatkan nilai akurasi keseluruhan untuk tahun 2021 dan 2024 sebesar 93,3. Tahun 2022 dan tahun 2023 mendapatkan nilai akurasi keseluruhan yang sama yakni 96,7. hasil tersebut menunjukkan bahwa peta sebaran lamun bisa diterima dan dijadikan acuan untuk keadaan di lapangan yang sebenarnya juga bisa dijadikan acuan untul mengestimasi luasan padang lamun.

Berdasarkan perhitungan luasan padang lamun yang dilakukan pada keempat citra tersebut, nampak terlihat ada perubahan tiap tahunnya walaupun tidak signifikan. Luasan lamun juga terlihat bertambah tiap tahunnya. Penambahan luasan padang lamun tergantung dari dua faktor yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal itu sendiri dikarenakan bagaimana lamun itu memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Ada jenis atau spesies lamun yang menyebarkan bibit dibawah permukaan sedimen sehingga penyebarannya setelah tumbuh hanya berjarak sekitar beberapa centimeter. Ada juga spesies lamun yang menyebarkan bibit dan buahnya pada kolom perairan sehingga daerah penyebarannya luas hingga kurang lebih 15 km. Adapun untuk faktor eksternal persebaran lamun dapat berupa faktor biotik dan abiotik. Arus dan angin adalah penyebab abiotik terbawanya benih lamun ketempat yang baru sedangkan untuk faktor biotik penyebab utamanya ialah seperti penyu dan ikan yang tidak sengaja membawa benih lamun ketempat yang jauh (Adi, 2015).

REFERENSI

  • Adi, W. 2015. Kajian Perubahan Luasan Padang Lamun Dengan Penginderaan Jauh Di Pulau Lepar Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Maspari Journal. 71-78.
  • Akpoti, K., Antwi, E. O., & Kabo-bah, A. T. 2016. Impacts of Rainfall Variability, Land Use and Land Cover Change on Stream Flow of the Black Volta Basin, West Africa. Hydrology, 1-24.
  • Anderson, J. R. 1976. A Land Use and Land Cover Classification System For Use With Remote Sensor Data. Washington, USA: US Government Printing Office.
  • Hadi, B. S. 2019. Penginderaan Jauh: Pengantar ke Arah Pembelajaran Berpikir Spasial. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
  • Hartono, D., Zamdial, Anggoro, A., Sugara, A., & Siregar, A. O. 2022. Pemetaan Sebaran dan Tutupan Lamun Menggunakan Citra Satelit Sentinel-2 di Pulau Dua Kecamatan Enggano Provinsi Bengkulu. Jurnal Laut Khatulistiwa, 125-137.
  • Kumar, R. S., & Manikandan, P. 2018. Medical Big Data Classification Using a Combination of Random Forest Classifier and K-Means Clustering. Intelligent Systems and Applications, 11-19.
  • Lyzenga, D. R. 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. Int. J. Remote Sensing. 71-82.
  • Rahmawati, S., Irawan, A., Supriyadi, I. H., & Azkab, M. K. 2014. Panduan Monitoring Padang Lamun. Jakarta: Sarana Komunikasi Utama.
  • Tangke, U. 2010. Ekosistem Padang Lamun (Manfaat, Fungsi dan Rehabilitasi). Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (Agrikan UMMU-Ternate) , 9-29.

Data Publications