Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan sebagai Rekomendasi Penataan dan Pengembangan Ekowisata di Pulau Pahawang

27/07/2021 • Fatimah Azzahra Nurul Afifah

Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan sebagai Rekomendasi Penataan dan Pengembangan Ekowisata di Pulau Pahawang


Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan sebagai
Rekomendasi Penataan dan Pengembangan Ekowisata di 
Pulau Pahawang
Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan sebagai Rekomendasi Penataan dan Pengembangan Ekowisata di Pulau Pahawang

PENDAHULUAN

Pulau kecil merupakan daerah daratan dan lautan yang rentan terhadap gangguan dan perubahan. Wilayah yang terbatas serta dikelilingi air laut berdampak pada ketergantungan pulau kecil terhadap pengaruh luar, baik secara alami (bencana alam) maupun kegiatan manusia (ekonomi). Ketergantungan ini akan berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat yang menghuni pulau kecil, dan dapat berakibat timbul berbagai aktivitas konversi lahan. Pulau kecil memiliki sumber daya yang mumpuni untuk membentuk kestabilan ekosistemnya. Sumber daya yang dimiliki pulau kecil dari darat hingga pesisir yakni hutan, agroforestry, mangrove hingga satwa.

Seperti salah satu pulau kecil di Kabupaten Pesawaran yaitu Pulau Pahawang, pulau ini memiliki keindahan alam yang nyata dan menjadi salah satu spot wisata populer di Provinsi Lampung. Pulau yang memiliki banyak daya tarik seperti pantai berwarna putih bersih, air laut yang memiliki gradasi 3 warna, pemandangan dengan baik di daratan (bukit pepohonan) hingga di bawah laut (karang) yang indah. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan menjadi objek wisata bahari dengan jumlah kedatangan tertinggi di Kabupaten Pesawaran. Berdasarkan data Disparekraf Kabupaten Pesawaran tahun 2019, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pahawang mencapai 90.000 wisatawan. Berdasarkan data tersebut, besar kemungkinan di masa yang akan datang pariwisata di Pulau Pahawang akan terus berkembang. Tekanan maraknya jumlah pengunjung yang datang, tentu akan berakibat pada aktivitas masyarakat Pulau Pahawang.

Tekanan aktivitas manusia terhadap sumber daya alam di pulau kecil akan berdampak pada keberlanjutan ekologi (Koroy et al., 2017). Terdapat empat kendala pembangunan di pulau kecil yang harus dipertimbangkan dalam penilaian ekonomi sumber daya pulau kecil, yaitu ukurannya yang kecil, isolasi, ketergantungan dan kerentanannya (Zulrizkan et al., 2018). Keberlangsungan stabilitas ekosistem di pulau kecil juga dipengaruhi oleh aktivitas pembangunan. Di sisi lain, pembangunan akan berdampak pada kualitas lingkungan pulau kecil. Jika aktivitas ini marak terjadi, pulau kecil yang unik dengan memiliki beragam ekosistem dan satwa yang sumber daya dihimpun akan terancam keberadaanya. Namun demikian pulau kecil jika dikelola secara baik dapat menjadi pulau kecil yang berkelanjutan. Salah satu solusi untuk menciptakan kawasan wisata ramah lingkungan ialah dengan menerapkan sistem ekowisata.

Ekowisata dijadikan sebagai alternatif untuk peningkatan kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya (Azharo et al, 2019). Pengembangan ekowisata diperlukan suatu upaya yang tepat yang secara langsung memanfaatkan sumber daya alam sebagai aset. Hal ini sudah seharusnya menjadi prioritas dalam pengembangan ekowisata. Ekowisata dapat dijadikan alternatif untuk mengembangkan potensi kawasan hutan di Pulau Pahawang yang tidak hanya berfokus kepada fungsi ekologis, namun dapat berfokus pada fungsi ekonomis. Dalam pembuatan sistem ekowisata, hal yang harus diperhatikan ialah penggunaan lahan serta sumber daya alam yang dimiliki di lokasi tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perubahan lahan yang terjadi di Pulau Pahawang di tahun 2006, 2014 dan 2021, mengetahui sebaran sarana prasarana penunjang wisata di Pulau Pahawang serta arah pengembangan ekowisata di Pulau Pahawang.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2021 di Pulau Pahawang, Kabupaten Pesawaran. Objek penelitian ini adalah Pulau Pahawang serta sumber daya yang dimilikinya. Alat yang digunakan adalah GPS (Geographic Possitioning System) Garmin 64s, kamera, dan laptop yang dilengkapi dengan aplikasi program software ArcGis 10.3, Google Earth dan Microsoft Office. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data spasial dan data atribut. Data spasial terdiri dari citra Pulau Pahawang perekaman tahun 2006, 2014 dan 2021 dengan kualitas 4800x2722 pixel yang di unduh melalui platform Google Earth Pro dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI). Data atribut merupakan data yang berbentuk tulisan maupun angka-angka (Sinaga & Darmawan, 2014). Data tersebut di antara data kependudukan, data analisis perubahan lahan dan data penunjang.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara: (1) observasi/pengamatan langsung di lapangan, (2) wawancara. (3) pengamatan dengan menggunakan software ArcMap 10.3. Tahap pengelolaan data citra meliputi perbaikan citra (image restoration), koreksi geometri, klasifikasi citra (Image classification), pemeriksaan lapangan (ground truth), dan pengukuran akurasi (accuracy assessment). Analisis perubahan penutupan lahan dianalisa dengan melakukan overlay pada tiap-tiap citra sehingga akan terlihat perubahan penutupan selama kurun waktu tertentu.

Perhitungan accuracy assessment dilakukan menggunakan software Microsoft Excel 2013 dengan membandingkan interpretasi citra pada komputer dan pengecekan lapangan (ground truth). Ground truth) dilakukan untuk mendapatkan kebenaran adanya perubahan lahan tahun 2006, 2014 dan 2019 dengan metode overlay (tumpang susun data). Kuadran hasil overlay tutupan lahan disajikan dalam bentuk layout peta perubahan tutupan lahan dan tabulasi data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi

Pulau Pahawang merupakan bagian dari gugusan pulau kecil yang berada di wilayah perairan Kabupaten Pesawaran. Pulau Pahawang berdekatan dengan Teluk Punduh Pedada yang secara spesifik terletak di 5⁰41’53”-5⁰39’02” LS dan 105⁰11’44”-105⁰14’59”BT (Hakim et al., 2018). Pulau Pahawang juga merupakan satu dari berbagai macam pulau besar yang dihuni penduduk dan memiliki wisata bahari. Pulau Pahawang menggunakan konsep pariwisata berkelanjutan untuk wisata berbasis konservasi terutama pada terumbu karang dan hutan mangrove yang dibantu oleh Mitra Bentala, dan LSM berbasis lingkungan (Murlianto et al., 2017).

Pulau Pahawang terbagi menjadi beberapa dusun, diantaranya: Dusun Suak Buah, Dusun Jelarangan, Dusun Kalangan, Dusun Cukuh Nyai, dan Dusun Pesanggahan dengan jumlah penduduk total 1679 jiwa (Mardani et al., 2017). Pulau Pahawang juga memiliki sumber daya alam yang dimiliki, seperti hutan mangrove dengan total luasan menurut mencapai 141,94 ha, ekosistem perairan dangkal mencapai total luasan 3,3 km2 yang mengelilingi Pulau Pahawang, serta total luasan vegetasi daratan mencapai ± 880 ha (Febryano, 2014). Menurut Wahyuni et al. (2020)karakteristik tutupan lahan di Pulau Pahawang meliputi pemukiman, agroforestri, hutan mangrove, hutan marga dan tambak.

Desa Pulau Pahawang di tahun 2017 didominasi oleh lahan perkebunan rakyat seluas 529.5 ha atau sebesar 56.56% dengan luas hutan mangrove 15.163%, luas pemukiman 8,01%, dan tanah rawa 7.51% (Utami dan Mardiana, 2017). Kawasan Pulau Pahawang memiliki keragaman budaya yang berasal dari suku Lampung asli, suku Sunda dan sebagian kecil lainnya berasal dari Lampung Pesisir, Bugis, Padang dan Jawa dan masyarakat pendatang lainnya (Jainah dan Marpaung, 2017). Pulau Pahawang mulai menjadi destinasi wisata yang banyak dikunjungi untuk melakukan kegiatan wisata pantai, wisata mangrove maupun wisata snorkeling, meskipun Pulau Pahawang termasuk endemik malaria (Yulianti et al., 2013).

Perubahan Penggunaan Lahan Agroforestri

Penafsiran citra dilakukan secara visual pada layar komputer (on screen digitalizing) dengan menggunakan aplikasi berbasis Geography Information System (GIS). Hasil akhir penafsiran tutupan lahan dihitung akurasinya dengan melakukan pengecekan lapangan. Luas Pulau Pahawang berdasarkan hasil analisis sebesar 729,925 ha yang mencakup klasifikasi lahan dengan tingkat akurasi menggunakan matriks konfusi mencapai 92,53%.

Secara umum di lokasi penelitian diklasifikasikan ke dalam enam tipe tutupan lahan yaitu agroforestri, hutan primer, pemukiman, tambak, dan mangrove. Tabel 1 menginformasikan jenis, luas dan masing-masing perubahan tutupan lahan di Pulau Pahawang tahun 2006, 2014 dan 2021. Peta perubahan tutupan lahan di Pulau Pahawang tahun 2006, 2014 dan 2021 pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa perubahan tutupan lahan pada umumnya terjadi di lahan hutan primer, agroforestri dan pemukiman.

Tabel 1. Luas penggunaan lahan di Pulau Pahawang

Penggunaan Lahan

Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan sebagai
Rekomendasi Penataan dan Pengembangan Ekowisata di 
Pulau Pahawang

Tutupan lahan di Pulau Pahawang didominasi tutupan agroforestri dan hutan primer. Santoso et al, (2017)menjelaskan bahwa adanya identifikasi tutup lahan menunjukkan terjadinya beberapa tren perubahan. Selama periode 2006-2021, perubahan tutupan lahan terbesar adalah perubahan lahan hutan primer dan mangrove, dilanjutkan dengan perubahan lahan agroforestri yang mengalami dinamika luasan. Lahan terbangun yang terdiri dari pemukiman, dan tambak mengalami kenaikan luasan yang signifikan. Kenaikan lahan terbangun ini tentu akan berdampak pada ketersediaan lahan agroforestri, mangrove dan hutan primer di Pulau Pahawang

Perubahan tutupan lahan selama tahun 2006 hingga 2021, di antaranya penurunan lahan hutan primer diikuti dengan meningkatnya lahan terbangun. Hutan di Pulau Pahawang didominasi oleh agroforestri, hutan primer dan mangrove. Luas hutan keseluruhan di tahun 2021 sebesar 677,89 ha, dengan luas lahan agroforestri sebesar 512,05 ha, 82,39 ha luas lahan hutan primer dan 83,46 ha luas lahan mangrove. Lahan agroforestri tersebar merata di seluruh pulau yang berdekatan dengan pemukiman, sedangkan lahan hutan primer didominasi oleh hutan lebat yang berada di daratan tinggi pulau.

Hutan primer di Pulau Pahawang difungsikan sebagai pasokan sumber air bersih utama serta penunjang utama aspek ekologis lainnya, dan pada tahun 2013 dilancarkan rencana PAMSIMAS (Program Nasional Penyediaan Air Minum dan Sanitasi). Program ini merupakan salah satu program yang dilaksanakan pemerintah Indonesia untuk mengakses pelayanan air minum dan sanitasi dalam capaian penerapan perilaku hidup bersih sehat di wilayah pedesaan hingga pinggiran kota (Fitriyani dan Rahdriawan, 2015). Akan tetapi program ini terkendala birokrasi dari pemerintah daerah. Saat ini, upaya masyarakat dalam mengakses sumber air bersih hanya sumur bor sederhana yang digali dalam dengan diameter yang besar dan dialirkan ke rumah-rumah warga. Tidak ada jaminan bahwa hutan primer akan konstan luasannya.

Terjadi penurunan luasan hutan primer di tahun 2006 sampai 2021 seluas 9,08 ha. Penurunan luasan di hutan primer ini disebabkan konversi hutan untuk agroforestri dan berakibat peningkatan luas agroforestri sebesar 9,53 ha di periode 2006-2014. Perubahan luasan lahan agroforestri mengalami naik-turun, di periode 2006–2014 lahan agroforestri mengalami kenaikan sebesar 9,53 ha, dan terjadi penurunan luas di periode 2014-2021 seluas 6,51 ha.

Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan sebagai
Rekomendasi Penataan dan Pengembangan Ekowisata di 
Pulau Pahawang

Gambar 1. Peta penggunaan lahan Pulau Pahawang

Kenaikan luas lahan agroforestri dimulai pada tahun 2004. Hal ini terjadi dikarenakan adanya pelaksanaan proyek operasi nasional agraria (PRONA) di Kabupaten Pesawaran. Prona adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah yang berupa pendataan tanah (sertifikat) dilaksanakan secara massal dan penyelesaian sengketa tanah yang bersifat strategis (Herry, 2012). Implementasi Prona di Kabupaten Pesawaran khususnya di Pulau Pahawang mempengaruhi luasan tanah dan kepemilikan tanah. Masyarakat melakukan pendaftaran tanah untuk pertama kali dengan tujuan jaminan akan kepastian hukum di bidang pertanahan. Program ini menghasilkan 102 sertifikat tanah yang dimiliki oleh penduduk dalam maupun di luar Pulau Pahawang. Ketidakmampuan membayar pajak disertai dengan kurangnya pengetahuan dan pengarahan terkait pertanahan juga memicu tingginya jual beli tanah dengan investor, sehingga lahan milik warga semakin terbatas. Menurut Sutaryono, (2016) isu-isu mengenai penjualan pulau kecil terhadap swasta atau pihak asing merupakan persoalan serius yang perlu segera diantisipasi. Adanya proses sertifikasi tanah dapat menyebabkan jaminan hukum atas tanah kepemilikan (Trifina et al., 2019), sehingga investor semakin tertarik untuk membeli lahan meskipun harga yang ditawarkan meningkat drastis per tahunnya.

Tingginya harga yang ditawarkan investor untuk tanah kawasan pesisir, membuat masyarakat tidak ada pilihan lain. Tekanan ekonomi yang terus terjadi sangat berdampak pada keputusan masyarakat. Adanya sertifikat tanah yang sudah dipegang masyarakat sejak tahun 2018 membuat harga tanah per-hektar semakin tinggi per tahunnya. Perubahan harga tanah per-hektar bervariasi dari tahun ke tahun. Di tahun 2014 harga tanah untuk 1m3 mencapai di atas Rp 5.000.000. Tahun 2015 harga untuk 1 hektar tanah seharga berkisar Rp 100.000.000 - Rp 400.000.000, tahun 2016-2017 berkisar antara Rp 500.000.000 juta, tahun 2018-2019 berkisar antara Rp 1.000.000.000, dan di tahun 2020-2021 untuk harga 1 hektar mencapai Rp 3.000.000.000.000. Menurut Febryano et al. (2014) bahwa booming pariwisata terjadi di Pulau Pahawang dimulai dari tahun 2014, ini yang menyebabkan harga tanah per-tahun selalu mengalami kenaikan.

Lahan di Pulau Pahawang tidak seluruhnya dimiliki oleh investor, yang dimiliki oleh investor adalah lahan pesisir sedangkan lahan di kawasan agroforestri dimiliki oleh masyarakat Pahawang. Harga tanah yang berada di kawasan agroforestri sangat jauh dengan harga tanah di pesisir. Investor berpendapat bahwa tanah yang berada di dalam kawasan agroforestri tidak strategis untuk pembangunan wisata. Pembangunan wisata yang berada di pesisir pulau dapat memicu kenaikan luas lahan terbangun. Hal tersebut yang membuat lahan agroforestri menurun pada periode 2014-2021 seluas 6,51 ha, diikuti dengan kenaikan luas lahan terbangun hingga 5,7 ha.

Lahan terbangun meliputi pemukiman baik padat maupun jarang, kawasan perkantoran serta sarana prasarana sosial ekonomi lainnya (Wahyudi et al., 2019). Lahan terbangun di Pulau Pahawang pada tahun 2021 seluas 9,81 ha dari luas keseluruhan pulau. Lahan terbangun dominan berada di bagian utara dan barat pulau serta tersebar acak di setiap wilayah dengan luasan yang beragam. Kenaikan luasan ini disebabkan pembangunan yang dilakukan terus menerus oleh masyarakat ataupun investor. Dusun Penggetahan, Pahawang dan Jelarangan merupakan lahan terbangun yang mendominasi dari total keseluruhan lahan terbangun. Infrastruktur di Pulau Pahawang memiliki kantor pemerintahan desa, puskesmas, posyandu di setiap dusun, area pendidikan (PAUD, SD, SMP, SMA), dan memiliki dermaga di setiap dusun serta di lokasi vila (wisata).

Pulau ini merupakan salah satu destinasi wisata unggul di Provinsi Lampung. Banyaknya wisatawan yang berkunjung ke pulau ini mengakibatkan lahan terbangun mengalami kenaikan luasan dari periode 2006–2019 dengan membangun vila, cottageataupun homestay. Vila Andreas dan cottage Nurhadi bertempat di Dusun Pahawang, sedangkan di Dusun Penggetahan memiliki 10 unit homestay dengan 4 pengelola. Dusun Jelarangan memiliki 7 unit vila dengan 5 pengelola dan 35 unit homestay. Sementara itu, dusun Cukuh Nyai memiliki 12 unit vila. Homestay yang disewakan merupakan rumah biasa (rumah warga) yang sebagian kamarnya disewakan kepada tamu dengan harga yang lebih murah. Vila dan cottage Andreas, La Nadya dan Vila Turi menjadi tempat favorit untuk disewakan pengunjung.

Vila populer tersebut telah melakukan konversi lahan dengan membuka lahan agroforestri dan lahan mangrove. Lokasi vila yang strategis dan indah, menyebabkan investor melakukan pembangunan secara terus menerus. Vila Andreas yang dibuka pada tahun 2018 ini memulai membuka lahan mangrove untuk pembangunan vila di atas laut, didukung dengan kunjungan wisatawan secara terus menerus membuat investor kembali melakukan pembangunan dengan membuka lahan agroforestri. Selain membangun vila, para investor juga membangun dermaga dengan membuka lahan mangrove, sedangkan Vila La Nadya dan Vila Turi, vila yang dibuka pada tahun 2018 ini tidak membuka lahan mangrove, tetapi membuka lahan agroforestri. Vila ini populer di kalangan pengunjung, karena memiliki pemandangan pantai dan laut lepas. Pemilik vila ini bukan penduduk Pahawang, pemilik ini membeli lahan dari warga lalu melakukan pembangunan.

Tingginya minat investor untuk membeli lahan masih menjadi topik masalah utama dalam penggunaan lahan di Pulau Pahawang. Sesuai dengan Duka et al. (2020) pencepatan perubahan lahan diindikasikan dengan peningkatan jumlah penduduk, aktivitas dan proses pembangunan. Tetapi pembangunan wisata yang terjadi di Pulau Pahawang berdampak positif dari segi ekonomi. Adanya pembangunan wisata memberikan potensi besar dari segi ekonomi (Koroy et al., 2017) dan menjadi salah satu instrumen dalam pembangunan ekonomi (Ketjulan et al.,2019). Salampessy et al. (2015)menyampaikan bahwa peran masyarakat pesisir sangat penting bagi upaya keberlanjutan hutan di wilayah pesisir, dengan dilakukannya rancangan pengelolan yang baik untuk menghindari alih fungsi lahan. Febryano et al.(2015)menyampaikan bahwa ketegasan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan dapat didorong dan memberikan tekanan pada semua pihak yang terkait pengelolaan pesisir dan pulau kecil.

Ekowisata di Pulau Pahawang

Ekowisata dapat menjadi solusi efektif untuk menekan laju perubahan lahan yang terjadi di Pulau Pahawang. Tentu, ekowisata di kawasan ini belum dikelola atau dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Pahawang. Saat ini Pulau Pahawang sedang melakukan pengembangan pariwisata berkelanjutan (Nurhasanah et al., 2017; Febryano, 2017). Fokus pengembangan destinasi wisatanya ditujukan untuk konservasi dengan destinasi wisata terutama terumbu karang dan konservasi mangrove (Muliarto et al., 2017; Febryano et al., 2012).

Pulau Pahawang memiliki satwa endemik yaitu Lutung (Trachypithecus cristatus) yang tersebar merata di kawasan hutan di Pulau Pahawang. Lutung merupakan salah satu satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 tahun 2018. Berdasarkan penelitian Wahyuni et al., (2020), keberadaan lutung di Pulau Pahawang tersebar di 23 titik lokasi dengan 23 kelompok, yang asing-masing kelompok memiliki jumlah individu. Jumlah individu pada tiap kelompok bervariasi dari 6 ekor hingga 12 ekor. Jumlah total satwa yang ditemukan yaitu 184 ekor. Sebaran lutung ini sebagian besar dapat ditemukan di kawasan agroforestry dan mangrove (Gambar 2).

Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan sebagai
Rekomendasi Penataan dan Pengembangan Ekowisata di 
Pulau Pahawang

Gambar 2. Lutung yang berada di kawasan agroforestri.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memberikan nilai tambah pada kawasan wisata adalah dengan interpretasi alam yang mempunyai tujuan sebagai media komunikasi antara sumber daya alam dan manusia yang berinteraksi dengannya. Dengan interpretasi alam diharapkan kesadaran para pengunjung atau siapa pun yang berinteraksi dengan Pulau Pahawang dalam memahami arti penting Pulau Pahawang menjadi semakin baik. Untuk verifikasi data pembuatan jalur interpretasi, dipilih jalur yang sering dilewati pengunjung ataupun masyarakat yang mudah diakses dan dapat menjadi penghubung dari dusun ke dusun.

Sarana dan prasarana menjadi penunjang berhasilnya pembuatan jalur interpretasi, terdapat vila, cottage, homestayhingga rumah makan yang tersebar di jalur interpretasi dapat menjadi nilai tambah dalam pembangunan ekowisata di Pulau Pahawang. Selain itu, pembangunan pos untuk pengamatan lutung untuk ekowisata sangat dianjurkan. Pembuatan pos ini, selain menambah pemasukan warga juga bermanfaat untuk menekan jumlah perubahan lahan yang terus terjadi.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, sebanding dengan data selalu menurunnya luasan hutan akibat tekanan wisata, maka perencanaan jalur interpretasi alam layak dilakukan di jalur yang terpilih dan memiliki banyak akses dengan pembuatan peta jalur dan rencana kegiatan interpretasi. Menurut Fandeli (2000), tujuan dilakukannya program ini ialah untuk melindungi dan melestarikan lingkungan sedemikian rupa sehingga menekan sekecil mungkin dampak terhadap lingkungan dan sosial budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun demikian, masyarakat atau pengelola perlu memperhatikan kemungkinan timbulnya dapat negatif terhadap ekosistem di Pulau Pahawang.

KESIMPULAN

Penggunaan lahan agroforestri di Pulau Pahawang tahun 2006, 2014, dan 2021 menunjukkan peningkatan dan penurunan luas. Peningkatan terjadi pada periode 2006-2014 sebesar 9,53 ha dan penurunannya terjadi pada periode 2014-2019 yang mencapai 6,51 ha. Penurunan tersebut akibat adanya praktek jual beli lahan. Dibalik luasan hutan yang kian menipis, ada satwa seperti lutung yang perlu dijaga habitatnya. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang berpihak pada masyarakat lokal agar mereka tidak menjual lahannya ke investor. Skema kemitraan dan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dapat menjadi salah satu alternatif solusi dengan tetap mempertahankan kondisi eksisting hutan agar tetap menunjang keberlanjutannya.

REFERENSI

Azharo, A., Suwondo., Putera, R.M., Pengelolaan Ekowisata Berkelanjutan Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio. Prosiding Seminar Nasional Pelestarian Lingkungan (Pekanbaru, 16 November 2019)

Duka, M., Lihawa, F. & Rahim, S. 2020. Perubahan tutupan lahan dan pengaruhnya terhadap pola persebaran suhu di Kota Gorontalo. Jambura Geoscience Review, 2(1), 16–29. https://doi.org/10.34312/jgeosrev.v2i1.2682

Fandeli C. 2000. Pengembangan ekowisata dengan paradigma baru pengelolaan areal konservasi. Di dalam: Fandeli C, Mukhlison, editor. Pengusahaan Ekowisata. Edisi 1. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Febryano, I.G., Suharjito, D., Darusman, D., Kusmana, C. & Hidayat, A. 2015. Aktor dan relasi kekuasaan dalam pengelolaan mangrove di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 12(2), 123–138.

Febryano, I.G, Suharjito, D., Darusman, D., Kusmana, C. & Hidayat, A. 2014. The roles and sustainability of local institutions of mangrove management in Pahawang Island. Journal of Tropical Forest Management, 20(2), 69–76. https://doi.org/10.7226/jtfm.20.2.69

Febryano, I.G. 2014. Politik ekologi pengelolaan mangrove di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 131 hlm.

Fitriyani, N. & Rahdriawan, M. 2015. Evaluasi pemanfaatan air bersih program pamsimas di Kecamatan Tembalang. Jurnal Pengembangan Kota, 3(2), 80. https://doi.org/10.14710/jpk.3.2.80-89

Hakim, L., Lazuardi, W., Astuty, I., Hadi, A., Hermayani, R., Noviandial, D. & Dewi, A. C. 2018. Assessing worldview-2 satellite imagery accuracy for bathymetry mapping in Pahawang Island, Lampung, Indonesia A. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science, 165, 120–127.

Herry, M. 2012. Implementasi program prona. De Jure, Jurnal Syariah Dan Hukum, 4(2), 187–200.

Jainah, Z. O. & Marpaung, L. A. 2017. Pelaksanaan kearifan lokal di kawasan wisata Pulau Pahawang, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Jurnal Keadilan Progresif, 8(2), 40–44.

Ketjulan, R., Boer, M., Zulhamsyah, I. & Siregar, V. 2019. Daya dukung lahan untuk pemukiman penduduk dan implikasinya terhadap kualitas perairan di pulau-pulau kecil (Kasus Pulau-Pulau Kecil Selat Tiworo Kabupaten Muna Barat). Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, 11(3), 569–582.

Koroy, K., Yulianda, F. & Butet, N. A. 2017. Pengembangan ekowisata bahari berbasis sumberdaya pulau- tengah marine resource based ecotourism development of small islands in Sayafi And Liwo Island , Central Halmahera. Jurnal Teknologi Perikanan Dan Kelautan, 8(1), 1–17.

Mardani, A., Purwanti, F. & Rudiyanti, S. 2017. Strategi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di Pulau Pahawang Propinsi Lampung. Journal of Maquares, 6(1), 1–9.

Nurhasanah, I.S. & Persada, C. 2018. Evaluasi keberlanjutan wisata bahari Pulau Pahawang Kabupaten Pesawaran. Plano Madani, 7, 59-68.

Salampessy, M.L., Febryano, I.G., Martin, E., Siahaya, M.E. & Papilaya, R. 2015. Cultural capital of the communities in the mangrove conservation in the coastal areas of Ambon Dalam Bay, Moluccas, Indonesia. Procedia Environmental Sciences, 23(May 2016), 222–229. https://doi.org/10.1016/j.proenv.2015.01.034

Sinaga, R. & Darmawan, A. 2014. Perubahan tutupan lahan di Resort Pugung Tampak Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Jurnal Sylva Lestari, 2(1), 77. https://doi.org/10.23960/jsl1277-86

Sutaryono, 2016. Penataan penguasaan dan pemilikan tanah pulau-pulau kecil. Seminar Nasional Peran Geospasial Dalam Membingkai NKRI, 119–126. https://doi.org/dx.doi.org/10.24895/SNG.2016.0-0.77

Trifina, B. W., Endang, S., Wulan, R. & Astuti, S. A. 2019. Pemahaman pentingnya kesadaran hukum akan manfaat sertifikasi tanah di masyarakat Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara. Jurnal Abdi Hukum Masyarakat, 1(1), 1118.

Santoso, T., Riniarti, M. & Febryano, I.G. 2017. Identifikasi perubahan tutupan dan penggunaan lahan sebagai dasar penentuan strategi pengelolaan KPHP Way Terusan. Jurnal Enviroscienteae, 13(3), 208–217.

Utami, P. R. & Mardiana, R. 2017. Hubungan partisipasi masyarakat dengan keberlanjutan ekologi, sosial-budaya dan ekonomi dalam ekowisata bahari. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 102 hlm.

Wahyuni, P., Febriano, I.G., Iswandaru, D., & Dewi, B.S. 2020. Sebaran Lutung Trachypithecus Cristatus (Raffles, 1821) di Pulau Pahawang, Indonesia. Jurnal Belantara Vol. 3, No. 2: 89-96.

Wahyudi, M. E., Munibah, K., & Widiatmaka, 2019. Perubahan penggunaan lahan dan kebutuhan lahan permukiman di Kota Bontang, Kalimantan Timur. Jurnal Tata Loka, 21(2), 267–284.

Yulianti, Amirus, K. & Ellya, R. 2013. Hubungan perilaku masyarakat dengan kejadian malaria di Desa Pulau Pahawang Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran tahun 2013. Jurnal Dunia Kesmas, 2(3), 186–191.

Zulrizkan, A. P., Hasibuan, H. S. & Koestoer, R. H. 2018. Peran informasi geospasial dalam mendukung penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil berbasis adaptasi Kajian di Pulau Harapan dan Pulau Kelapa, Kabupaten Kepulauan Seribu. Seminar Nasional Geomatika, 3, 841–850.

Data Publications