Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

30 Agustus 2023

By: Zhafran

Open Project

ANALISIS SPASIAL TINGKAT KERENTANAN TANAH LONGSOR

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

Latar Belakang

Secara geografis, Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng, yaitu Eurasia, Pasifik, dan Indo Australia. Letak geografis ini yang menyebabkan Indonesia memiliki risiko bencana seperti gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami. Secara umum, kejadian longsor dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor pendorong dan faktor pemicu. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya material tersebut. Potensi terjadinya pergerakan lereng tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusunannya, struktur geologi, curah hujan, dan penggunaan lahan.

Bencana tanah longsor sering terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana tanah longsor menempati posisi ketiga dalam urutan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia dengan total 634 kejadian selama tahun 2022. Hal ini membuktikan bahwa bencana tanah longsor di Jawa Barat sudah menjadi masalah yang besar. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan untuk pencegahan atau pengurangan risiko akibat terjadinya bencana tersebut. Penentuan tingkat risiko dilakukan oleh BNPB. BNPB menerbitkan Indeks Risiko Bencana Indonesia pada tahun 2013. Indeks risiko terdiri dari komponen bahaya, kerentanan, dan kapasitas pemerintah dalam mengatasi bencana. Penurunan risiko dapat diturunkan dengan menurunkan kerentanan dari bencana tersebut (BNPB 2021). Oleh karena itu, proyek ini akan melakukan kajian lebih lanjut untuk melakukan analisis spasial terhadap kerentanan bencana tanah longsor di Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, dan Kota Cimahi.

Tujuan

Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah untuk mendapatkan Peta Kerentanan Tanah Longsor di wilayah Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Indramayu dalam satuan kecamatan.

Tinjauan Pustaka

Menurut Rosita dkk. (2018), tanah longsor adalah gerakan massa tanah atau batuan yang bergerak turun dan keluar lereng karena kestabilan tanah yang terganggu yang disebabkan oleh faktor pengontrol gangguan kestabilan lereng dan faktor pemicu. Tanah longsor terjadi akibat adanya keruntuhan geser di sepanjang bidang longsor yang merupakan batas bergeraknya massa tanah atau batuan (Hardiyatmo, 2012: 1). Kondisi geologi yang kompleks dengan gerakan tektonik yang multi periodik serta erosi yang tinggi dan dipicu oleh curah hujan akan menyebabkan peningkatan risiko longsor (Wen dkk., 2017). Terdapat beberapa faktor penyebab bencana tanah longsor, yaitu faktor geologi, morfologi, fisik, dan manusia (Muntohar, 2010).

Goenadi (2003) mengelompokkan faktor pemicu bencana tanah longsor atas dua bagian, yaitu faktor statis dan faktor dinamis. Yang tergolong dalam faktor dinamis pemicu bencana tanah longsor adalah curah hujan dan penggunaan lahan. Untuk kasus bencana tanah longsor yang terjadi di Indonesia, sebagian besar diakibatkan oleh faktor dinamis, yaitu kondisi cuaca dengan curah hujan yang tinggi ataupun durasi hujan yang lama, keadaan topografi lereng yang curam, dan tingginya populasi penduduk di daerah berlereng atau perbukitan.

Data

Tabel 1: Data

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

Tahapan Penelitian

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

Gambar 1: Alur penelitian

Hasil

Penelitian ini menggunakan 16 jenis data dan dibagi menjadi 4 parameter sebagai parameter utama, yaitu kerentanan fisik, kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, dan kerentanan lingkungan. Nilai kerentanan sosial didapatkan dengan melakukan pengolahan data menggunakan skoring dan pembobotan dari data kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio umur rentan, rasio penyandang disabilitas dan rasio penduduk miskin. Nilai kerentanan ekonomi didapatkan dengan melakukan pengolahan data menggunakan skoring dan pembobotan dari nilai PDRB dan luas lahan produktif. Nilai kerentanan fisik didapatkan dengan melakukan pengolahan data menggunakan skoring dan pembobotan dari data jumlah rumah, jumlah fasilitas umum, dan jumlah fasilitas kritis. Nilai kerentanan lingkungan didapatkan dengan melakukan pengolahan data menggunakan skoring dan pembobotan dari data luas hutan. Di bawah ini merupakan hasil dan skor untuk setiap kelas pada semua parameter yang digunakan.

1. Kerentanan Fisik

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

Gambar 2: Peta kerentanan fisik

Tabel 2: Bobot dan kelas parameter fisik

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

2. Kerentanan Sosial

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

Gambar 3: Peta kerentanan sosial

Tabel 3: Bobot dan kelas parameter sosial

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

3. Kerentanan Ekonomi

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

Gambar 4: Peta kerentanan ekonomi

Tabel 4: Bobot dan kelas kerentanan ekonomi

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

4. Kerentanan Lingkungan

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

Gambar 5: Peta kerentanan lingkungan

Tabel 5: Bobot dan kelas kerentanan lingkungan

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

Setelah semua parameter diberi skor, giliran keempat parameter yang digunakan diberi bobot untuk dilakukan pengolahan kerentanan tanah longsor.

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

Gambar 6: Peta kerentanan tanah longsor

Tabel 6: Bobot dan kelas kerentanan tanah longsor

Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Tanah Longsor

Hasil pengolahan menunjukkan peta tingkat kerentanan tanah longsor. Tingkatan kerentanan tanah longsor dibagi menjadi tiga, yaitu tinggi, sedang, dan rendah.

Analisis

Setiap parameter pada setiap jenis kerentanan dilakukan pengolahan dengan bobot masing-masing yang dilakukan join table ke dalam data vektor batas administrasi setiap kecamatan pada wilayah studi. Setiap kerentanan memiliki tiga kelas, yaitu rendah, sedang dan tinggi. hasil nilai setiap kerentanan dilakukan perhitungan kembali untuk mendapatkan nilai kerentanan bencana tanah longsor di wilayah studi. Secara keseluruhan, tingkat kerentanan bencana tanah longsor di daerah Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Indramayu tersebar ke dalam kelas rendah, sedang, dan tinggi.

Kerentanan sosial terdiri dari lima faktor penentu, yaitu kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat, dan rasio kelompok umur. Berdasarkan lima faktor tersebut, faktor kepadatan penduduk sangat mempengaruhi nilai dari kerentanan sosial dikarenakan kepadatan penduduk memiliki bobot 60%. Semakin padatnya jumlah penduduk yang ada di suatu wilayah, maka kerentanannya terhadap bencana tanah longsor semakin tinggi. Risiko korban jiwa pada kejadian longsor di suatu wilayah dengan penduduk yang padat akan semakin tinggi.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan ekonomi dalam penelitian ini terdiri dari faktor lahan produktif dan PDRB daerah. Lahan produktif sangat mempengaruhi nilai kerentanan ekonomi dikarenakan lahan produktif memiliki bobot 60%. Lahan produktif mempunyai kerentanan yang tinggi jika dibandingkan dengan lahan tidak produktif. Ketika terjadinya bencana tanah longsor, maka kerugian ekonomi yang dialami lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan yang tidak produktif .

Faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan fisik, yaitu jumlah rumah, jumlah fasilitas umum, dan jumlah fasilitas kritis di daerah tersebut. Jumlah rumah sangat mempengaruhi kerentanan fisik dengan bobot 40%. Semakin banyak rumah yang terkena bencana, maka semakin tinggi risiko kerugian yang akan ditanggung oleh masyarakat dikarenakan harga jual rumah yang cukup tinggi bagi masyarakat.

Kerentanan lingkungan dipengaruhi oleh luas hutan. Semakin luas hutan di suatu wilayah, maka semakin besar risiko kerugian yang akan didapatkan dari daerah tersebut jika dibandingkan dengan daerah yang tidak tertutupi oleh hutan. Ini disebabkan oleh hutan yang memiliki banyak manfaat bagi masyarakat di suatu daerah.

Dari kelima kerentanan diatas, kerentanan sosial memiliki dampak yang paling tinggi terhadap kerentanan tanah longsor dengan bobot 40% hal ini dikarenakan kerentanan sosial berpengaruh terhadap masyarakat yang ada di daerah tersebut. Semakin tinggi kerentanan sosial di sebuah daerah, maka semakin tinggi risiko daerah tersebut jika terkena bencana tanah longsor dikarenakan masyarakat merupakan faktor yang dapat membantu mengembangkan atau memperbaiki daerah ketika terjadinya kejadian tanah longsor.

Di daerah penelitian, terdapat salah satu wilayah yang baru saja mengalami bencana longsor, yaitu Kabupaten Cianjur, tepatnya di Kecamatan Cugenang. Berdasarkan situs resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, diperoleh informasi bahwa telah terjadi longsor akibat gempa di Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, pada tanggal 21 November 2022. Hal ini membuktikan bahwa adanya kerentanan di daerah tersebut sehingga masyarakat harus lebih memperhatikan kerugian yang akan diterima akibat dari bencana tanah longsor.

Kesimpulan

Peta Kerentanan Tanah Longsor di wilayah Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Indramayu sudah dihasilkan. Peta ini dibuat dalam satuan kecamatan agar masyarakat mendapatkan informasi lebih teliti untuk digunakan sebagai acuan penentu kebijakan dalam perencanaan, pengendalian, dan pengelolaan risiko longsor sesuai dengan kondisi wilayah setempat

Daftar Pustaka

Geonadi (2003) Konservasi Lahan Terpadu Daerah Rawan Bencana Longsoran Di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta

Muntohar. 2010. Tanah longsor. Analisis, Prediksi, Mitigasi

BNPB. 2016. Risiko Bencana Indonesia

Hardiyatmo H C. 2012 Tanah Longsor & Erosi: Kejadian dan Penanganan

Wen dkk (2017) Landslide Susceptibility Assessment Using The Certainty Factor And Analytic Hierarchy Process

Rosita dkk 2018. Daerah Rawan Bencana Geologi Gerakan Tanah Dalam arahan Kebijakan Mitigasi kabupaten Ciamis

BNPB. 2021. Indeks Risiko Bencana Indonesia

Data Publikasi

Analisis Lokasi Potensial Pengembangan Usaha Mie Ayam di Kota Yogyakarta

Makanan dan Minuman

31 Jul 2025

Muhammad Dwi Arfian

Analisis Lokasi Potensial Pengembangan Usaha Mie Ayam di Kota Yogyakarta

Eksplorasi persebaran titik eksisting tempat makan mie ayam dan melihat potensi peluang baru di tengah-tengah persaingan. Artikel ini menyajikan gambaran dan penjelasan singkat terkait bagaimana persebaran dan kepadatan titik eksisting tempat makan mie ayam di Kota Yogyakarta. Selain itu, juga melihat potensi peluang lokasi baru untuk pengembangan usaha mie ayam. Fitur INSIGHT dari GEO MAPID digunakan dalam proses analisis dalam artikel ini.

11 menit baca

59 dilihat

Evaluasi Spasial Pangkalan Gas LPG 3 kg: Analisis Ketersediaan, Jangkauan, dan Potensi Pengembangan di Kecamatan Minggir, Sleman

Rantai Pasokan

30 Jul 2025

Fabiola Larasati

Evaluasi Spasial Pangkalan Gas LPG 3 kg: Analisis Ketersediaan, Jangkauan, dan Potensi Pengembangan di Kecamatan Minggir, Sleman

Penelitian ini mengevaluasi jaringan pangkalan LPG 3 kg di Kecamatan Minggir, wilayah dengan jumlah pangkalan paling sedikit di Kabupaten Sleman. Melalui analisis spasial, dihitung rasio ketersediaan pangkalan per penduduk dan dipetakan jangkauan pelayanan efektifnya. Hasilnya mengidentifikasi "area kosong" (blank spot) yang belum terlayani sehingga dapat menjadi panduan strategis untuk pengembangan pangkalan baru demi distribusi energi yang lebih merata.

25 menit baca

119 dilihat

9 Data

1 Proyek

Analisis Potensi Pengembangan Kawasan Coffee Shop Baru di Kota Bandung

Makanan dan Minuman

30 Jul 2025

Praba Syura

Analisis Potensi Pengembangan Kawasan Coffee Shop Baru di Kota Bandung

Eksplorasi potensi pengembangan coffee shop baru di Kota Bandung dengan analisis spasial menggunakan GeoMAPID, mengintegrasikan data penduduk dan aktivitas malam hari.

17 menit baca

135 dilihat

1 Proyek

Analisis Keterjangkauan Sekolah Menggunakan Moda Transportasi Umum di Kota Makassar: Pendekatan Spasial terhadap Aksesibilitas Pendidikan

Transportasi

30 Jul 2025

Muhammad Dwi Apriansyah As

Analisis Keterjangkauan Sekolah Menggunakan Moda Transportasi Umum di Kota Makassar: Pendekatan Spasial terhadap Aksesibilitas Pendidikan

Kemacetan dan keterbatasan akses transportasi umum menjadi tantangan utama dalam mendukung aksesibilitas pendidikan di wilayah urban seperti Kota Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterjangkauan fasilitas pendidikan menggunakan moda transportasi umum, khususnya Bus Rapid Transit (BRT) Trans Mamminasata dan angkutan kota pete-pete, dengan pendekatan spasial menggunakan metode isokron 15 menit berjalan kaki. Data yang digunakan mencakup sebaran sekolah, halte, rute transportasi umum, dan data demografi yang diolah secara spasial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total 704 sekolah di Kota Makassar, sebanyak 608 sekolah (86,36%) telah terjangkau oleh transportasi umum dalam waktu tempuh 15 menit berjalan kaki. Selain itu, sekitar 84,29% penduduk Kota Makassar berada dalam jangkauan layanan transportasi umum. Namun, masih terdapat 10 kelurahan dengan keterjangkauan di bawah 50%, serta sebaran sekolah yang belum terlayani terutama di wilayah timur dan timur laut kota. Penelitian ini memberikan rekomendasi lokasi prioritas untuk pengembangan transportasi umum guna mendukung pemerataan akses pendidikan dan mewujudkan konsep Kota 15 Menit yang inklusif dan berkelanjutan.

15 menit baca

116 dilihat

1 Proyek

Syarat dan Ketentuan
Pendahuluan
  • MAPID adalah platform yang menyediakan layanan Sistem Informasi Geografis (GIS) untuk pengelolaan, visualisasi, dan analisis data geospasial.
  • Platform ini dimiliki dan dioperasikan oleh PT Multi Areal Planing Indonesia, beralamat
  • mapid-ai-maskot