Ditulis oleh Liqa Wafiq Kurnia
Pendahuluan
Stunting merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perhatian nasional di Indonesia, terutama karena dampaknya terhadap pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif anak. Provinsi Jawa Barat, sebagai salah satu wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, masih menghadapi tingkat prevalensi stunting yang cukup signifikan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan spasial untuk memahami pola dan faktor penyebab stunting di wilayah ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel sosial-ekonomi dan lingkungan terhadap angka stunting di Jawa Barat menggunakan metode Geographically Weighted Regression (GWR). Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi spasial yang komprehensif dalam rangka mendukung kebijakan intervensi yang lebih tepat sasaran untuk mengurangi angka stunting di Jawa Barat.
Metodologi
Penelitian ini dilakukan untuk memodelkan potensi spasial stunting di Provinsi Jawa Barat dengan pendekatan analisis spasial berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Geographically Weighted Regression (GWR), yang memungkinkan identifikasi hubungan spasial antara prevalensi stunting dengan sejumlah variabel penentu secara lokal.
1. Pengumpulan Data Data yang digunakan berupa data sekunder yang mencakup angka prevalensi stunting di tingkat kabupaten/kota, serta lima variabel independen yang diasumsikan memengaruhi stunting, yaitu: persentase penduduk miskin, persentase rumah tangga tanpa akses air bersih, persentase rumah tangga tanpa akses sanitasi layak, persentase ibu tanpa pendidikan formal, dan cakupan pelayanan posyandu. Data spasial diperoleh dalam format shapefile yang memuat batas administrasi Provinsi Jawa Barat.
2. Pra-pemrosesan Data spasial dan atribut digabungkan melalui proses penyamaan sistem koordinat serta operasi join menggunakan perangkat lunak pihak ketiga. Proses ini juga mencakup pemeriksaan dan pembersihan data dari nilai kosong atau outlier.
3. Eksplorasi Data Awal
Dilakukan analisis deskriptif dan uji korelasi Pearson antar variabel untuk menghindari multikolinearitas. Tahapan ini bertujuan memastikan bahwa variabel independen tidak saling memengaruhi secara berlebihan.
4. Uji Autokorelasi Spasial
Statistik Moran’s I digunakan untuk menguji apakah terdapat pola spasial pada distribusi stunting antar wilayah. Jika ditemukan autokorelasi spasial yang signifikan, maka dilanjutkan ke tahap pemodelan GWR.
5. Pemodelan GWR GWR diterapkan untuk menghitung koefisien regresi lokal pada setiap kabupaten/kota dengan mempertimbangkan bobot spasial dari wilayah sekitarnya. Hasil analisis mencakup nilai R² lokal, koefisien regresi dari tiap variabel di setiap lokasi, serta nilai residual.
6. Evaluasi dan Visualisasi Kinerja model dievaluasi menggunakan nilai koefisien determinasi lokal (local R²), nilai AIC, dan distribusi residual. Hasil dianalisis lebih lanjut melalui pemetaan tematik untuk mengidentifikasi pola spasial pengaruh masing-masing variabel terhadap prevalensi stunting, serta menentukan wilayah yang menjadi prioritas intervensi.
Persamaan GWR

dengan:
yᵢ = prevalensi stunting pada lokasi ke-i
βₖ(uᵢ,vᵢ) = koefisien regresi lokal yang bergantung pada koordinat (uᵢ, vᵢ)
xᵢₖ = nilai dari variabel ke-k
εᵢ = residual atau kesalahan prediksi
Melalui persamaan ini, pengaruh setiap variabel terhadap prevalensi stunting dapat dianalisis secara spasial dengan memperhatikan perbedaan pengaruh di tiap lokasi. Dengan demikian, distribusi koefisien regresi lokal untuk setiap variabel dapat dipetakan dan diinterpretasikan.

Hasil dan Pembahasan


Hasil analisis GWR terhadap kasus stunting di Kota Bandung menunjukkan adanya variasi spasial dalam kekuatan hubungan antar variabel. Nilai Local R-Squared menggambarkan sejauh mana model mampu menjelaskan variasi stunting di setiap kecamatan. Nilai tertinggi ditemukan di Kecamatan Gedebage, Rancasari, dan Buahbatu (R² lokal hingga 0,997), menunjukkan model sangat kuat di wilayah tersebut. Sebaliknya, nilai terendah muncul di Coblong dan Astana Anyar (sekitar 0,904), menandakan kecocokan model yang relatif lebih rendah.
Peta prediksi jumlah kasus menunjukkan konsentrasi tinggi di Bandung Kulon, Babakan Ciparay, dan Kiaracondong (hingga 2344 kasus), sedangkan Gedebage dan Cibiru memiliki angka prediksi rendah. Menariknya, meskipun Gedebage memiliki nilai R² tinggi, jumlah kasusnya rendah, sedangkan Bandung Kulon memiliki prediksi tinggi namun nilai R² yang lebih rendah.
Fenomena perbedaan antara nilai R² yang tinggi di Gedebage namun dengan jumlah kasus stunting yang rendah, serta sebaliknya di Bandung Kulon, dapat dijelaskan dengan mempertimbangkan faktor-faktor di luar model spasial yang digunakan. Nilai R² yang tinggi menunjukkan bahwa variabel-variabel dalam model mampu menjelaskan variasi data di wilayah tersebut secara baik, tetapi tidak serta merta menunjukkan jumlah kasus yang tinggi. Di Gedebage, kemungkinan terdapat intervensi gizi yang lebih optimal, cakupan posyandu yang tinggi, atau akses terhadap fasilitas kesehatan yang lebih baik, sehingga meskipun modelnya baik dalam memprediksi, kasus stunting relatif rendah. Sebaliknya, Bandung Kulon yang memiliki nilai R² lebih rendah namun prediksi kasus yang tinggi bisa mengindikasikan adanya faktor-faktor penting yang belum ditangkap dalam model, seperti kondisi lingkungan, kepadatan penduduk yang tinggi, atau ketimpangan distribusi layanan kesehatan. Oleh karena itu, penting untuk menelusuri data tambahan seperti distribusi fasilitas kesehatan (misalnya posyandu), indikator sosial ekonomi, dan cakupan intervensi program stunting agar analisis menjadi lebih komprehensif. Secara global, model GWR memiliki R-Squared sebesar 0,9822, menunjukkan kemampuan prediktif yang sangat tinggi. Nilai Adjusted R-Squared sebesar 0,8993 tetap mencerminkan keakuratan model, dan nilai AICc sebesar 525,2754 menunjukkan efisiensi parameterisasi. Nilai sigma-squared yang tinggi (26126,32) mencerminkan variabilitas residual yang masih besar akibat kompleksitas faktor penyebab stunting.
Kesimpulan
Analisis GWR terhadap kasus stunting di Kota Bandung berhasil mengungkap adanya variasi spasial yang signifikan dalam hubungan antara variabel-variabel penentu dan jumlah kasus stunting di setiap kecamatan. Model ini menunjukkan bahwa kekuatan hubungan antar variabel tidak bersifat global, melainkan berbeda-beda tergantung pada karakteristik wilayah.
Wilayah seperti Gedebage, Rancasari, dan Buahbatu memiliki nilai koefisien determinasi lokal (R²) yang sangat tinggi, menunjukkan bahwa model mampu menjelaskan variasi stunting dengan baik. Namun, wilayah-wilayah tersebut justru memiliki jumlah kasus yang diprediksi relatif rendah. Sebaliknya, wilayah seperti Bandung Kulon dan Babakan Ciparay memiliki jumlah kasus yang tinggi meskipun nilai R² lokalnya relatif rendah.
Secara umum, model GWR menunjukkan kinerja yang sangat baik dengan nilai R-Squared global sebesar 0,9822 dan Adjusted R-Squared sebesar 0,8993. Hal ini menandakan bahwa pendekatan spasial melalui GWR efektif dalam menjelaskan distribusi stunting di wilayah urban seperti Kota Bandung. Temuan ini dapat menjadi dasar untuk perumusan kebijakan penanggulangan stunting yang lebih terarah dan sesuai dengan karakteristik lokal masing-masing wilayah.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. (2022). Provinsi Jawa Barat dalam Angka.
Fotheringham, A. S., Brunsdon, C., & Charlton, M. (2002). Geographically Weighted Regression: The Analysis of Spatially Varying Relationships. Wiley.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Profil Kesehatan Indonesia.
Shabrina, A. P., & Pratama, R. (2022). Gambaran Kualitas Udara serta Analisis Risiko Nitrogen Dioksida (NO₂) dan Sulfur Dioksida (SO₂) di Kabupaten Bekasi. Journal of Engineering Environmental Energy and Science, 1(2), 63-70.
Saidal Siburian, M. M., & Mar, M. (2020). Pencemaran Udara dan Emisi Gas Rumah Kaca. Kreasi Cendekia Pustaka.